Mohon tunggu...
ISJET @iskandarjet
ISJET @iskandarjet Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Follow @iskandarjet on all social media platform. Learn how to write at www.iskandarjet.com. #katajet. #ayonulis. Anak Betawi. Alumni @PMGontor, @uinjkt dan @StateIVLP. Penjelajah kota-kota dunia: Makkah, Madinah, Tokyo, Hong Kong, Kuala Lumpur, Langkawi, Putrajaya, Washington DC, Alexandria (VA), New York City, Milwaukee, Salt Lake City, San Francisco, Phuket, Singapore, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Dubai, Bangkok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Satu Ibu, Dua Belas Anak (1)

21 Desember 2011   17:57 Diperbarui: 22 Desember 2017   17:18 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi kebanyakan orang, sang bunda adalah sosok pengajar yang menekuni pekerjaannya karena ibadah dan ikatan pengabdian. Pengabdian untuk Allah swt semata.

Sejak tahun 1978, atau beberapa bulan setelah melahirkan saya, dia merintis pengajian Al Quran dengan niat mendidik orang-orang di kampungnya agar bisa membaca kitab suci. Saat itu, kampung Betawi di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, sudah diwarnai dengan banyak kegiatan keagamaan dalam bentuk pengajian, mulai dari pengajian anak-anak, ibu-ibu, sampai bapak-bapak. Tapi di kala itu masih banyak yang belum menjalankan ibadah dengan benar lantaran tidak dibekali dengan ilmu yang memadai. 

Ibu pun tertarik merintis pengajian untuk lingkungan sekitarnya, sambil berguru dengan banyak guru-guru besar lain seperti Ust Suryani Thahir (Assuryaniyyah) dan Tuti Alawiyah (Asy-Syafiiyyah). Pengajian alif-ba-ta ini ditekuninya sambil mendampingi baba (panggilan saya untuk ayah) yang setiap hari bekerja memerah susu sapi dan menjualnya ke daerah Kota bersama para peternak sapi Kuningan lainnya. 

Dan inilah suasana yang saya akrabi sepanjang masa kecil: Lenguhan sapi, teriakan anak-anak mengaji dan suara ibu-ibu berzikir. Silih berganti mewarnai rumah sederhana di sebuah gang kecil yang di depannya terdapat empang lebar yang dipenuhi dengan kotoran sapi berlapis-lapis. 

Awalnya tentu tidak mudah merintis sebuah pengajian. Tapi saat duduk di bangku SD, saya sudah bertemu dengan banyak sekali anak-anak yang datang ke rumah untuk belajar mengaji. Duduk bersila dengan lekar kayu di depannya. Menunggu giliran mengeja alif-ba-ta atau melancarkan bacaan Al Quran di hadapan guru. Dan setahu saya, tarifnya gratis. Kalau pun ada yang menyerahkan uang seribu-dua ribu setiap bulan, motivasi yang ditanamkan ke para murid adalah sedekah untuk guru. Agar ilmu yang didapat lebih barakah. 

Saya betul-betul terkesima dengan staminanya dalam mengajar. Dalam sehari, tujuh puluh lebih kepala diajari cara mengeja huruf Arab, satu per satu. Setelah itu, mereka dibekali ilmu shalat dan zikir. Lalu ditambah dengan wejangan agar anak-anak senantiasa menghormati dan mematuhi orang tua, serta menuntut ilmu setinggi langit dan mengamalkannya sepanjang hayat. 

Saya tidak melihat adanya motivasi lain dari seorang Romlah saat dia begitu tekun merintis pengajiannya selain untuk ibadah. Setidaknya ada satu keyakinan dalam dirinya, kalau saya mengajarkan anak orang mengaji, minimal anak-anaknya juga bisa mengaji. Dan sampai saat ini, saya paham betul bahwa mengaji itu mahal harganya. 

Itulah sebabnya dia tidak pernah kompromi dalam urusan mengajji. Saya sering lihat ibu galak mengajar anak orang. Tapi saat mengajar anak-anaknya sendiri, dia lebih galak lagi. Pukulan sapu lidi atau rotan biasanya saya nikmati saat rasa malas hinggap di hati. Baba juga tidak kalah galaknya dalam mendidik anak. 

Setiap malam, saya punya batas waktu hingga jam delapan untuk absen dan tinggal di rumah. Kalau lewat dari jam itu, baba tidak segan-segan keluar mencari dan menjewer telinga saya sepanjang jalan pulang, dari rumah teman sampai terus masuk halaman rumah. Duh, sakitnya benar-benar terasa. Malunya, sungguh luar biasa....

Trus, di rumah, ibu sudah mempersiapkan hukuman lanjutan. Tapi itu semua saya syukuri, karena sekarang putra kesebelas ini tidak hanya bisa mengaji, tapi juga menguasai ilmu agama, setidaknya untuk saya pratekkan sendiri dengan baik dan benar. 

Kecintaan sang ibu mengajar Al Quran tidak hanya terlihat dari semangatnya mengajar anak-anak dan ibu-ibu setiap hari. Tapi juga bisa diukur dari bagaimana dia memperbesar ruang mengaji yang menempel di rumah utama, lalu membangun musholla kecil di samping rumah. Semua itu dilakukan untuk memaksimalkan daya tampung murid dan memperlancar proses belajar-mengajar. Tentu tidak hanya dengan mengandalkan uang hasil gusuran tanah, tapi juga dengan mengumpulkan sedekah dan zakat dari banyak pihak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun