Kemarin saya dapat tantangan. Tantangan yang mungkin tidak saya gubris kalau era digital belum semenarik hari ini.
Jadi ceritanya, oleh-oleh yang saya bawa dari Ponorogo tertinggal di bus Lorena yang saya tumpangi. Sate khas Ponorogo yang terkenal dengan sebutan Sate SBY (karena presiden SBY pernah menyicipinya) ini saya letakkan di kabin bus, tapi terpisah dari barang bawaan lain, sehingga luput dari perhatian saat saya turun di Terminal Kampung Rambutan.
Setelah tiba dari rumah, saat istri menanyakan oleh-oleh yang saya janjikan, barulah teringat ada sekotak sate yang mungkin masih menunggu pemiliknya di dalam bus sana.
Saya pun berusaha untuk menemukannya lalu mendapatkannya kembali. Bukan karena harganya tapi nilainya yang buat saya sangat khas Ponorogo. Juga sudah terlanjur janji ngasih buah tangan setelah seminggu lebih jenguk anak di Gontor.
Saya pun bergegas mengontak petugas Lorena di pool Ponorogo yang kemudian menghubungkan saya dengan kenek bus. Alhamdulillah, sate yang menurut saya lebih enak dari Sate Khas Senayan ini berhasil ditemukan dalam keadaan utuh tak tersentuh.
Tapi masalahnya, tujuan akhir bus itu adalah Bogor. Saat sate ditemukan, posisi bus sedang ada di Pool Lorena Tajur, sebentar lagi sudah harus bergerak ke Ponorogo, kata Mas Ali, si kernet bus.
Kalau cerita ini terjadi tahun 1990an, mungkin saya akan mengikhlaskannya, memberikannya ke Mas Ali yang sedang bertugas di dalam bus.
Tapi ini tahun 2017. Tahun ketika kereta listrik (KRL) sudah nyaman dinaiki kapan pun, dan murah tarifnya. Dan tahun ketika urusan ambil-kirim barang dan antar-jemput manusia semudah mengetuk-ngetukkan jari di layar ponsel.
Saya pun meminta Mas Ali menitipkan sate itu ke pos satpam, sore nanti saya ambil. Begitu pesan yang saya kirim ke dia.
Lalu, setelah urusan mengamankan lokasi dan posisi sate kelar, saya berangkat ke kantor untuk rapat pagi yang rutin digelar setiap Senin.
Sepanjang perjalanan ke kantor, saya mulai berhitung biaya untuk mengambil si sate. Saya coba membuat simulasi harga jasa pengiriman barang berbasis sepeda motor yang disediakan oleh Grab Express dan Go-Send. Dari Bogor diantar ke rumah di dekat Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Untuk jarak sejauh itu, harganya mencapai Rp 120 ribu lebih. Dua merek ini menawarkan harga mirip dengan selisih sekian rupiah. Wah, mahal aja nih. Lebih mahal dari harga satenya, pikir saya. Tarif segitu juga separuh tarif mengantarkan badan saya dari Ponorogo ke Jakarta.
Tapi saya gak kehilangan cara. Saat jam pulang kantor tiba, saya coba hitung tarif transport online dari Stasiun Bogor ke Pool Lorena Tajur, total jadi 36 ribu Rupiah pulang-pergi.
Masalah lain muncul: satpam yang jaga di pos pulang jam 7 malam. Kalau naik motor dari stasiun ke pos satpam, butuh waktu dan berisiko tersendat kemacetan kota. Padahal saya hanya butuh barang itu tiba di stasiun.
Kenapa gak suruh orang bawain satenya ke stasiun? Cerdas! Akhirnya saya coba simulasikan waktu dan biaya kirim barang dari Pool Lorena Tajur di Bogor ke Stasiun Bogor. Tarifnya terjangkau, paling mahal hanya 21 ribu Rupiah. Dan waktunya terbilang cepat karena rute ke arah stasiun lebih lancar.
Akhirnya saya putuskan tidak ke pool bus, tapi menunggu barang itu di stasiun.Â
Dalam perjalanan menuju Stasiun Bogor, tepatnya saat kereta tiba di Stasiun Citayem, saya sudah meminta pengemudi ojek online mengambil sate di Pool Lorena lalu mengantarkannya ke Stasiun Bogor. Di aplikasi pemesanan, saya cukup menyantumkan catatan: ambil sate di pos satpam atas nama Iskandar lalu bawa ke Stasiun Bogor.
Beres. Sebelum kereta tiba di Bogor, sate itu sudah menunggu. Saya ambil dari pengendara ojek online, bayar pakai nontunai, lalu cabut balik ke rumah.
Misi selesai. Sampai rumah langsung pesta sate...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H