Di Muhammadiyah, ada yang dikenal dengan istilah Masailul Khomsah, sebagai Manhaj Muhammadiyah di dalam menetapkan langkah-langkah Muhammadiyah menyelesaikan masalah masalah agama baik yang berhubungan dengan dunia ataupun yang berhubungan dengan akhirat.
Masailul Khomsah juga menjadi landasan ideologi dan teologi Muhammadiyah terutama kalau didasarkan pada penetapan sikap Muhammadiyah di dalam masalah-masalah aqidah. Karena Muhammadiyah berpandangan bahwa Islam membedakan antara Urusan Agama dan urusan dunia dan segala yang berkaitan dengan agama perlu kembali kepada Allah dan rasulnya demikian juga dalam urusan akidah harus bersumber dari Alquran dan Sunnah. Meskipun dalam perkembangannya Muhammadiyah lebih memperluas Ushul Harokah Muhammadiyah, yang disebut dengan Manhaj Muhammadiyah yang memasukkan unsur-unsur filsafat di dalamnya seperti Bayani, Burhani dan Irfani, seiring dengan perkembangan wawasan intelektual Muhammadiyah yang bersumber dari berbagai disiplin ilmu. Terutama dari sumber-sumber pendidikan yang beraliran filsafat.Â
Karena gerakan dakwah Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari disiplin ilmu orang-orang yang berada di dalamnya. Hal ini tercermin dalam mengambil keputusan dari masa ke masa mulai dari sikap puritanisme dan konsep agama fundamental menuju gagasan-gagasan yang pluralisme di samping bumbu-bumbu liberalisme.
Jika pada awalnya Muhammadiyah lebih mengedepankan sikap ideologi puritanis sebagaimana yang dikembangkan oleh KH Ahmad Dahlan dalam perjalanannya, Â adalah bagian gagasan Gerakan dakwah yang banyak mendapatkan tantangan dan rintangan dari luar Jagat Muhammadiyah.
Baru pada masa KH Mas Mansyur terdapat angin segar keterbukaan dengan menampilkan sosok merangkul dan dialogis lewat berbagai karya dialogis dengan melibatkan kelompok-kelompok di luar Muhammadiyah meskipun hal ini tidak lama. Dan untuk menghilangkan kesan Muhammadiyah sebagai kelompok Islam yang kolot dan fundamental dilakukan berbagai macam perlombaan tata cara melangkah menuju langkah-langkah yang dianggap terbaik oleh Muhammadiyah dari masa ke masa.
Tetapi unsur utamanya adalah tetap mengembangkan pola pikir dari ushul Fiqih dan Ushuluddin versi Muhammadiyah yang di sebut dengan Masailul Khomsah. Dan Masailul Khomsa Muhammadyah adalah produk ijtihad jama'i, tentunya dengan melibatkan banyak orang yang dipandang pakar di dalam Muhammadiyah. Masailul Khomsa itu diantaranya :Â
Pertama, agama, (a) agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw ia
lah apa yang diturunkan Allah dalam al-Qur'an dan yang tersebut dalam al-Sunnah maqbulah, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat, (b) agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantaraan Nabi-nabi-Nya, berupa perintah dan larangan serta untuk kebaikan-kebaikan manusia di dunia dan akhirat.
Kedua, yang dimaksud "urusan dunia" dalam sabda Rasulullah "Kamu lebih mengerti urusan duniamu" ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi, (yaitu perkara/pekerjaan/urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan manusia).
Ketiga, ibadah adalah ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan menaati segala perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan mengamalkan segala yang diinginkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus (madhah dan gairu mahdhah).
Keempat, sabilillah ialah jalan yang menyampaikan perbuatan seseorang kepada keridhaan Allah, berupa segala amalan yang diizinkan Allah untuk memuliakan kalimat (agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya.
Kelima, ijtihad. Poin ini belum ada penjelasan secara rinci. Disebutkan,Â
(a) bahwa dasar mutlak untuk berhukum dalam agama Islam adalah al-Qur'an dan al-Hadis,Â
(b) bahwa dalam menghadapi persoalan yang telah terjadi dan sangat dibutuhkan untuk diamalkan, mengenai hal-hal yang tidak bersangkutan dengan ibadah mahdlah, padahal untuk alasan atasnya tidak terdapat nash sharih dalam al-Qur'an dan al-Sunnah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istimbath dari nash yang ada, melalui persamaan illat, sebagaimana dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf.
Dari Masailul Khomsa ini terdapat gambaran yang melukiskan gerakan dakwah Muhammadiyah adalah sebuah gerakan dakwah rasional yang emosional kekinian di dalam rangka membangun tata kehidupan manusia yang lebih beradab dan nasionalis. Bahkan gerakan dakwah Muhammadiyah disebut juga Gerakan dakwah Amar ma'ruf nahi munkar dan simbol amal ma'ruf nahi mungkar ini menjadi yang terdepan di dalam membangun Muhammadiyah.Â
Bila dibandingkan dengan aliran mu'tazilah ada hal-hal yang serupa di dalam gerakan dakwah Muhammadiyah seperti mengandalkan kekuatan yang rasional dan dinamis dan lebih pada konsep mengedepankan akal sebagai pilihan untuk menolak semua yang bersifat tidak rasional, mulai dari permasalahan teologi sehingga masalah-masalah yang berkaitan dengan eksistensi manusia.
