Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain Tabroni
Iskandar Zulkarnain Tabroni Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Seorang Lulusan Sosiologi dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Senang dengan dunia otomotif, dan menjadikan kegiatan mengendarai sepeda motor sebagai bentuk hobi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Review Buku "Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas" Karya Neng Dara Affiah

23 April 2019   17:15 Diperbarui: 23 April 2019   17:48 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hal ini yang sering disorot oleh masyarakat Barat ketika Islam menganjurkan untuk berpoligami. Jika mereka melihatnya dengan lebih luas mengenai latar belakang turunnya ayat tersebut, tidak hanya pada masyarakat sekarang yang cenderung melakukan poligami hanya untuk memenuhi hasrat seksualnya, niscaya mereka akan paham bahwa institusi tersebut lahir karena situasi dan kondisi pada saat itu.

Alquran sendiri meragukan dalam surah An-Nisa ayat 129 dengan tegas: "kamu takkan dapat berlaku adil terhadap perempuan, meskipun kamu berhasrat demikian". Hal ini terbukti karena hampir tidak ada motif seorang laki-laki yang melakukan poligami dengan motivasi seperti yang tertera pada masa ketika surah An-Nisa ayat 3 diturunkan. Rata-rata motif utama dari laki-laki yang melakukan poligami adalah: Pertama, keserakahan seksual. Dapat dilihat biasanya istri kedua dan berikutnya cenderung lebih muda. Kedua, struktur masyarakat yang feodal. Perempuan dikawinkan kepada bangsawan agar terangkat status sosialnya dalam masyarakat. Ketiga, motif ekonomi. Berhubungan dengan kemiskinan yang banyak dialami perempuan.

Untuk itu, menurut pengulas pun alasan untuk berpoligami pada masa sekarang sangatlah jauh dengan poligami yang diperbolehkan oleh Alquran. Bahkan dengan argumentasi kemandulan yang dialami perempuan sekalipun, menurut pengulas dan penulis dari buku ini,  hal itu bukan sebuah alasan untuk menduakan seorang perempuan. Masih ada jalan lain yang dapat ditempuh seperti bayi tabung, atau mengadopsi anak-anak yatim. Ia cenderung bertentangan dengan semangat Alquran dalam memerangi hawa nafsu. Untuk itu perlu diketahui motif dari orang yang ingin melakukan poligami. Apakah tujuannya benar untuk membebaskan perempuan, keadilan ekonomi, keberpihakan terhadap anak yatim dan perempuan lemah benar-benar berasal dari hati nurani yang terdalam? Karena pada dasarnya pria yang berpoligami itu hanya, (1) mencari variasi pengalaman seksual, (2) kebosanan dalam hubungan suami istri, (3) mencari kesenangan, dan (4) ingin membuktikan bahwa dirinya masih kuat dan menarik. Selain itu juga keinginan untuk memiliki lebih banyak anak agar dapat meningkatkan nilai prestise dan status di dalam masyarakat.

Selain itu, poligami pun berdampak buruk pada anak-anak. Anak akan menjadi korban jika kehidupan dalam keluarga tak seimbang. Orang tua yang sering bertikai akan menghambat perkembangan kepribadian anak. Bisa jadi seorang ibu yang merasa dibohongi akan bersekutu dengan anaknya untuk melawan bapaknya. Kemudian, anak dengan ayah yang berpoligami akan kebingunan kemana ia akan loyal karena ibunya lebih dari satu. Bentuk lain adalah stigma anak istri tua dan anak istri muda. Anak dari istri yang muda dianggap lebih lemah posisinya ketimbang anak dari istri pertama, terutama dalam pembagian harta gono-gini sepeninggal suaminya.

Topik poligami pada bab 2 ini dijelaskan dengan sangat rinci dan baik. Tulisan ini sangat menambah informasi dan wawasan pengulas mengenai poligami, bahwa perempuan cenderung selalu berada dalam posisi yang inferior terhadap laki-laki. Wawasan ini juga dapat menjadi bekal pengulas jika berhadapan dengan seseorang yang pro terhadap poligami tanpa ada alasan yang kuat dengan memakai embel-embel agama untuk melegitimasinya.

 Pada bab terakhir yaitu tentang perempuan, Islam, dan Negara merupakan gambaran yang sangat baik mengenai gerakan perempuan dalam pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Dituliskan bahwa dengan seiring berjalannya waktu, pemikiran-pemikiran progresif untuk menggerakkan dan menaikkan derajat perempuan di Indonesia mulai bermunculan seiring dengan ide gerakan kebangkitan nasional.

Dalam kongres Perempuan 1928, organisasi Walfadjri melontarkan pemikiran yang sangat maju pada masanya, yakni tentang perlunya pembaruan hukum-hukum perkawinan dalam Islam, misal tentang hak cerai bagi perempuan, usia nikah perempuan, perlindungan laki-laki terhadap keluarga, dan sebagainya. Organisasi ini juga membela para perempuan yang berambut pendek yang pada masa itu tidak lazim bagi perempuan muslim karena dipandang mirip dengan laki-laki.

Masih dalam kurun waktu yang sama, Agus Salim, dalam kongres Jong Islamieten Bond (JIB) pada 1925 di Yogyakarta menyampaikan ceramah berjudul "tentang pemakaian kerudung dan pemisahan perempuan". Dalam isi ceramahnya ia menyampaikan bahwa masyarakat Islam mempunyai kecenderungan memisahkan perempuan di wilayah publik dan menempatkannya di pojok-pojok ruangan, misalnya di masjid-masjid atau dalam rapat-rapat dengan kain putih yang disebut hijab. Tindakan itu mereka anggap sebagai ajaran Islam, padahal menurut Salim, praktik tersebut adalah tradisi Arab dimana praktik yang sama dilakukan oleh agama Nasrani maupun Yahudi. Karena itu, menurutnya, umat Islam hendaknya mempelajari Islam secara benar agar memahami makna yang terkandung didalamnya.

Dalam perkembangan berikutnya, yakni akhir 1980-an dan awal tahun 1990-an, pemikiran pembaruan Islam tidak berhenti dalam dataran wacana, melainkan terimplementasi dalam bentuk gerakan sosial. Dari pendekatan transformasi sosial yang dikembangkan oleh Masdar F. Masudi P3M lahirlah tokoh-tokoh pesantren yang menjadi pionir ditengah-tengah masyarakatnya dalam memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Sebut saja Kiai Hussein Muhammad, pengurus Pondok Pesantren Daarut Tauhid yang mengembangkan pemberdayaan perempuan di pesantrennya.

Pesantren lain yang mengembangkan pemberdayaan perempuan adalah Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Melalui Ida Nurhalida Ilyas, puteri K.H Muhammad Ilyas Ruhiat, mantan Rais Am syuriah PBNU (1994-1999), pesantren ini menekankan pendidikannya dengan perspektif keadilan gender.

Perspektif keadilan gender yang diadopsi oleh kelompok perempuan dalam lembaga-lembaga swadaya dan organisasi berbasis massa Islam tersebut memungkinkan mereka bersentuhan dan bekerja sama dengan gerakan perempuan sekuler. Isu yang diangkat adalah subordinasi, marginalisasi, dan pemiskinan terhadap perempuan yang harus diperjuangkan bersama dan harus didesakkan solusinya menjadi kebijakan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun