Mohon tunggu...
ISJET @iskandarjet
ISJET @iskandarjet Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Follow @iskandarjet on all social media platform. Learn how to write at www.iskandarjet.com. #katajet. #ayonulis. Anak Betawi. Alumni @PMGontor, @uinjkt dan @StateIVLP. Penjelajah kota-kota dunia: Makkah, Madinah, Tokyo, Hong Kong, Kuala Lumpur, Langkawi, Putrajaya, Washington DC, Alexandria (VA), New York City, Milwaukee, Salt Lake City, San Francisco, Phuket, Singapore, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Dubai, Bangkok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Satu Ibu, Dua Belas Anak (1)

21 Desember 2011   17:57 Diperbarui: 22 Desember 2017   17:18 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kali berbincang soal keluarga dengan teman di rumah, di kampus ataupun di tempat kerja, saya selalu tertarik untuk menanyakan, "Saudara lo ada berapa?" Lalu jawaban mereka akan membuat saya takjub. Lima, tujuh, sembilan orang bersaudara. 

Wah, banyak sekali saudaranya, gumam saya. 

Jujur, itu adalah ekspresi alami yang selalu muncul di benak saya begitu mendengar jumlah anak lebih dari tiga yang dilahirkan dari satu rahim ibu. Bukan hanya soal ketegaran dan kekuatan seorang ibu mengalami persalinan sampai berkali-kali. Tapi juga soal kegigihan dan kecerdasan orang tua dalam membesarkan dan mendidik begitu banyak anak-anak mereka. 

Apalagi saat melihat foto keluarga besar mereka, ditambah dengan pasangan istri dan masing-masing anaknya. Setiap tahun, bisa dipastikan kameramen yang mengambil gambar keluarga besar itu akan mundur menjauh, karena jumlah orang yang harus difoto bertambah banyak. 

Saat teman-teman bertanya balik berapa jumlah saudara saya, mereka pun akan menunjukkan kekagumannya secara langsung (bukan dalam hati atau dalam bentuk gumaman). Kagum karena jumlahnya jauh lebih besar dari yang pernah mereka duga.

Saya selalu menjawab, ibu punya 12 orang anak. Sepuluh anak laki-laki, dua anak perempuan, dan itu belum termasuk dua calon bayi yang keguguran. Sampai saat ini, sebelas orang putra-putri pasangan H Rohimin (alm) dan Hj Romlah ini masih hidup, berkeluarga dan beranak-cucu, sedangkan seorang putrinya sudah lama meninggal dunia saat balita. 

Kok banyak banget, Dar? 

Ya, itulah realitanya. Orang tua saya termasuk orang yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai pernikahan seperti yang diamanatkan dalam Al Quran. Ayah seorang yang taat beribadah dan patuh pada ajaran Islam yang disampaikan alim ulama. Walhasil, urusan reproduksi menjadi urusan suci yang tidak boleh disia-siakan begitu saja. Tidak ada ceritanya mengatur kelahiran anak seperti disusun rinci dalam program Keluarga Berencana. Yang ada hanyalah menjalani kehidupan berumah tangga dengan niat ikhlas untuk ibadah. 

Jadi kalau digabung dalam satu bingkai foto, maka akan terlihat 35 60 kepala berpose di sana. Dan ajaibnya, puluhan kepala tadi, hidup di bawah naungan satu kepala yang sudah berusia 78 72 tahun lebih. 

Dialah Hj Romlah, ibu kami tercinta. 

Pengajar Tangguh 

Bagi kebanyakan orang, sang bunda adalah sosok pengajar yang menekuni pekerjaannya karena ibadah dan ikatan pengabdian. Pengabdian untuk Allah swt semata.

Sejak tahun 1978, atau beberapa bulan setelah melahirkan saya, dia merintis pengajian Al Quran dengan niat mendidik orang-orang di kampungnya agar bisa membaca kitab suci. Saat itu, kampung Betawi di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, sudah diwarnai dengan banyak kegiatan keagamaan dalam bentuk pengajian, mulai dari pengajian anak-anak, ibu-ibu, sampai bapak-bapak. Tapi di kala itu masih banyak yang belum menjalankan ibadah dengan benar lantaran tidak dibekali dengan ilmu yang memadai. 

Ibu pun tertarik merintis pengajian untuk lingkungan sekitarnya, sambil berguru dengan banyak guru-guru besar lain seperti Ust Suryani Thahir (Assuryaniyyah) dan Tuti Alawiyah (Asy-Syafiiyyah). Pengajian alif-ba-ta ini ditekuninya sambil mendampingi baba (panggilan saya untuk ayah) yang setiap hari bekerja memerah susu sapi dan menjualnya ke daerah Kota bersama para peternak sapi Kuningan lainnya. 

Dan inilah suasana yang saya akrabi sepanjang masa kecil: Lenguhan sapi, teriakan anak-anak mengaji dan suara ibu-ibu berzikir. Silih berganti mewarnai rumah sederhana di sebuah gang kecil yang di depannya terdapat empang lebar yang dipenuhi dengan kotoran sapi berlapis-lapis. 

Awalnya tentu tidak mudah merintis sebuah pengajian. Tapi saat duduk di bangku SD, saya sudah bertemu dengan banyak sekali anak-anak yang datang ke rumah untuk belajar mengaji. Duduk bersila dengan lekar kayu di depannya. Menunggu giliran mengeja alif-ba-ta atau melancarkan bacaan Al Quran di hadapan guru. Dan setahu saya, tarifnya gratis. Kalau pun ada yang menyerahkan uang seribu-dua ribu setiap bulan, motivasi yang ditanamkan ke para murid adalah sedekah untuk guru. Agar ilmu yang didapat lebih barakah. 

Saya betul-betul terkesima dengan staminanya dalam mengajar. Dalam sehari, tujuh puluh lebih kepala diajari cara mengeja huruf Arab, satu per satu. Setelah itu, mereka dibekali ilmu shalat dan zikir. Lalu ditambah dengan wejangan agar anak-anak senantiasa menghormati dan mematuhi orang tua, serta menuntut ilmu setinggi langit dan mengamalkannya sepanjang hayat. 

Saya tidak melihat adanya motivasi lain dari seorang Romlah saat dia begitu tekun merintis pengajiannya selain untuk ibadah. Setidaknya ada satu keyakinan dalam dirinya, kalau saya mengajarkan anak orang mengaji, minimal anak-anaknya juga bisa mengaji. Dan sampai saat ini, saya paham betul bahwa mengaji itu mahal harganya. 

Itulah sebabnya dia tidak pernah kompromi dalam urusan mengajji. Saya sering lihat ibu galak mengajar anak orang. Tapi saat mengajar anak-anaknya sendiri, dia lebih galak lagi. Pukulan sapu lidi atau rotan biasanya saya nikmati saat rasa malas hinggap di hati. Baba juga tidak kalah galaknya dalam mendidik anak. 

Setiap malam, saya punya batas waktu hingga jam delapan untuk absen dan tinggal di rumah. Kalau lewat dari jam itu, baba tidak segan-segan keluar mencari dan menjewer telinga saya sepanjang jalan pulang, dari rumah teman sampai terus masuk halaman rumah. Duh, sakitnya benar-benar terasa. Malunya, sungguh luar biasa....

Trus, di rumah, ibu sudah mempersiapkan hukuman lanjutan. Tapi itu semua saya syukuri, karena sekarang putra kesebelas ini tidak hanya bisa mengaji, tapi juga menguasai ilmu agama, setidaknya untuk saya pratekkan sendiri dengan baik dan benar. 

Kecintaan sang ibu mengajar Al Quran tidak hanya terlihat dari semangatnya mengajar anak-anak dan ibu-ibu setiap hari. Tapi juga bisa diukur dari bagaimana dia memperbesar ruang mengaji yang menempel di rumah utama, lalu membangun musholla kecil di samping rumah. Semua itu dilakukan untuk memaksimalkan daya tampung murid dan memperlancar proses belajar-mengajar. Tentu tidak hanya dengan mengandalkan uang hasil gusuran tanah, tapi juga dengan mengumpulkan sedekah dan zakat dari banyak pihak. 

Saat keluarga saya, atau persisnya rumah baba kena gusur untuk pertama kalinya di tahun 1991 (yang menjadi awal lahirnya fenomena anak gusuran ibukota dan secara dramatis mendongkrak harga tanah di pelosok dan sekitar Jakarta), ibu mengutamakan kelangsungan pendidikan agama yang sudah dirintis. 

Bersama baba, dia membangun rumah dua lantai di atas tanah warisan orang tuanya yang tidak terlalu jauh dari rumah baba. Lantai pertama untuk keluarga, lantai kedua diprioritaskan untuk pengajian. 

Saat sistem pendidikan Iqra dirintis di Jogja, ibu langsung bergabung dan membuka cabang Iqra di rumah barunya. Waktu itu dia mulai menemukan bentuk pendidikan yang lebih modern dibandingkan sistem pengajaran alif-ba-ta yang tradisional. Sebuah yayasan pun dibangun dengan nama Jamilatun Nisa. 

Di tempat baru ini, kegiatan pendidikan berlari kencang. Lembaga pendidikan TK Islam dan TK Al Quran berjalan bersama pengajian ibu-ibu yang rutin berjalan setiap Jumat siang. Acara-acara keagamaan yang melibatkan ribuan jamaah pun ritun digelar setiap tahun, seperti peringatan Maulid Nabi. 

Lalu sepuluh tahun lebih berselang, proyek Mega Kuningan kembali membutuhkan tanah leluhur kami untuk bisnis properti mereka yang nampaknya sudah dirancang sejak puluhan tahun silam. Akhirnya, ibu saya kembali digusur dan pindah ke daerah Tanjung Barat. Tapi darah pendidik dan pengajar dalam jiwanya masih mengalir deras. Dan semangat juang itu membimbingnya ke sebuah petak tanah seluas seribu meter lebih, yang sebagiannya diwakafkan untuk lembaga pendidikan TK dan SD Islam. 

Bangunan sekolah pun dibangun dengan uang hasil gusuran. Keberkahan tiada tara diraih ibu dari ibadah yang selama ini dilakoni setiap hari. 

Ke-11 anaknya dapat mengenyam pendidikan meskipun harus tertatih-tatih. Sebagian besar meraih sarjana, juga ada yang sudah S3, meskipun ada juga yang hanya lulusan SMA. Tapi untuk ukuran seorang ibu dengan belasan anak yang berasal dari keluarga sederhana, mencapaiannya saat ini sungguh luar biasa. 

Dan di usianya yang uzur dan sakit-sakitan, dia masih terus membesarkan lembaga pendidikannya dengan memperluas bangunan sekolah agar daya tampung murid bertambah. Dan saya masih belum melihat adanya aroma bisnis di sepanjang perjuangan ibu dalam merintis pendidikan untuk masyarakat sekitar. 

Bersambung ke: Satu Ibu, Dua Belas Anak (2)

Baca juga: Bu, Tidur dulu, Bu. Istirahat dulu...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun