Mohon tunggu...
Iskandar Mutalib
Iskandar Mutalib Mohon Tunggu... Penulis - Pewarta

Pengabdi Ilmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Sepotong Ikan Cue Goreng di Malam Takbiran

13 Agustus 2019   05:30 Diperbarui: 13 Agustus 2019   07:20 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SUARA takbir berkumandang sore itu. Suaranya mendayu-dayu memasuki kisi-kisi kamar kost berukuran 2x3 meter. Menusuk relung hati paling dalam pemuda asal Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), bernama Ujang Sumarwan. 

Ia beranjak dari kasur yang telah menjadi teman hidupnya selama tiga tahun merantau di Jakarta. Membuka pintu lebar-lebar, membiarkan angin sepoi-sepoi membasuh wajahnya. Memenuhi ruangan di kamar yang terletak di lantai dua. 

Suara takbir membuat Ujang Sumarwan kangen kampung halaman. Teringat saat menggembala kambing, mandi di kali, belajar bersama, main bersama dan yang tidak kalah penting adalah jajan bersama.
Setiap Hari Raya Idhul Adha, ia bersama teman-teman selalu punya tradisi bakar sate. Setelah seharian membantu umat muslim mencacah daging kambing ataupun sapi yang akan dibagikan ke fakir miskin, orang jompo, anak terlantar, yatim, piatu maupun yatim piatu. 

Ujang terkenal memiliki keahlian memasak nasi, Muslim membuat bumbu sate, Arman pembakar sate ulung dan Imanuddin pembuat sate. 

Kami dikenal sebagai kelompok empat sekawan. Selalu bersedia membantu walau tanpa upah.

 Dari kelompok empat sekawan itu hanya aku yang beragama Buddha. Muslim, Arman, Imanuddin beragama Islam. Tapi agama tak pernah membatasi ruang gerak kami dalam bermain. 

Kini kelompok empat sekawan tercerai berai. Aku memutuskan kuliah di Jakarta, walau bukan negeri. Imanuddin di Kota Jogja, Muslim di Kota London, sedangkan Arman di Banda Aceh. 

Suara telepon membuyarkan seluruh kenangan masa kecil dulu. Ujang melirik ke arah layar telepon genggam yang diletakan di meja belajar. Tertulis nama Muslim. Dalam hatinya terbesit kata pucuk dicinta ulam pun tiba. 

"Assalamualaikum," ucap Ujang lantang. 

Diujung telepon, Muslim tak mau kalah dengan suara Ujang.

 "Walaikum salam," teriak Muslim.

Ada gerangan apakah pangeran dari London menelepon awak, tutur Ujang. Bukankah pangeran sedang sibuk menghadapi ujian. 

"Atau jangan-jangan lagi menggoda gadis bule untuk memperbaiki keturunan," katanya.

Muslim yang mendengar ocehan Ujang langsung tertawa terbahak-bahak. 

"Stop. Jangan melucu dulu bujang lapuk. Aku dapat amanah dari kakak ku untuk memintamu datang ke rumahnya. Kamu tahu kan?," ujarnya.

Untuk apa, tanya Ujang. Ia merasa tidak memiliki hutang piutang. Kalaupun ada pasti bukan dengan Kak Rita, pasti dengan Muslim. "Aku gak punya hutang kan," katanya.

Muslim kembali tertawa, tapi kali ini ia meminta Ujang serius.

 "Kamu gak kangen suasana Idul Adha. Bakar sate, masak nasi, bersiin daging. Aku di London kangen suasana itu," tuturnya.

Muslim melanjutkan, aku masih mengingat kebersamaan empat sekawan setiap Idul Adha.

 "Jangan-jangan kamu lupa suasana itu, kamu kan sekarang sudah tinggal di ibukota, makanan bergizi banyak, mau makan tinggal teriak, mau nyuci tinggal pencet," katanya.

Sebelum Muslim menceramahi dirinya lebih jauh, Ujang berkata, hidungmu yang tak pencet.

 "Sejak takbir berkumandang aku rindu suasana itu. Banyak daging yang bisa kita makan, kita bagi, kita simpan. Sekarang, di kamar ku cuma ada sepotong ikan cue goreng. Rencananya buat makan besok kalau gak dapat daging," celotehnya.

Di Jakarta ini, tutur Ujang, ia bingung mau minta kepada siapa. Lagian ia tidak termasuk dalam kategori miskin, fakir, yatim, piatu maupun yatim piatu.
Di kamar kost ku ini tersedia AC, kulkas kecil, komputer, meja belajar, kasur dan televisi.

"Masak aku datang ke mesjid ngaku orang miskin. Kasihan mereka yang membutuhkan. Aku memang saat ini sedang kosong, itu terjadi karena honor tulisanku di majalah belum dibayar," katanya membela diri.

Terus, sergah Muslim, kenapa kau tak mampir ke tempat Kak Rita. 

"Apakah Kak Rita bukan saudara mu juga. Kasihan Kak Rita mikirin Ujang yang tak menganggap dirinya saudara. Jauh-jauh nelepon dari Jakarta hanya khawatir si Ujang," ucap Muslim lirih.

Mendengar perkataan Muslim, Ujang langsung bereaksi, enak saja. 

"Bukan aku tak menganggap Kak Rita sebagai saudara, justru aku malu karena setiap ke rumah dia, pulang aku dibekali ongkos. Memang aku butuh, tapi gak enak juga," dalih Ujang.

Ujang berjanji selepas shalat Idul Adha, ia akan langsung bergegas menuju rumah Kak Rita. 

"Lumayan. Ada lauk tambahan buat lusa. Dari pada hanya makan ikan cue. Tinggal sepotong lagi," katanya. 

Muslim pun meminta Ujang menggantikan dirinya untuk sering-sering bersilaturahim ke kediaman Kak Rita.

"Kakakku ya kakakmu juga. Tolong di tengok ya," ucapnya seraya mengakhiri percakapan. 

Baru saja Ujang meletakan hp di atas meja, hp tersebut kembali berbunyi. Kali ini telepon datang dari Kak Rita. 

"Assalamualaikum, Jang," ucap Kak Rita.

Dengan gelagapan Ujang menjawab salam tersebut. "Walaikum salam kak. Iya ini Ujang Aswani kak" tuturnya.

Aduh, Ujang-ujang, kemana aja. Emang kamu gak kangen sama keluarga Kak Rita di Jakarta. 

"Kangen kak," sergah Ujang.

Rita pun meminta Ujang hadir membantu pemotongan hewan kurban di kediamannya. 

"Besok kamu harus hadir. Gak ada alasan. Dari pada kamu makan sepotong ikan cue, mending ke rumah Kak Rita. Kakak masakin rendang buat kamu. Bisa kamu bawa ke kostan," ujarnya. Tabik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun