Harus diakui bahwa perjelasan yang diberikan oleh Romo Franz Magnis Suseno di harian Kompas bertajuk "Perkawinan Sejenis Tak Berdasar" adalah pernyataan paling progressif dari tokoh agama Indonesia dalam menyikapi isu LGBT yang marak belakangan ini.
Dalam penjelasannya Romo Franz mengajak semua orang untuk tidak menstigmatisasi dan mendriskriminasi kaum LGBT, karena homosexulitas juga produk alam, sama seperti heterosexualitas. Beliau menggarisbawahi bawa orientasi sexual tidak relevan dalam kebanyakan transaksi kehidupan, karenanya tidak semestinya seseorang dihakimi berdasarkan orientasi seksualnya. Romo Franz menghimbau agar pemerintah menjamin hak-hak konstitutional LGBT seperti hak berkumpul dan mengajukan pendapat.
Namun, Romo Franz menegaskan ketidaksetujuannya akan legalisasi perkawinan sejenis dan perizinan pasangan sejenis untuk mengadopsi anak. Alasan beliau adalah bahwa pasangan sejenis tidak setara dengan pasangan hetero, dan seorang anak perrlu orang tua laki-laki dan perempuan untuk bisa tumbuh normal.
Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan menanggapi hal ini.
Pertama, saya setuju bahwa pernikahan sejenis tidak sama dengan pasangan tradisional. Pernikahan tradisional antara lelaki dan perempuan umumnya dilakukan karena dua alasan: pertama karena alasan relijius (bahwa menikah adalah anjuran agama, atau tuntutan sosial) dan kedua karena alasan yang lebih praktis (Misalnya aturan hukum yang berlaku untuk pasangan yang menikah). Untuk alasan kedua inilah umumnya pasangan gay menikah.
Di negara-negara maju sebelum pernikahan sejenis dilegakan, pasangan gay yang saling mencintai dan telah hidup bersama selama puluhan tahun mendapat diskriminasi di mata hukum. Misalnya, meski mereka secara teknis hidup bersama dan berbagi secara finansial, namun ketika mereka bercerai, misalnya, tidak ada aturan yang jelas tentang pembagian harta. Ketika salah satunya meninggal, pasangan yang ditinggalkan tidak mendapat hak atas warisan, karena tidak ada ikatan yang jelas antara mereka. Sementara pasangan tradisional mendapat hukum yang jelas tentang pembagian harta
Masalah lainnya adalah, pasangan gay mendapat perlakuan perpajakan yang berbeda, sebab mereka tidak dianggap sebagai pasangan yang menikah. Dua orang yang tinggal bersama namun tidak terikat dalam pernikahan mendapat perlakuan berbeda dalam hal pajak. Hal ini tentu merkapakan ketidakadilan. Hal-hal praktis di atas itulah umumnya mengapa kaum gay menuntut dilegalkannya gay marriage.
Di beberapa negara solusi yang diberikan adalah penyamakan kedudukan hukum e.g. common law, dimana pasangan gay (meski tidak terikat pernikahan) mendapat pengakuan hukum yang sama dengan pasangan tradisional yang menikah.
Namun, diskusi ini tidak begitu relevan untuk kondisi Indonesia saat ini, karena kaum LGBT di Indonesia tidak menuntut pelegalan perkawinan sejenis, tetapi lebih pada menuntut keterjaminan hak-hak dasar mereka, seperti kebebasan berkumpul dan mengemukakan pendapat, serta terjaminnya keamanan kereka. Jadi mari selesaikan satu-satu dulu sebelum kita membahas lebih lanjut. Untuk Indonesia, isu legalisasi gay marriage tidak relevan untuk saat ini.
Untuk isu kedua tentang adopsi anak oleh pasangan gay, ada satu hal yang ingin saya sampaikan. Di dunia ini banyak anak yang ditelantarkan oleh orang tua mereka. Berkali-kali kita mendengar kisah tragis bayi yang dibuang di sungai, atau anak yang disiksa orang tua mereka, atau anak yatim yang tidak memiliki ibu dan ayah. Apakah tidak lebih baik bagi mereka ini memiliki dua ayah, daripada tidak sama sekali?
Di pikiran orang awam akan muncul kekhawatiran bahwa anak-anak ini akan di-abuse oleh orang tua mereka yang gay. Ini adalah tuduhan dan kesalahpahaman yang keji terhadap pasangan gay. Orang awam (bahkan para pejabat) masih seringkali menyamakan antara phedopili dan gay. Hal ini adalah fitnah yang berawal dari gagal paham, yang akibatnya fatal dan berujung pada stigmatisasi yang misleading, serta kekhawatian yang tidak beralasan.
Di negara-negara maju sudah terbukti bahwa anak yang dibesarkan oleh pasangan gay tidak ada bedanya dengan yang dibesarkan oleh pasangan tradisional. Film "The Kids are Alright" yang dibintangi Mark Ruffalo (menddapat 4 nominasi oscar) bisa jadi tontonan menarik untuk memahami dinamika kehidupan anak yang dbesarkan di keluarga lesbian.
Namun sekali lagi, isu adopsi ini juga belum relevan untuk konteks indonesia. Sama tidak relevannya dengan ketakutan bahwa keberadaan kaum LGBT akan berakibat pada depopulasi - terhentinya proses regenerasi spesies manusia, sehingga manusia bisa punah. Agak konyol memang, sebab bagi Indonesia dan dunia pada umumnya yang tengah kalang kabut berusaha menekan ledakan populasi manusia, ketakutan ini kelihatannya agak tidak berdasar. Lagipula, LGBT tidak terlahir dari pasagan LGBT kan? Justru pasangan straight yang terus menerus melahirkan anak-anak yang LGBT :-)
In any event, saya salut dan berterimakasih kepada Romo Franz atas seruannya yang telah mencerahkan pemahaman orang terhadap LGBT dan membawa isu LGBT di Indonesia selangkah lebih maju.
Â
Cheers!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H