Betul.Aku pernah menulis sebuah catatan ringan pada Ramadan tahun lalu yang berjudul"Agama Kasih", yang screenshot-nya beredar saat ini.
Kenapa ini jadi sedemikian heboh? Masalahnya bukan karena Afi adalah anak muda dengan karya tulis yang hebat, tapi tak lebih karena dia dalam tempo singkat masuk pusaran pertikaian politik antar dua kubu yang suhu panasnya memuncak kembali di Pilkada Jakarta 2017. Dua kubu yang terbentuk dalam kasus Afi ini, dalam pengamatan saya, sama persis dengan kubu yang terbentuk sepanjang Pilkada Jakarta.
Saya pun sudah mengendus gejala tersebut sedari awal membaca tulisan ‘Warisan’ Afi yang membuatnya terkenal, lalu profilnya diangkat di banyak media massa, tampil di banyak program televisi, sampai akhirnya selfi bareng Presiden Jokowi di Istana Negara. Sebenarnya tidak ada lagi yang perlu diulas dari kasus ini, karena diakui atau tidak oleh Afi, apa yang pernah dilakukan terbukti salah dalam konteks dunia kepenulisan.
Saya sendiri tidak berminat membuat ulasan untuk Afi. Tapi pengakuan Afi justru membuat saya merasa wajib mengingatkan kembali generasi muda bahwa plagiarisme adalah perbuatan buruk yang tidak boleh dilakukan oleh siapapun dengan alasan apapun. Karena pada akhirnya, aksi plagiarisme akan terbongkar, dan pelakunya patut menyesali perbuatannya agar tidak tersandung kesalahan yang sama di kemudian hari.
Saya membaca pengakuan Afi bukan sebagai pernyataan penyesalan, tapi sebagai bentuk pembenaran. Dia pun menganggap semua orang pernah melakukan plagiarisme, sehingga apa yang dia lakukan tidak layak mendapat penghakiman apalagi hukuman sosial dari banyak orang.
Di laman Facebooknya, Afi menulis:
"Apakah aku pernah melakukan plagiasi? Ya.
Kita semua pernah. Siapa yang tidak pernah melakukannya? Mulai dari tugas sekolah sejak SD, makalah kuliah, ujian, sampai caption foto di media sosial. Kalaupun kita mengklaim punya hak cipta atas suatu gagasan yang brilian, maka gagasan tersebut tetaplah akumulasi dari segala hal yang berhasil kita serap sehari-hari.
Tak ada gagasan yang benar-benar murni, asli."
Di bagian ini, saya melihat Afi belum bisa membedakan antara menjiplak dengan memplagiasi. Antara meriset dan mencontek. Itu wajar untuk seorang penulis muda seperti Afi.
Tiga tahun lalu, saya pernah menulis artikel berjudul “Jiplak Yes, Plagiat No”. Di situ saya paparkan beda antara menjiplak (meniru) dan memplagiasi (meniru secara ilegal). Di dunia tulis-menulis, aksi copy-paste punya beberapa staus, mulai dari boleh, sedikit boleh, dihindari sampai jangan dilakukan. Tapi aksi plagiarisme jelas-jelas dilarang, karena memplagiasi adalah mengambil karya tulis orang lain dan menjadikannya seolah-olah karya tulis miliknya sendiri.
Apa yang dilakukan oleh Afi adalah pencurian konten. Dia mengambil karya orang lain lalu menyantumkan namanya sebagai penulis di bagian atas tulisan tersebut. Terlepas dari apakah pemilik asli tulisan itu memaafkan atau tidak, aksi Afi salah dan tidak boleh dilakukan oleh siapapun.
Siapapun tanpa hak tidak boleh mengklaim karya orang lain. Bahkan di dunia fotografi, ada karya foto digital berlabel “CC0 Public Domain” yang sekalipun boleh digunakan oleh siapapun tanpa menyantumkan sumber foto, tetap tidak boleh diklaim karya sendiri atau ditambahi watermark yang membuat orang mengira foto itu karya Anda.