Muktazilah berangkat dari narasumber washil bin Atha' , orang pertama yang melahirkan gagasan memisahkan diri dari kelompok besar yang dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jamaah. Cikal bakal mu'tazilah ini adalah salah seorang murid dari Hasan Al bashri, Â yang melahirkan rawi-rawi mu'tazilah sampai kepada Al Juba'i. Dia adalah seorang lawan debat dari Abu Hasan Al Asy'ari yang awalnya juga merupakan darah daging dari mu'tazilah dan pada akhirnya menjadi orang yang bertobat lalu kembali ke pangkuan Ahlussunnah Wal Jamaah.Â
Dalam beberapa buku dan media sosial dapat dirinci tentang perjalanan aliran mu'tazilah mulai dari zaman Washil bin Atha:
Washil bin 'Atha
Washil bin 'Atha lahir di Madinah pada tahun 70 H. Ia belajar kepada Hasan Al-Bashri di Basrah. Washil bin 'Atha menyatakan bahwa seorang muslim yang berbuat dosa besar dihukumi tidak mukmin dan tidak kafir, tapi fasiq. Keberadaan orang tersebut adalah di antara mukmin dan kafir. Ada dugaan bahwa sikap Washil bin 'Atha yang demikian adalah untuk mengambil jalan tengah antara Khawarij dan Murji'ah. Dia tidak mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu kafir sebagaimana dikatakan oleh Kawarij, dan tidak pula mengatakan mukmin sebagaimana keyakinan Murji'ah, melainkan berada di dua posisi.
Mengenai perbuatan manusia, Washil berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan, kemampuan dan kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Kebebasan memilih, kekuasaan dan kemampuan untuk berbuat yang terdapat dalam diri manusia adalah pemberian dari Allah. Karena itu, manusialah yang menciptakan perbuatannya dan harus bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut.
Tentang sifat Allah, Washil menolak paham bahwa Allah memiliki sifat. Menurutnya, Allah tidak memiliki sifat dan hanya memiliki zat. Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya adalah zat-Nya. Tuhan mendengar dengan pendengaran-Nya dan pendengaran-Nya adalah zat-Nya, demikian seterusnya.
Abu Huzail Al-Allaf
Abu Huzail dilahirkan pada tahun 135 H dan wafat pada tahun 235 H. Dia berguru kepada Usman Al-Tawil (murid Washil bin 'Atha). Abu Huzail adalah ulama besar Mu'tazilah yang menyusun konsep teologi Mu'tazilah yang disebut dengan Ushulul Khamsah.
Menurut Abu Huzail, akal manusia cukup kuat untuk mengetahui adanya Tuhan dan untuk mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Akal juga kuat untuk mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk dan juga mengetahui kewajiban meninggalkan perbuatan buruk (jahat) dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik.
Ali Al-Juba-i
Ali Al-Juba-i lahir pada tahun 250 H di Juba-i. Dia berguru kepada Syahham, salah seorang murid Abu Huzail. Ia mempunyai pola pikir yang tidak jauh berbeda dengan tokoh-tokoh Mu'tazilah lainnya, yaitu mengutamakan akal dalam memecahkan persoalan-persoalan teologi. Dia wafat di Bashrah pada tahun 303 H.
Ushulul Khamsah merupakan landasan utama mu'tazilah dalam operasionalnya membangun keyakinan dengan slogan membela dan memperjuangkan tauhid murni
Aliran Mu'tazilah mempunyai lima ajaran pokok yang disebut dengan Ushulul Khamsah:
1.Tauhid
Tauhid dalam konsep Mu'tazilah adalah meng-Esakan Tuhan dari segala sifat. Menurut Mu'tazilah, Allah tidak memiliki sifat dan hanya memiliki esensi. Mu'tazilah juga menyatakan bahwa Allah tidak dapat dilihat, walaupun di akhirat.
Menurut Mu'tazilah, siapa saja yang menetapkan sifat kepada Allah, maka orang tersebut adalah musyrik. Menurut Abu Huzail, pemberian sifat kepada Tuhan akan membawa kepada paham syirik atau politeisme, karena dengan menetapkan sifat Tuhan, maka yang bersifat qadim akan menjadi banyak. Untuk memurnikan tauhid maka tidak boleh menetapkan sifat bagi Allah.
Menurut Al-Nazzam, kalam Allah tidak qadim, tetapi diciptakan. Pada perkembangan selanjutnya paham ini melahirkan peristiwa Al-Quran Makhluk. Mengenai mu'jizat, Al-Nazzam menyatakan bahwa Al-Quran dalam gaya bahasa bukanlah mu'jizat, tetapu mu'jizat Al-Quran terdapat pada isinya. Menurut Al-Nazzam, sekiranya Allah tidak mengatakan bahwa tidak ada manusia yang sanggup membuat karangan seperti Al-Quran, mungkin akan ada manusia yang sanggup membuat karangan yang lebih bagus dari Al-Quran dalam gaya dan susunan bahasa.
2.Al-'Adlu
Menurut Mu'tazilah, manusia memiliki kebebasan dalam segala perbuatan dan tindakannya. Disebabkan kebebasan itulah manusia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Jika perbuatan baik, maka Tuhan akan memberi kebaikan dan jika perbuatannya buruk maka Tuhan akan memberikan hukuman. Inilah yang disebut dengan keadilan oleh Mu'tazilah. Mereka juga menyatakan bahwa wajib bagi Allah untuk bersikap adil.
Menurut Mu'tazilah, Tuhan menguasai kebaikan dan tidak menghendaki keburukan. Manusia bebas berbuat karena kebebasan itu adalah pemberian Tuhan kepada manusia. Namun demikian, Mu'tazilah tidak mengakui bahwa manusia memiliki qudrat dan iradat, tetapi qudrat dan iradat itu hanyalah pinjaman belaka.
Al-Nazzam menyatakan bahwa Tuhan tidak berkuasa berbuat dhalim, karena perbuatan dhalim hanya timbul dari yang mempunyai cacat, dan Tuhan tidak mempunyai cacat. Dari Tuhan hanya timbul perbuatan-perbuatan baik. Menurut Al-Nazzam, Tuhan berkuasa berbuat dhalim, tetapi mustahil Tuhan bersifat dhalim, karena hal tersebut akan membawa kepada kurang sempurnanya sifat Tuhan.
3.Al-Wa'du dan Al Wa'id (janji dan ancaman)
Prinsip janji dan ancaman Allah yang dipegang oleh Mu'tazilah adalah untuk membuktikan keadilan Tuhan sehingga setiap manusia dapat merasakan balasan dari Tuhan terhadap segala perbuatannya. Menurut Mu'tazilah, orang mukmin yang berdosa besar lalu mati dan tidak sempat bertaubat maka ia tidak akan mendapat ampunan dari Allah. Di akhirat tidak ada syafa'at, sebab syafa'at bertentangan dengan Al-Wa'du dan Al-Wa'id. Tuhan akan membalas kebaikan manusia dan menjatuhkan siksa terhadap kejahatan yang dilakukan oleh manusia.
4.Al Manzilah bainal Manzilatain
Yang dimaksud dengan tempat di antara dua tempat oleh kaum Mu'tazilah adalah tempat bagi orang fasiq, yaitu orang mukmin yang melakukan dosa besar tetapi tidak musyrik, maka mereka akan ditempatkan di suatu tempat antara surga dan neraka. Orang fasiq ini tidak akan keluar dari neraka yang agak dingin dan tidak pula masuk ke dalam surga yang penuh kenikmatan.
5.Amar Ma'ruf Nahi Munkar
Menurut Mu'tazilah, orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan dan diluruskan. Oleh karena itu Mu'tazilah tidak segan-segan membunuh siapa saja yang bertentangan dengan paham mereka, seperti yang terjadi pada peristiwa Quran Makhluk. Mu'tazilah juga membolehkan melakukan pemberontakan terhadap pemimpin yang melakukan maksiat.
Kesimpulan
Dari paparan tersebut antara Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam yang rasional dan mu'tazilah juga yang rasional memang memiliki perbedaan. Karena Muhammadiyah menggabungkan antara puritanisme dan Islam modern atau yang lebih dikenal dengan pembaharuan. Muhammadiyah dengan pembaharuannya juga tidak melepaskan sesuatu yang dianggap rasional sehingga diperlukan berbagai macam cara agar umat Islam tidak terperosok ke dalam taqlid dan jumud. Sebagaimana muktazilah juga berpikir seperti itu dan sama-sama menganut Amar ma'ruf nahi mungkar.Â
Amar ma'ruf nahi mungkar versi Muhammadiyah dan versi mu'tazilah sama-sama diasaskan pada ideologi yang berbeda. Rasionalisme Muhammadiyah ini lebih jauh dikembangkan dengan menggunakan falsafah dari Tarjih Muhammadiyah yang disebut dengan bayani burhani dan Irfani artinya tidak semata-mata memandang Islam secara puritan harus lebih logis dan komprehensif yang bisa diterima oleh semua kalangan.Â
Sedangkan muktazilah dengan Ushulul Khamsahnya berpendapat Islam itu harus rasionalis dan harus lahir dengan secara rasio yang bisa diterima oleh semua orang dan tidak boleh berpikir puritan Semata untuk itu mu'tazilah menempuh berbagai cara termasuk menggandeng kekuasaan di masa Abbasiyah seperti Khalifah Al Makmun, Al mu'tashim Billah dan kekuasaan lainnya.
Sebagai konsekuensi yang dianut oleh mu'tazilah yaitu dengan menutup berbagai Celah yang menentang mu'tazilah seperti memenjarakan kelompok puritan yang disebut dengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan semua mereka yang tidak setuju dengan mu'tazilah nasibnya pasti di penjara. Terutama tentang paham Alquran adalah makhluk, Â menjadi salah satu dasar di dalam memberantas kelompok puritan yang mungkin pada saat ini disebut fundamental Islam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H