Kesalahan input hasil pemilu terus mengemuka. Formulir C1 perolehan suaranya hanya 41, tapi di website tertulis 141. 'Bonus' 100 suara. Kalau hanya satu-dua kali, hasil akhirnya tidak seberapa. Tapi coba bayangkan berapa jumlahnya jika tambahan liar 100 suara tadi terjadi dalam 1.000 kali kesalahan?
Totalnya: 100 ribu suara! Ah, itu mah gak seberapa. Tunggu, Sob. Capres itu cukup punya selisih 1 suara untuk menang. Kalau dapat masukan 100 ribu, itu bonus yang luar biasa besar.
Jadi jangan bicara ke saya soal persentase kekeliruan, karena satu saja kesalahan input yang luput dari koreksi dapat berdampak pada kekalahan salah satu paslon.
Inilah risiko dari pemilu manual yang harus ditanggung bangsa ini, yang hidup di ribuan pulau dengan infratruktur yang tidak merata. Setiap kali pemilu digelar, kita harus memegang kertas ukuran besar yang untuk membukanya saja susah sekali karena dimensi bilik suara selalu lebih kecil dari suratnya.
Baca juga: Mau Tahu Pemenang Pilpres 2019? Lihat Provinsi Berpemilih Terbanyak
Setelah itu, surat tadi harus dilipat lagi, dimasukkan ke dalam kotak, dihitung satu per satu oleh petugas di TPS, ditotal, dicatat hasil perhitungannya, dikirim ke kantor panitia di atasnya, di atasnya, lalu di atasnya lagi, untuk dicatat lagi, dicek lagi, dicocokkan lagi, sampai akhirnya semua berkumpul di dalam satu lembar bertajuk keputusan hasil Pilpres yang ditandatangani Ketua KPU Pusat.
Proses perhitungan dan rekapitulasi suara secara manual ini membutuhkan waktu 35 hari. Walhasil, selama itu pula kita menghadapi kisruh berulang bernama kesalahan input yang menjadi tragedi bagi pemilu itu sendiri.
Seluruh proses yang panjang dan lama ini melibatkan segudang kertas fisik sebanyak 800 ribu lebih formulir C1 dan hampir satu milyar surat suara yang didistribusikan ke 190.770.329 pemilih di seluruh penjuru tanah air (bahkan dunia).
Benar-benar hajatan yang besar dan manual.
Dan perlu disadari, proses itu berlangsung di sekian banyak pulau dan pelosok yang beragam kondisinya. Ada pulau yang sangat kaya, berlimpah cahaya, sarana dan prasarana, tapi banyak pulau yang sangat miskin, gelap-gulita dan minim sarana.
Suara Kencang KPU Curang
Kontradiksi narasi yang berkembang soal kesalahan input dalam proses penghitungan suara oleh KPU seekstrem pertempuran narasi selama kampanye berbulan-bulan sebelumnya. Kubu A merasa kesalahan itu tidak seberapa, sementara Kubu B meyakininya sebagai kegiatan terstruktur dan berdampak sistemis.
Pada akhirnya, sistem pemilu yang manual ini akan berujung pada dua kondisi ekstrem: diterima dengan baik atau ditolak dengan keras. Atau malah ada tuntutan untuk pemilu ulang secara nasional. Bisa bangkrut negara!
Mengapa itu bisa terjadi? Karena prosesnya terlalu lama, sehingga kesalahan demi kesalahan akan terus mengemuka selama prosesnya belum selesai. Mustahil proses yang lama ini hanya menghasilkan sekali kesalahan. Pasti berkali-kali. Dan ini menjadikannya tragedi.
Baca juga: Apa Maumu, "Sexy Killers"?
Belum lagi beban kerja petugas penghitung suara sangat tinggi. Saya yakin banyak kesalahan yang terjadi karena faktor kelelahan. Itu wajar, demi melihat ratusan petugas di TPS yang meninggal dunia, dan ratusan lainnya jatuh sakit sampai keguguran dalam pemilu paling mematikan ini.
Saya yakin, kalau ditanya berapa hari yang dibutuhkan agar hasil pemilu cepat diumumkan, semua pihak, termasuk mesin politik, pasti ingin secepatnya.
Kalau bisa sehari kelar, seperti yang dilakukan oleh panitia pemilu Malaysia. Di negeri jiran, hari ini pemilu, besok hasilnya sudah diumumkan dan pemenangnya sudah bisa dilantik. Cepat kan?
Mungkin karena hasrat ingin cepat inilah yang mendorong kedua kubu sama-sama mendeklarasikan kemenangannya dalam kurun waktu seminggu pascapemilu. Mereka ingin cepat menang. Tapi lucunya, dua-duanya deklarasi menang.
Lucu, tapi menyedihkan dan memuakkan.
Aplikasi Hitung Suara
Satu-satunya solusi untuk mengatasi lambat dan lamanya penghitungan suara adalah dengan menggunakan aplikasi. Saya yakin panitia pemilu sudah memikirkannya, membahasnya dan mengajukannya.
Tapi faktanya, sampai hari ini, di saat semua orang dengan bebas memesan makanan dari rumah, dengan mudah meminjam uang dari kantin kantor, dan dengan asyiknya belajar Fisika dari kamar, aplikasi itu belum ada.
Justru yang bikin aplikasi adalah mesin politik yang sedang rebutan istana. BPN bikin aplikasi pelaporan dan kawal suara, TKN bikin aplikasi hitung suara. Dua aplikasi itu seakan dua teknologi yang siap menekan KPU ke tingkat stres yang lebih tinggi--dan canggih.
Lalu di kalangan masyarakat pun sudah banyak teknologi yang diterapkan untuk 'menghitung suara'. Tapi tujuannya tentu sebatas memantau pemilu, bukan membantu KPU. Ada yang bikin website kawalpemilu.org yang sudah melegenda. Ada juga yang membuat aplikasi Android seperti "Ayo Jaga TPS" dan sejenisnya.
Baca juga: Serunya Liburan Anak Gontor
Idealnya, aplikasi-aplikasi canggih itu tidak mampu menyaingi kecanggihan aplikasi input suara yang dibuat oleh KPU sebagai panitia pemilu. Bahkan di era interaksi digital, Bawaslu juga harus menyediakan aplikasi kawal pemilu yang lebih canggih dari buatan masyarakat saat ini.
Tapi ternyata panitia dan pengawasnya masih ikut manual. Aplikasi yang tersedia masih terbatas aplikasi prapemilu. Ada sih menu "Cek Hasil" di aplikasi KPU RI PEMILU 2019. Tapi isinya hanya tautan ke website. Teknologinya masih tertinggal 5 tahun ke belakang. Padahal anggaran yang tersedia punya cukup banyak, dan Menteri Keuangan selaku bendahara saya yakin bukan orang yang pelit soal perkembangan teknologi, apalagi timnya sudah melek teknologi.
Kalau sudah menggunakan aplikasi, yang tentu biayanya tidak murah (kecuali bikin aplikasinya kaleng-kaleng), saya bayangkan proses rekapitulasi hanya butuh waktu maksimal 1 minggu, mengingat kondisi geografis yang tidak mudah di tanah air.
Setiap petugas di TPS akan langsung membuka aplikasi di ponselnya, memfoto Formulir C1, menginput datanya, pada saat itu juga. Laporan kegiatan yang berlembar-lembar kertas juga bisa lebih efektif jika diisi di aplikasi yang dibuat user friendly.
Semua proses itu tentunya dilakukan secara terbuka di TPS, disaksikan oleh masyarakat setempat dan direkam oleh semua saksi.
Setelah data berhasil masuk, otomatis proses kerja dari TPS ke Kelurahan ke Kecamatan dan seterusnya tidak akan se-njlimet sekarang.
Lalu bagaimana dengan TPS di pedalaman?
Baca juga: Yang Pertama dan Serba Wah di Pesawat Kepresidenan Bersama Jokowi
Pembahasan soal sumber daya manusia di lapangan, khususnya di daerah pelosok dan pedalaman, termasuk daerah perbatasan terluar, harus disiasati dengan memberangkatkan petugas terlatih ke lokasi terpencil tadi dengan membawa serta perangkat dan jaringan internet, agar data di daerah itu bisa langsung diinput ke dalam aplikasi dalam sekejap.
Itu lebih efektif dibanding memaksakan masyarakat lokal beradaptasi dengan aplikasi. Dan karena ini adalah sesuatu yang baru, maka simulasinya harus dilakukan dengan benar-benar simulasi dalam artian gladi resik di semua TPS (atau di separuh TPS) sebelum hari H. Jangan hanya simulasi seremoni yang disorot media.
Ini akan lebih aman dibandingkan harus mengulang lagi proses pemilu hanya karena petugasnya mendadak gaptek berjamaah atau jaringan dan servernya mendadak ngadat berjamaah.
Itu saja usulan sederhana dari saya. Agar tidak ada lagi tragedi dalam proses penghitungan suara. Sehingga pemilu menjadi jauh lebih baik. Di masa yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H