Setiap kali bertatap wajah dengan teman-teman yang sering berinteraksi dalam obrolan politik di dunia maya, saya kerap mendapatkan pertanyaan yang sama: Bang Isjet sebenarnya pilih siapa sih? Bahkan ada yang sengaja kopi darat untuk menanyakan langsung pertanyaan tersebut.
Lalu jawaban saya akan sama. Pilihan saya untuk Pemilu Serempak 2019, baik Pilpres 2019 maupun Pileg 2019, ada di bilik kotak suara yang dipasang panitia KPPS di TPS.
Saya merasa tidak perlu memberitahu apalagi mengajak orang lain memilih sesuai dengan yang saya pilih. Bahkan dengan istri pun tidak. Dia sudah punya pilihannya, dan pilihannya itu tidak berasal dari hasil obrolan dengan saya, karena faktanya kami jarang ngomongin politik di rumah. Obrolan seputar uang belanja, kondisi sekolah, dan jadwal kondangan sudah cukup menyibukkan kita berdua.
Baca juga: Iklan Paslon 01 dan 02 Dirilis: Jokowi Islamis, Prabowo Nasionalis
"Trus tujuannya apa Bang Isjet sering nulis soal politik dan Pemilu 2019 pake tagar #MesinPolitik?"
"Saya ingin menguatkan pilihan teman-teman. Agar mereka yakin dengan pillihan mereka," jawab saya sambil menyeruput kopi yang masih panas.
Setelah itu, giliran saya bertanya ke lawan bicara, siapa yang mereka pilih dan mengapa. Kenapa milih Jokowi? Kenapa nyoblos Prabowo?
Jawaban panjang-lebar pun mengalir deras. Semua uneg-uneg di kepala tumpah dalam obrolan tatap-wajah itu. Memang ngobrol langsung gini rasanya lebih lepas. Gak ada yang ikut nguping lalu tiba-tiba nimbrung di kolom komentar. Gak perlu takut kena UU ITE karena yang denger cuma dua pasang teling. Beda deh rasanya dengan ngobrol tatap-layar.
Tapi isi paparan dan argumennya sih sama dengan apa yang biasa saya temukan di sekian status, komentar dan artikel di internet. Sesekali saya mengkritisi apa yang dia utarakan. Soal kelebihan ataupun kekurangan paslon.Â
Kadang saya memaklumi alasan itu tanpa syarat, kadang dia menerima argumentasi saya, tapi lebih sering dia mengambil sikap yang sama. Intinya, pilihannya tidak berubah, dan saya memang tidak sedang mencoba mengubah pilihannya.
Kemudian, karena dia sudah begitu telanjang di depan saya, dia pun ingin saya ikut telanjang. Gak asik dong, yang satu sudah blak-blakan, sementara satunya lagi masih tertutup rapi jali.
Sekian pertanyaan ala investigator pun dilancarkan, menjurus langsung ke beberapa status yang menurutnya menjurus pada dukungan ke Jokowi atau Prabowo. Lebih banyaknya, harus diakui, konten buat Jokowi, positif dan negatifnya, lantaran dia berperan sebagai presiden dan sebagai calon presiden dalam satu waktu.
Baca juga: Suap itu Lumrah!
Yang pasti, siapapun yang memenangkan pertempuran Pilpres ini tidak masalah buat saya. Ingat, ini adalah Kompetisi Jokowi-Prabowo Sesi II. Dari 2014, paslon yang diusung sama, partai utamanya juga sama. Jokowi terpilih lagi, tidak masalah. Prabowo tidak terpilih lagi, tidak masalah. Jokowi meraih kemenangan kedua, bagus. Prabowo meraih kemenangan pertama, bagus.
Skor 2-0 oke. Skor 1-1 juga oke.
Toh Jokowi dan Prabowo berasal dari dua partai yang sama-sama berwarna merah, punya ideologi nasionalis-religius yang sama, teknik propaganda yang dilancarkan oleh keduanya sama, dan juga sama-sama membutuhkan dan mendapatkan lalu mengeksploitasi dukungan umat Islam.Â
Saya katakan bahwa fokus saya bukan pada dukungan tapi kebebasan terhadap apa yang mau saya komentari, tanggapi, kritisi, atau---katakanlah---nyinyiri.Â
Saya tegaskan bahwa, sampai detik ini, saya tidak pernah menjalin hubungan atau percakapan apalagi kerjasama dan perjanjian dengan orang-orang di balik Mesin Politik manapun, sekalipun saya punya sedikit teman di lingkaran paslon, mengenal mereka, punya nomor kontak mereka dan tahu posisi mereka di masing-masing kubu.
Karena saya tidak punya ikatan emosional, maka saya punya kebebasan untuk mengapresiasi dan mengkritisi Jokowi, sebebas saya mengapresiasi dan mengkritisi Prabowo. Saya tidak punya tema atau batasan dalam konteks ini. Apapun isu yang muncul, selama saya mengetahui dan menyukainya, dan ingin mengomentarinya, maka jadilah tulisan singkat atau ulasan sekian paragraf.
Lalu lain waktu, teman lain bertanya, saya dapat apa dari obrolan politik ini. Pertanyaan ini tentu disampaikan oleh orang yang memahami dunia komunikasi digital. Atau orang media pers atau praktisi kehumasan.
Saya jawab secara lugas bahwa saya tidak sedang atau akan menjadi konsultan politik untuk capres atau caleg manapun, atau konsultan komunikasi untuk partai apapun. Karena kalau ada invoice yang saya kirim ke salah satu pihak yang berada dalam lingkaran Mesin Politik, saya tidak akan bisa bebas dan lepas saat ngomongin serunya pemilu 2019.
Ini juga bukan soal netralitas atau sikap apatis. Tapi soal motivasi dalam memberikan dukungan. Saya ingin agar setiap pendukung tahu persis siapa yang didukung dan mengapa dia memberikan dukungan itu kepadanya. Syukur-syukur dia bisa menjawab pertanyaan: apa untungnya buat saya?
Bukan soal keuntungan materi, tapi keuntungan dalam bentuk kebahagiaan, kebaikan, kedamaian dan sebagainya. Karena kalau keuntungan materi, kelar sudah. Anda percuma berdebat dengan pengurus partai atau caleg atau konsultan politik atau buzzer politik, karena mereka jelas-jelas akan mendapatkan keuntungan material dari kontes politik ini.Â
Politik dan kehebohan di dalamnya adalah jualan buat mereka. Sementara orang di luar lingkaran Mesin Politik, belum tentu mendapatkan gaji, bayaran, komisi atau apapun namanya.
Baca juga: Yang Pertama dan Serba Wah di Kabin Pesawat Kepresidenan RI
Jika Anda percaya Jokowi menguntungkan buat Anda, silakan pilih dia. Begitu juga sebaliknya, kalau Prabowo menguntungkan buat Anda silakan pilih dia. Tapi keuntungan itu harus terverifikasi, bukan sekedar keuntungan semu yang yang bersumber keyakinan dan informasi palsu.
Saya berharap, mereka yang menikmati konten saya, baik yang bernada positif ataupun negatif untuk kubu Jokowi maupun Prabowo, mau membuka diri untuk mendengarkan narasi dari kubu seberangnya. Agar keuntungan yang diangankan benar-benar keuntungan yang valid, bukan kaleng-kaleng.
Nah, berhubung bulan April sudah tiba, saya pikir sekarang waktu yang tepat untuk berhenti sejenak dari obrolan seputar kontestan Pilpres 2019. Seputar Paslon 01 dan Paslon 02.
Pertama, karena suhu akan semakin panas, konten yang beredar akan tambah beringas. April akan membuat obrolan lebih tajam dan menjurus dan fokus pada upaya menyingkirkan paslon yang tidak diinginkan, dari sinilah emosi jadi semakin sulit dikendalikan.Â
Di bulan ini, tidak ada lagi pendingin otak dan menenang hati. Semua akan memilih ikut memanaskan suasana atau memilih untuk diam–agar tidak ikut terkena panasnya suasana.
Kedua, sepanas dan semenarik apapun obrolan yang muncul, narasinya akan begitu-begitu saja. Argumen yang digunakan akan sama. Cacian yang digelontorkan akan serupa. Semua masih berkutat pada kata kunci hoaks, gagal, marah, islami, putih, hitam, sipil, militer, Jawa, non-Jawa, pancasialis, komunis, khalifah, radikal, penculik, anti-Islam dan seterusnya.
Sampai akhirnya hari pencoblosan tiba. Tanggal 17 April 2019.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI