Namun dalam perjalanan karirnya, makin tinggi tingkat jabatan (eselon IV s.d eselon I), makin sedikit pula pegawai perempuan yang menduduki jabatan tersebut. Hal tersebut tercermin dalam grafik berikut:
Kondisi tersebut seakan mengindikasikan pegawai perempuan menghadapi hambatan yang tak terlihat untuk mencapai posisi puncak karirnya walaupun sebetulnya kesempatan telah dibuka lebar. Hal tersebut sejalan yang dinyatakan oleh Cook A dan Glass (2013) bahwa perempuan menghadapi hambatan yang tak terlihat sehingga mereka dikecualikan dalam posisi senior manajemen atau dalam kebanyakan literatur dikenal sebagai “glass ceiling phenomenon”.
Dalam konteks di negara Indonesia hal tersebut semakin kompleks karena juga dipengaruhi oleh nilai-nilai kepercayaan, budaya, adat istiadat maupun agama. Perempuan masih dianggap lebih sesuai untuk menangani urusan domestik dalam rumah tangga.
Untuk merespon kondisi tersebut, Kementerian Keuangan telah menerapkan sistem merit. Menurut BKN (2018) sistem merit merupakan kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar tanpa membedakan faktor politik, ras, agama, asal usul, jenis kelamin, dan kondisi kecacatan.
Dalam implementasi sistem merit di Kementerian Keuangan, keputusan untuk promosi jabatan telah mengedepankan aspek kinerja dan kompetensi tanpa membeda-bedakan jenis kelamin. Namun di sisi lain, pada saat adanya kesempatan peningkatan karir khususnya pegawai perempuan kembali berpikir ulang dan sebagian menarik diri karena keputusannya dipengaruhi oleh hal-hal yang telah disebutkan di atas.
Adanya pejabat perempuan khususnya yg berposisi pada eselon I maupun II juga terkait dengan pemenuhan threshold yang didorong oleh pemerintah untuk memenuhi implementasi PUG di setiap K/L. Dalam ranah legislatif, terdapat persyaratan kuota 30% bagi anggota parlemen perempuan yang hingga saat ini telah dipenuhi.
Dengan kondisi saat ini, minimal Kementerian Keuangan telah berada pada jalur yang benar dalam mempromosikan PUG yang terlihat dalam beberapa aspek yaitu:
- Tren penerimaan pegawai dimana jumlah maupun proporsi perempuan semakin besar dibandingkan laki-laki.
- Implementasi sistem merit yang didukung dengan kebijakan-kebijakan internal yang responsif gender.
- Proporsi maupun jumlah perempuan yang menjabat semakin besar dalam beberapa tahun walaupun masih terbatas pada pejabat eselon IV dan III.
Apa yang telah dilakukan Kementerian Keuangan sejauh ini dalam hal kesetaraan peluang karir perempuan dan laki-laki sejalan dengan yang disebut “signalling theory” (Spence, 2002). Kementerian Keuangan dapat mengirimkan sinyal baik kepada pegawai internal maupun publik bahwa pemilihan pejabat benar-benar berdasarkan kinerja dan kompetensi yang dimilikinya.
Sehingga dalam setiap kesempatan promosi jabatan, stakeholder bersikap indifferent karena menganggap setiap orang yang terpilih merupakan yang terbaik tanpa melihat jenis kelaminnya (Cook and Glass, 2011).