Dari Facebook, saya pernah menulis dua cerita, satu dari negeri jiran, satu lagi berasal dari dalam negeri. Sebelum menuangkan kedua cerita tersebut, saya membaca dulu konten dan interaksi di dalamnya. Setelah itu, barulah meminta izin kepada si empunya untuk menceritakannya kembali di Kompasiana. Ada yang saya hubungi lewat jalur pribadi, misalnya untuk menanyakan dan mengkonfirmasi sesuatu, atau untuk sekedar meminta izin menayangkan foto sambil memastikan nama pemiliknya.
Cerita pertama tentang pertemuan seorang buruh migran Indonesia (BMI) dengan putri keduanya bernama Ayu Shakira, yang di media jurnalis diberitakan sebagai kisah perjuangan seorang ibu bertemu anaknya, tapi di media warga justru diceritakan dalam bingkai penganiayaan seorang ibu terhadap anaknya, seperti ditulis oleh Monica, salah seorang staf KJRI Kuching, Malaysia.
Sedangkan cerita kedua berasal dari foto Ali Amin, seorang teman almamater, yang bertanya ke saya dan beberapa teman lainnya, apakah benar Panji Hilmansyah yang dulu jadi santrinya di Gontor 2 adalah putra Menteri Susi yang baru saja meninggal dunia. Cerita itu mendapat respon yang jauh lebih besar dibandingkan cerita pertama, tentunya karena faktor ketokohan Susi Pudjiastuti yang menjadi media darling sejak dirinya didapuk sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Dalam dunia pers, storytelling sudah lama dipraktekkan ke dalam beragam produk jurnalistik, mulai dari sesederhana feature news, seserius investigative journalism, sampai semewah multimedia journalism. Tapi pesan yang ingin saya sampaikan lewat cerita ini adalah, setiap cerita akan lebih hidup jika diceritakan dengan gaya mendongeng.
Dan tidak ada larangan bagi penulis cerita untuk menjadi tokoh dalam cerita yang sedang diceritakan.
Blogger, dalam konteks ini, punya modal besar untuk bercerita, karena dia menulis dari sudut pandangnya sendiri, bukan dari sudut pandang atau sudut kepentingan media tempat kontennya ditayangkan.
Setelah bercakap-cakap lewat jempol seputar kesibukan yang sedang saya jalani dan posisi naskah saat ini, saya pun menyanggupi permintaan teman tadi. “Ana coba ya ust. Mudah2an emotional touch-nya dapat berhubung ana belum pernah umroh….”
“Baik ust.. Mudah2an antum segera umroh.”
Amin….
Mau belajar nulis? Gabung aja di sini. #ayonulis