"Pelaku plagiat tdk bisa dikoreksi karena biasanya dia tdk merasa bersalah melakukannya. Selama ini pelaku penjiplakan ilegal baru akan jera setelah aksinya dibongkar orang lain...."
Jawaban itu saya tulis di kolom komentar status Facebook soal plagiarisme yang dilakukan oleh Afi Nihayah Faradisa, minggu lalu.
Waktu itu, aksi penjiplakan secara ilegal yang awalnya diungkap oleh Pringadi di Kompasiana ini masih berada dalam bingkai ‘dugaan’. Pringadi pun mengaku sangat berhati-hati saat memutuskan untuk mengungkapkan plagiarisme tulisan “Belas Kasih dalam Agama Kita” yang diklaim ditulis oleh Afi sendiri.
Sampai akhirnya, 3 Juni 2017 lalu, Afi mengakui perbuatannya lewat akunnya di Facebook.
Kasus plagiarisme ini memang cukup istimewa. Dibandingkan kasus plagiarisme lain yang pernah diungkap publik di Kompasiana, klaim tulisan oleh Afi atas tulisan Mita Handayani menimbulkan huru-hara di kalangan netizen. Kasus plagiarisme Anggito yang terjadi beberapa tahun lalu juga sempat heboh, tapi tidak berlangsung lama dan tidak menimbulkan perdebatan tajam. Waktu itu, dalam tempo singkat, Anggito mengaku khilaf, meminta maaf, lalu mundur dari jabatan Guru Besar UGM.
Sementara Afi, saat ditanya Kompas TV apakah dia mengklaim tulisan Mita berjudul “Agama Kasih” yang tayang pada bulan Juni 2016, dengan tegas menjawab “Tidak.” Penulis bernama asli Asa Firda Inayah ini justru meminta Bayu Sutiyono dari Kompas TV menanyakan hal itu ke Mita.
Dan sampai artikel ini saya tayangkan, tulisan hasil plagiarisme itu masih bisa dibaca oleh semua Facebooker. Jiplakan tulisannya pun, yang diklaim ditulis oleh siswi Gambiran Banyuwangi ini, juga masih tayang apa adanya di Detik.
Bahkan di tulisan Pringadi, banyak yang melihat Kompasianer muda ini sebagai orang jahat yang dengan tega memfitnah dan mempermalukan Afi, anak SMA yang punya pemikiran dan karya tulis hebat. Apalagi kemudian diketahui bahwa tulisan Mita yang foto-layarnya disertakan Pringadi, tidak ditemukan di akun Facebook Mita. Serangan bertubi-tubi pun menderas kepadanya.
Sampai akhirnya,Mita mengklarifikasi tulisan itu memang miliknya di sebuah status Facebook yang sudah tidak bisa diakses lagi:
Jadi gini..
Betul.Aku pernah menulis sebuah catatan ringan pada Ramadan tahun lalu yang berjudul"Agama Kasih", yang screenshot-nya beredar saat ini.
Kenapa ini jadi sedemikian heboh? Masalahnya bukan karena Afi adalah anak muda dengan karya tulis yang hebat, tapi tak lebih karena dia dalam tempo singkat masuk pusaran pertikaian politik antar dua kubu yang suhu panasnya memuncak kembali di Pilkada Jakarta 2017. Dua kubu yang terbentuk dalam kasus Afi ini, dalam pengamatan saya, sama persis dengan kubu yang terbentuk sepanjang Pilkada Jakarta.
Saya pun sudah mengendus gejala tersebut sedari awal membaca tulisan ‘Warisan’ Afi yang membuatnya terkenal, lalu profilnya diangkat di banyak media massa, tampil di banyak program televisi, sampai akhirnya selfi bareng Presiden Jokowi di Istana Negara. Sebenarnya tidak ada lagi yang perlu diulas dari kasus ini, karena diakui atau tidak oleh Afi, apa yang pernah dilakukan terbukti salah dalam konteks dunia kepenulisan.
Saya sendiri tidak berminat membuat ulasan untuk Afi. Tapi pengakuan Afi justru membuat saya merasa wajib mengingatkan kembali generasi muda bahwa plagiarisme adalah perbuatan buruk yang tidak boleh dilakukan oleh siapapun dengan alasan apapun. Karena pada akhirnya, aksi plagiarisme akan terbongkar, dan pelakunya patut menyesali perbuatannya agar tidak tersandung kesalahan yang sama di kemudian hari.
Saya membaca pengakuan Afi bukan sebagai pernyataan penyesalan, tapi sebagai bentuk pembenaran. Dia pun menganggap semua orang pernah melakukan plagiarisme, sehingga apa yang dia lakukan tidak layak mendapat penghakiman apalagi hukuman sosial dari banyak orang.
Di laman Facebooknya, Afi menulis:
"Apakah aku pernah melakukan plagiasi? Ya.
Kita semua pernah. Siapa yang tidak pernah melakukannya? Mulai dari tugas sekolah sejak SD, makalah kuliah, ujian, sampai caption foto di media sosial. Kalaupun kita mengklaim punya hak cipta atas suatu gagasan yang brilian, maka gagasan tersebut tetaplah akumulasi dari segala hal yang berhasil kita serap sehari-hari.
Tak ada gagasan yang benar-benar murni, asli."
Di bagian ini, saya melihat Afi belum bisa membedakan antara menjiplak dengan memplagiasi. Antara meriset dan mencontek. Itu wajar untuk seorang penulis muda seperti Afi.
Tiga tahun lalu, saya pernah menulis artikel berjudul “Jiplak Yes, Plagiat No”. Di situ saya paparkan beda antara menjiplak (meniru) dan memplagiasi (meniru secara ilegal). Di dunia tulis-menulis, aksi copy-paste punya beberapa staus, mulai dari boleh, sedikit boleh, dihindari sampai jangan dilakukan. Tapi aksi plagiarisme jelas-jelas dilarang, karena memplagiasi adalah mengambil karya tulis orang lain dan menjadikannya seolah-olah karya tulis miliknya sendiri.
Apa yang dilakukan oleh Afi adalah pencurian konten. Dia mengambil karya orang lain lalu menyantumkan namanya sebagai penulis di bagian atas tulisan tersebut. Terlepas dari apakah pemilik asli tulisan itu memaafkan atau tidak, aksi Afi salah dan tidak boleh dilakukan oleh siapapun.
Siapapun tanpa hak tidak boleh mengklaim karya orang lain. Bahkan di dunia fotografi, ada karya foto digital berlabel “CC0 Public Domain” yang sekalipun boleh digunakan oleh siapapun tanpa menyantumkan sumber foto, tetap tidak boleh diklaim karya sendiri atau ditambahi watermark yang membuat orang mengira foto itu karya Anda.
Para penulis muda harus paham bahwa plagiator itu mirip pencuri. Tidak ada agama mana pun yang membolehkan aksi pencurian. Kalau korbannya ikhlas, pelakunya bisa dimaafkan dan terbebas hukuman. Tapi kalau korbannya tidak memaafkan, maka sebuah hukuman akan dijalani oleh pencuri/plagiator. Korban plagiarisme bisa menggugat perdata dengan tuntutan ganti rugi materil, tuntutan permintaan maaf, dan sebagainya.
Selain soal kesalahan dalam membedakan antara copy-paste dan plagiarisme, Afi dalam pengakuannya juga meyakini bahwa caci-maki atas aksi plagiasi yang dia lakukan hanya didasari rasa tidak suka dan perbedaan pandangan atas tulisan ‘Warisan’ yang membuatnya terkenal.
Apakah Pringadi melakukan itu karena benci Afi? Lewat saluran telepon, dia mengaku hanya ingin mengungkapkan fakta yang perlu diketahui oleh para penulis lainnya. Kebetulan kasus ini muncul dalam perbincangan antar-penulis. Tidak mudah baginya untuk menyoroti aksi seorang Afi yang sedang sangat terkenal, karena akan muncul serangan balik dari para penggemar Afi yang jumlahnya sangat banyak. ““Gue merasa jadi orang jahatnya, Mas,” kata Pringadi.
Lalu apakah orang-orang yang menghakiminya benci Afi? Bisa ya, bisa tidak. Saya persilakan pembaca menilainya, karena risiko menjadi terkenal adalah mendapat sorotan dari banyak orang dengan banyak motivasi dan kepentingan. Tapi sebuah kesalahan tetap menjadi kesalahan, yang seyogyanya diiringi dengan permintaan maaf dan penyesalan.
Kembali ke kutipan yang saya tulis di bagian awal tulisan ini. Plagiator biasanya merasa tidak bersalah sampai orang lain membuktikan kesalahannya. Saya berharap Afi setelah ini benar-benar meresapi kesalahannya dan bertekad dalam hati untuk tidak akan mengulangi kesalahan tersebut.
Dan dua hal penting yang perlu dicatat dalam pengakuan kesalahan adalah: Pertama, jangan mencari dalil pembenaran atas kesalahan yang sudah Anda lakukan, kecuali Anda punya alasan yang benar saat terpaksa melakukan kesalahan tersebut. Kedua, jangan memikirkan kesalahan orang lain, karena setiap orang akan mendapatkan balasan atas kesalahan yang pernah dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H