Emangnya ke pondok dia yang mau, Mas Is? Emangnya si Kakak betah di sana?Â
Saya harus bilang bahwa ini adalah keputusan yang sudah dibicarakan setahun terakhir bersama si Kakak. Mamanya punya cara yang bagus untuk menceritakan apa yang dulu dia pelajari di Pondok Modern Darul Ulum, Sukabumi. Saya pun kadang berbagi cerita saat mondok di Gontor dulu. Racun yang membuat dia penasaran adalah bahasa Arab yang kerap saya dani istri gunakan untuk pembicaraan rahasia di hadapan anak-anak. Si kakak selalu bilang ingin bisa bahasa Arab agar mengerti apa yang dibicarakan orangtuanya.
Soal betah tidak betah, anak sekecil itu pasti ingin selalu bersama ayah dan ibunya sepanjang masa. Sejak berangkat ke Gontor, 12 Juli lalu saja, si kakak sudah dua kali nangis. Pertama karena tempat tidur berbentuk bangsal bikin dia gerah dan tidak bisa tidur, kedua karena kangen sama papanya. Itu masih ada mamanya loh, nemenin di sana sampai hasil ujian diumumkan panitia. Saya saja yang cowok masih nangis tersedu-sedu saat satu bulan pertama mondok. Apalagi anak cewek.
Tapi, ada juga loh orang tua yang lebih baper dari anaknya. Saat waktu perpisahan tiba, ayah ibunya nangis tersedu-sedu sementara anaknya malah anteng sambil menikmati adegan India ortunya....
Pada akhirnya, saya yakin ini pilihan terbaik buat si kakak. Bukan berarti sekolah SMP di dekat rumah tidak baik. Ada satu keyakinan dalam diri saya bahwa sistem pendidikan yang holistik, dalam lingkungan sekolah berasrama yang diayomi 7 hari 24 jam, lebih baik dari lingkungan sekolah dan rumah yang tidak bisa dikontrol sepanjang waktu.
Butuh lebih dari sekedar kemauan untuk bisa mengirim anak-anak kita ke pondok pesantren. Kalau tidak ikhlas melepas anak, niat hanya akan jadi niat. Kalau tidak ada kebulatan tekad, sedikit gangguan akan mengubah haluan. Kalau tidak ada keyakinan terhadap pengelola lembaga pendidikan berasrama, orang tua bisa jadi hambatan anaknya bersekolah.
Kalau ditanya ke anak, dia pasti akan bilang tidak  mau mondok. Kalau tidak dipaksakan, mereka pasti tidak betah dan minta pulang. Apalagi setelah dijelaskan dan tahu betapa tidak enaknya hidup di sana. Namanya juga anak lulusan SD. Mereka masih sangat bergantung pada keputusan orang tuanya. Belum bisa dilepas mengambil keputusan berdasarkan kemauan mereka sendiri. Sangat jauh berbeda dengan anak lulusan SMA atau anak lulusan S1. Setidaknya itu menurut saya.
Terlebih, yang saya pilihkan untuk dia adalah sekolah lanjutan yang pernah Papa Mamanya kecap dulu. Dan kami merasa pondok adalah tempat belajar yang kondusif buat anak-anak usia SMP dan SMA—sebelum dia masuk ke dunia kampus yang jauh lebih bebas dan tidak terkendali.
Ada banyak alasan positif menyekolahkan anak ke Gontor. Sebuah lembaga pendidikan berusia 90 tahun yang berlokasi di dusun Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Tapi uraiannya akan panjang kali lebar. Butuh sesi khusus untuk mengenal apa dan bagaimana pendidikan Gontor dirancang dan dijalankan, tanpa harus gonta-ganti kurikulum dan gonta-ganti pelajaran, meskipun Menteri Pendidikan dan Menteri Agamanya sudah berkali-kali ganti orang.