Orang-orang seperti saya dan teman-teman LGBT lainnya telah menghabiskan masa pubertas kami dengan penuh ketakutan, takut bahwa kami akan besar menjadi gay. Kami melewatkan masa remaja kami dengan merasa rendah diri karena rupanya kami memang gay. Kami berbeda. Kami salah. Kami tidak berharga.
Orang-orang seperti kami menghabiskan malam-malam kami untuk berdoa kepada Allah agar kami berubah jadi straight. Saat orang-orang hanya sempat membaca do'a sapu jagat sehabis shalat mereka karena kesibukan, kami menyempatkan-nyempatkan membaca do'a personal kami: Ya Allah, jadikanlah saya straight. Doa ini bagi kami lebih penting dari meminta umur panjang dan murah rejeki. Karena buat apa umur panjang dan murah rejeki jika kami menderita batin dan tidak bahagia.
Kami jalani hari demi hari berusaha terlihat 'normal', meskipun hati kami hampa karena nkami tidak akan bisa hidup sebagai diri kami sendiri. Masa depan kami suram. Dari semua penjuru kami diserbu dengan gambaran ideal keluarga samara, sinetron-sinetron cinta, novel-novel islami romantis, hingga lagu-lagu yang mengatakan bahwa cinta adalah jawaban segala pertanyaan. Sementara cinta kami? Cinta kami adalah sumber penderitaan hidup kami.
Di negeri ini orang-orang bebas berkumpul dan berorganisasi. Maka dengan mudah kita jumpai berbagai macam kelompok. Dari yang sepele hingga yang serius. Dari kelompok pencinta perangko, pecinta kucing, geng motor, geng BMX, fans club Justin Bieber, hingga kelompok kajian politik. Tapi ketika kami ingin membuat support group bagi teman-teman kami yang mengalami tekanan mental, membantu mereka berhenti membenci diri mereka sendiri, membuat mereka tahu bahwa mereka tidak sendiri, lalu meyakinkan mereka bahwa mereka juga bisa sukses, kami dilarang. Kami dituduh sedang menghimpun kekuatan untuk merubah Indonesia menjadi negara gay. Kami dibilang ingin menularkan seksualitas kami. Bahwa kami ingin mengubah anak-anak, saudara, istri dan suami kalian menjadi LGBT.
Demi Allah, jangankan ingin menularkan, andai saja LGBT adalah semacam wabah penyakit yang dikirim oleh dewa yang murka, dan untuk menyembuhkannya seseorang harus disembelih sebagai tumbal, saya rela menjadi tumbal itu! Sembelih saja leher saya kalau memang dengan itu tidak akan ada lagi gay di dunia ini.
Sungguh, saya tidak tega melihat ada orang yang harus menjalani beratnya hidup sebagai gay. Saya tidak sanggup membayangkan ada orang yang harus melalui beratnya pergulatan mental seperti yang saya alami. Saya nyaris gila, nyaris bunuh diri, sempat membenci diri sendiri dan akhirnya sempat curiga dan benci semua orang. Semua adalah buah pergulatan mental karena saya gay.
Saya dan teman-teman LGBT hanya ingin memberi support kepada teman-teman kami. Paling tidak agar mereka bisa menerima diri mereka sendiri. Lalu apakah nanti mereka memutuskan untuk menikah, mencoba ‘menyembuhkan’ diri mereka dengan mendekatkan kepada agama, itu sama sekali tidak masalah bagi kami. Kami hanya ingin memberikan pendidikan kepada mereka, agar mereka tidak melakukan hal-hal ceroboh atau terjerat ke dalam aktifitas seksual yang beresiko.
Maka dengan ini saya mohon, hentikan menyebarkan fitnah kepada kami. Hentikan mengajak orang membenci kami. Kami tidak bermaksud menularkan seksualitas kami kepada siapapun andaikan itu mungkin dilakukan. Kami hanya meminta perlindungan atas hak-hak dasar kami. Termasuk hak untuk berorganisasi dengan aman, tanpa dibayang-bayangi hukuman dibakar atau dilempar dari tempat yang tinggi.
Kami sudah cukup menderita. Kalau kalian peduli, pelajarilah kami. Bicaralah dengan kami baik-baik. Tanya apa yang sebenarnya kami inginkan. Jangan menyimpulkan sendiri berdasarkan kebencian kalian kepada kami. Kalian sudah berlaku tidak adil.
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al MAidah : 08 )
***