Mohon tunggu...
ISJET @iskandarjet
ISJET @iskandarjet Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Follow @iskandarjet on all social media platform. Learn how to write at www.iskandarjet.com. #katajet. #ayonulis. Anak Betawi. Alumni @PMGontor, @uinjkt dan @StateIVLP. Penjelajah kota-kota dunia: Makkah, Madinah, Tokyo, Hong Kong, Kuala Lumpur, Langkawi, Putrajaya, Washington DC, Alexandria (VA), New York City, Milwaukee, Salt Lake City, San Francisco, Phuket, Singapore, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Dubai, Bangkok.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyekolahkan Anak ke Pesantren? Kenapa Tidak (#AyoMondok)

20 Juli 2016   17:32 Diperbarui: 20 Juli 2016   18:56 3700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Obrolan sore itu semakin hangat saat topik beralih ke rencana sekolah lanjutan untuk anak-anak. Suasana ruang makan di villa Taman Aer Hotel, Mega Mendung, masih sepi karena anak-anak sedang menggelar aneka lomba dalam rangka perpisahan siswa kelas 6C SD PB Soedirman Jakarta Timur. Sementara lima orang wari murid ini asik ngerumpi sambil ditemani cemilan dan kopi panas.

“Kalau putrinya Pak Is mau lanjut sekolah di mana?” tanya seorang wali murid.

“Ke pesantren, Pak,” jawab saya singkat.

Saya tidak sempat bercerita lebih lanjut lantara suasana tetiba hening. Tidak ada celetukan lebih lanjut. Padahal sebelumnya kami berlima tak henti saling sahut-sahutan menimpali soal banyak hal, termasuk soal SMP terbaik, terdekat, nilai NEM, dan sebagainya. Dalam hati saya maklum. Mereka mungkin tidak enak mengomentari pesantren sebagai pilihan sekolah lanjutan untuk anak SD. Beragam penilaian dan pertimbangan tersimpan di benak masing-masing.

Tidak bisa dipungkiri, memasukkan anak ke pondok belum jadi pilihan popular. Terlebih buat orang tua yang tidak pernah bersekolah di pesantren, atau tidak mengenal dunia santri, atau tidak akrab dengan kosakata pondok pesantren. Keluarga saya pun, yang akrab dengan kosakata ini, tidak semuanya percaya atau berani atau mau memondokkan anaknya. Beragam alasan mengemuka. Tapi yang paling sering diungkapkan adalah, tidak tega anaknya jauh dari rumah, hidup dengan standar yang jauh dari apa yang bisa mereka berikan di rumah.

Melepas si Kakak pergi ke Gontor, berangkat bersama rombongan IKPM Jakarta dari depan Masjid At-Tin, 12 Juli 2016. (@iskandarjet)
Melepas si Kakak pergi ke Gontor, berangkat bersama rombongan IKPM Jakarta dari depan Masjid At-Tin, 12 Juli 2016. (@iskandarjet)
Beberapa hari lalu pun, saat saya bercerita ke teman-teman kantor soal si kakak yang sedang ikut ujian masuk Pondok Modern Gontor Putri di Mantingan, Ngawi, ada yang berkelakar bahwa saya orang tua yang melanggar hak asasi anak. Sebuah becandaan yang mengekpresikan sikap bahwa pondok pesantren itu belum cukup layak atau pantas untuk anak usia lulusan SD.

“Emang tega apa Mas Is anaknya dipondokin?” Sahut seorang teman.

“Dia kan masih kecil, Mas Is,” timpal yang lain.

Jujur, kalau diinterogasi soal putusan saya dan istri memondokkan anak, ada setitik emosi yang meminta kita untuk mengurungkan niat tersebut. Rasa iba pasti muncul. Mana ada sih orang tua yang mau jauh dari anaknya. Apalagi mereka akan menjalani hidup yang sama sekali berbeda dengan 'kenikmatan' di rumah. Tidak ada kamar pribadi. Tidak ada ruang ber AC. Tidak ada busana yang meriah. Tidak ada makan enak dan serba ada. Tidak ada jalan-jalan ke mol. Boro-boro main Instagram atau ngejar-ngejar Pokemon. Nonton televisi dan dengar radio pun tidak.

Seketika penampilannya berubah. Dari anak yang cengeng dan manja, jadi mandiri dan ceria. (Entin Soleha)
Seketika penampilannya berubah. Dari anak yang cengeng dan manja, jadi mandiri dan ceria. (Entin Soleha)
Dan lokasinya pun, jauh pula!

Si kakak kan cewek. Kalau dia sakit gimana. Kalau dia kangen ama adik-adiknya gimana. Macam-macam pertimbangan yang disodorkan ke saya. Baik oleh teman-teman, ataupun oleh diri saya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun