Dari sisi pengelolaan konten, Google Plus memang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan Facebook. Misalnya, setiap konten yang dibagikan ke Google+ akan lebih cepat terindeks dalam mesin pencari Google. Tapi jelas fitur itu hanya berguna buat pembuat konten dan pencari klik, bukan fitur yang dibutuhkan oleh netizen kebanyakan.
Belajar dari Ditutupnya Google+
Mungkin hari ini tidak terlalu banyak yang menangisi kepergian Google Plus yang memang sudah lama ditinggal pergi pengguna. Saya pun tidak, sama seperti saat Path ditutup, saya tidak menangisinya. Kondisi ini bisa menjadi pemaklum dari ditutupnya produk tersebut.
Pelajaran yang bisa dipetik dari penutupan Google Plus adalah: tidak mudah membuat produk digital, bahkan bagi raksasa Google sekalipun. Penutupan sebuah produk digital mungkin terlihat sebagai sebuah kegagalan. Tapi sejatinya, langkah tersebut merupakan aksi penyelamatan dari terbuangnya sumber daya sia-sia untuk sesuatu yang tidak lagi memiliki alasan untuk hidup. Perusahaan pun bisa lebih fokus mengembangkan apa yang menjadi bisnis intinya.
Dan di era globalisasi digital saat ini, menjadi lokal dan menjadi spesialis memberikan peluang bisnis lebih besar dibandingkan menjadi global dan generalis.
Target yang harus dikejar bukan lagi memberikan layanan kepada semua orang, tapi memberikan kepuasan kepada spesifik orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H