Mohon tunggu...
ISJET @iskandarjet
ISJET @iskandarjet Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Follow @iskandarjet on all social media platform. Learn how to write at www.iskandarjet.com. #katajet. #ayonulis. Anak Betawi. Alumni @PMGontor, @uinjkt dan @StateIVLP. Penjelajah kota-kota dunia: Makkah, Madinah, Tokyo, Hong Kong, Kuala Lumpur, Langkawi, Putrajaya, Washington DC, Alexandria (VA), New York City, Milwaukee, Salt Lake City, San Francisco, Phuket, Singapore, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Dubai, Bangkok.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Cerita Itu Harus Diperlihatkan, Jangan Hanya Dikatakan... (Belajar Storytelling)

26 November 2016   16:15 Diperbarui: 27 November 2016   14:57 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Instruksi seperti yang tertulis pada judul di atas menjadi materi awal pembekalan wartawan ketika saya bekerja sebagai kuli tinta untuk pertama kalinya di Harian Republika. “Show it. Don’t tell it.” Begitu jargonnya.

Ini adalah teori dasar buat semua reporter: Paparkan. Tunjukkan. Perlihatkan. Deskripsikan. Ceritakan. Dan sebagainya. Karena tulisan hanya berupa rangkaian huruf menjadi kata menjadi kalimat, maka tidak ada visual di dalamnya, kecuali kalimat itu dirangkai untuk menggambarkan wujud visual yang dimaksud.

Kepintaran seorang pelajar tidak bisa dibayangkan kepintarannya kalau Anda hanya menulis “pelajar itu pintar.” Begitu juga kehebatan seorang pemimpin tidak bisa dibayangkan kehebatannya kalau Anda hanya menulis “pemimpin itu hebat.”

Alih-alih menulis kalimat “kamar itu megah”, seorang penulis dituntut untuk menggambarkan kemegahan yang dia rasakan di kamar tersebut. Berapa luasnya, bagaimana interiornya, apa saja perabot dan barang-barang yang tersusun di dalamnya, bagaimana aroma dan nuansa warnanya—yang itu semua mewakili kata ‘megah’. 

Begitu pintu besar berukiran bunga rampai itu dibuka lebar-lebar, terhampar kamar dengan pencahayaan kuning temaram. Sudut pandang saya lepas menembus kaca jendela nun jauh di sana. Tidak ada apapun yang menghalanginya. Sofa biru tersusun rapi di ruang kerja yang ada di sayap kiri. Meja kerja dari kayu jati memanjang di sudut ruangan. Sementara di depan sofa, tergantung televisi 42 inci yang terlihat kecil di ruang bersekat dengan interior minimalis itu.

Langkah kakiku terbenam lembut ke dalam karpet biru yang melapisi kamar. Setelah sempat tertegun sekian detik di bawah kosen pintu, aku pun mantap melangkah menuju jendela itu….

Begitulah bedanya antara menyatakan sesuatu dengan memperlihatkan sesuatu. Bahkan lewat tulisan sekalipun, tanpa ilustrasi gambar atau pun foto ruangan, pembaca bisa membayangkan megahnya kamar termahal di hotel yang Anda datangi. Hanya bila Anda menggambarkannya!

Intinya, jangan mengetikkan kata 'megah', tapi biarkan pembaca yang menemukan adanya kemegahan dalam bacaan yang sedang ia nikmati.

Bayangkan bila Anda memilih untuk menyatakannya, tulisan itu hanya akan menjadi susunan huruf tanpa visual. Tanpa rasa. Tanpa aroma. Tanpa fantasi yang menggelorakan pikiran.

Menyatakan sesuatu tentu lebih mudah dan singkat. Anda bisa bilang ‘wanita itu cantik’. Tapi cantik bagaimana? Apalagi kecantikan relatif, bukan? Cantik menurut Anda, belum tentu cantik menurut pembaca. Lantas bagaimana orang lain dapat menilai tingkat kecantikan wanita yang sedang diceritakan kalau penulisnya tidak menjelaskan wajahnya, bentuk alisnya, warna kulitnya, bentuk tulang rahangnya, susunan giginya, dan sebagainya.

Bahkan saat Anda benar-benar merasa butuh menyebutkan kata ‘megah’ dalam contoh ulasan kamar hotel di atas, pinjamlah keterkaguman teman Anda yang ikut menginap di situ. Rekamlah ekspresinya saat dia berkata, “Wuiiihhh… Megahnyaaa…..”

Justifikasi atas sesuatu itu akan lebih hidup kalau diutarakan oleh tokoh dalam cerita yang sedang Anda sajikan untuk pembaca.

Ini modal dasar yang perlu Anda pegang teguh. Ini cara praktis untuk membuat cerita Anda hidup laksana dongeng yang biasa diceritakan oleh orang tua kepada anak-anak mereka menjelang tidur. 

Berceritalah dengan runut. Bertuturlah dengan detil. Deskripsikan suara yang Anda dengar. Tuliskan aroma yang Anda cium. Beberkan lapis demi lapis rasa dari kue yang Anda makan.

Dengan cara itulah pembaca bisa ikut merasakan apa yang Anda nikmati, dan bisa ikut menikmati Apa yang Anda rasakan. Satu contoh cerita bisa Anda baca di artikel saya berjudul “Yang Pertama dan Serba Wah di Kabin Pesawat Kepresidenan”.

Di situ, dari awal sampai akhir, saya mengajak pembaca untuk ikut bergegas memasuki pesawat kepresiden bersama Presiden Jokowi yang ada di depan sana. Mereka yang membaca cerita itu juga saya bawa masuk ke dalam kabin pesawat. Saya dudukkan ke atas kursi empuk berbalut kulit warna coklat muda. Saya suapkan santap malam yang disajikan oleh pramugari yang kecantikannya saya hadirkan dalam bentuk foto.

Tentu ini membutuhkan waktu dan ingatan. Tapi sepanjang Anda sendiri yang mengalaminya, tidak terlalu sulit untuk menceritakan detilnya.

Bahkan, sekalipun tidak mengalami suatu peristiwa, Anda tetap bisa menceritakan detilnya, lewat penuturan orang yang kebetulan mengalami langsung peristiwa tersebut.

Bagaimana caranya? Akan saya bagikan di ulasan berikutnya...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun