Mohon tunggu...
Ishikaanggun Novitapurwany
Ishikaanggun Novitapurwany Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

HUKUM EKONOMI SYARIAH

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pemikiran dari Tokoh Marx Weber dan Herbert Lionel Adolphus Hart

30 Oktober 2024   22:08 Diperbarui: 30 Oktober 2024   22:17 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

A. Jurnal yang membahas tokoh Marx Weber dan Herbert Lionel Adolphus Hart (HLA Hart)

1)Pemikiran Max Weber

Max Weber terkenal dengan konsepnya mengenai "legitimasi" dalam sistem hukum dan birokrasi. Ia membedakan tiga jenis legitimasi utama dalam otoritas: tradisional, karismatik, dan rasional-legal. Dalam pandangan Weber, otoritas rasional-legal, yang berdasarkan aturan hukum dan birokrasi, dianggap sebagai bentuk yang paling efisien untuk mengelola masyarakat modern. Pemikiran Weber ini menjadi dasar penting bagi pemahaman hukum modern, yang memandang hukum sebagai hasil dari rasionalisasi dan birokratisasi masyarakat. Menurutnya, hukum adalah sarana untuk mencapai keteraturan dan prediktabilitas dalam interaksi sosial, serta menjamin bahwa kekuasaan dijalankan sesuai aturan yang jelas dan konsisten.

2)Pemikiran H.L.A. Hart

H.L.A. Hart dikenal dengan teori hukum positivismenya yang berpusat pada konsep "The Concept of Law." Menurut Hart, hukum terdiri dari dua jenis aturan: aturan primer yang mengatur perilaku manusia, seperti larangan kriminal, dan aturan sekunder yang mengatur proses pembuatan dan penegakan aturan primer, seperti prosedur legislatif. Hart juga memperkenalkan konsep "rule of recognition," yakni aturan yang mendefinisikan apa yang dianggap sebagai hukum dalam suatu sistem. Hart berpendapat bahwa suatu sistem hukum yang efektif harus memiliki kesepakatan sosial mengenai aturan-aturan ini untuk menjaga stabilitas dan legitimasi.

Relevansi dalam Konteks Indonesia

Dalam konteks hukum di Indonesia, pemikiran Weber dan Hart dapat memberikan perspektif berharga dalam menganalisis perkembangan hukum. Pengaruh Weber terlihat dalam pendekatan birokratis dan rasional-legal pada sistem hukum Indonesia, khususnya dalam upaya reformasi birokrasi dan penguatan lembaga-lembaga hukum. Sementara itu, konsep "rule of recognition" Hart bisa diterapkan dalam memahami tantangan pluralisme hukum di Indonesia, di mana terdapat berbagai sistem hukum yang berlaku (seperti hukum adat, hukum agama, dan hukum nasional) yang membutuhkan pengakuan serta kejelasan mengenai legitimasi masing-masing dalam sistem hukum nasional.

Dengan menerapkan pemikiran Weber dan Hart, sistem hukum Indonesia dapat lebih memahami pentingnya legitimasi, adaptasi terhadap perubahan sosial, serta penerapan aturan yang konsisten dalam proses hukum.

B. Pokok-pokok pemikiran Max Weber dan Herbert Lionel Adolphus Hart (HLA Hart) 

1. Pokok Pemikiran Max Weber

  • Otoritas Rasional-Legal: Weber memperkenalkan konsep otoritas rasional-legal yang didasarkan pada hukum dan peraturan yang rasional serta birokratis. Menurutnya, ini adalah bentuk otoritas paling efisien dan stabil dalam masyarakat modern.
  • Tipe-tipe Otoritas: Weber membedakan otoritas menjadi tiga tipe, yaitu tradisional, karismatik, dan rasional-legal. Otoritas tradisional didasarkan pada adat istiadat, otoritas karismatik berdasarkan pada daya tarik pribadi seorang pemimpin, sedangkan otoritas rasional-legal didasarkan pada aturan yang disepakati.
  • Birokrasi: Weber melihat birokrasi sebagai mekanisme yang penting dalam hukum modern karena mampu menegakkan aturan secara impersonal, konsisten, dan efisien. Namun, ia juga memperingatkan bahwa birokrasi dapat menciptakan "sangkar besi" yang membatasi kebebasan individu.
  • Rasionalisasi dan Hukum Formal: Weber menekankan pentingnya hukum formal yang sistematis dan tidak subjektif, di mana hukum modern diatur berdasarkan logika dan rasionalitas yang terstruktur, bukan berdasarkan nilai-nilai tradisional atau agama.

2. Pokok Pemikiran Herbert Lionel Adolphus Hart (HLA Hart)

  • Positivisme Hukum: Hart adalah salah satu tokoh utama dalam positivisme hukum, yang memandang hukum sebagai sistem aturan yang independen dari moralitas. Ia membedakan antara hukum yang "ada" (berlaku) dengan hukum yang "seharusnya" (moralitas).
  • Aturan Primer dan Sekunder: Menurut Hart, hukum terdiri dari aturan primer, yang langsung mengatur perilaku manusia (misalnya, larangan pencurian), dan aturan sekunder, yang mengatur bagaimana aturan primer diciptakan, diubah, dan diterapkan (misalnya, prosedur legislatif).
  • Rule of Recognition: Hart mengembangkan konsep rule of recognition, yaitu aturan yang menjadi dasar pengakuan sebuah aturan sebagai hukum dalam suatu sistem. Rule of recognition ini penting untuk memastikan keabsahan hukum dan stabilitas sistem hukum.
  • Fleksibilitas Hukum: Hart percaya bahwa sistem hukum harus mampu beradaptasi dengan perubahan nilai-nilai sosial, sehingga hukum tidak boleh kaku tetapi harus mampu berevolusi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

C. Pendapat saya tentang pemikiran Max Weber dan HLA Hart dalam masa sekarang ini

Pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart masih sangat relevan untuk diterapkan dalam konteks hukum modern. Keduanya memberikan landasan yang kuat bagi pemahaman dan penerapan hukum dalam masyarakat yang terus berkembang.

1) Pemikiran Max Weber

Max Weber, dengan konsepnya tentang otoritas rasional-legal, memberikan wawasan penting mengenai cara kerja birokrasi dan aturan hukum yang berbasis rasionalitas. Dalam era saat ini, birokrasi dan hukum yang diatur secara rasional menjadi fondasi pemerintahan di banyak negara, termasuk Indonesia. Konsep Weber mengenai "sangkar besi" birokrasi juga relevan, karena menunjukkan bagaimana birokrasi yang berlebihan dapat menghambat inovasi dan kebebasan individu. Pada masa sekarang, tantangan ini terlihat dalam sistem birokrasi yang kaku dan berbelit-belit, yang sering kali menghambat efisiensi dan transparansi pelayanan publik.

Di Indonesia, tantangan birokrasi dan korupsi membuat pendekatan Weber tentang birokrasi rasional relevan untuk diterapkan. Hukum perlu dikelola oleh birokrasi yang efisien dan tidak terjebak dalam pola kekuasaan yang tidak sehat. Pendekatan rasional-legal ini membantu menciptakan sistem hukum yang lebih efektif dan terpercaya di mata masyarakat.

2) Pemikiran H.L.A. Hart

H.L.A. Hart menawarkan pandangan tentang hukum sebagai sistem aturan primer dan sekunder. Di masa sekarang, pandangan ini penting untuk memahami struktur hukum dan peran konstitusi, undang-undang, serta aturan administratif dalam mengatur masyarakat. Konsep rule of recognition Hart, yang menentukan keabsahan suatu aturan dalam sistem hukum, sangat berguna dalam sistem hukum yang pluralistik seperti di Indonesia, yang menggabungkan hukum nasional, adat, dan agama. Hart juga menekankan bahwa hukum harus adaptif terhadap perubahan sosial, yang relevan dalam era globalisasi dan perkembangan teknologi yang cepat.

Di Indonesia, pemikiran Hart mengenai hukum sebagai sistem aturan yang berlapis dapat diterapkan dalam memahami bagaimana hukum adat dan hukum agama berinteraksi dengan hukum nasional. Rule of recognition Hart juga relevan dalam menentukan mana aturan yang sah dalam konteks pluralisme hukum di Indonesia.

D.  Menganalisis pemikiran Mark Weber dan HLA Hart untuk perkembangan hukum di Indonesia

Untuk menganalisis perkembangan hukum di Indonesia dengan menggunakan pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart, kita dapat melihat penerapan konsep-konsep mereka dalam konteks sistem hukum Indonesia yang beragam dan dinamis.

1. Pemikiran Max Weber dan Hukum Indonesia

Max Weber menekankan pentingnya otoritas rasional-legal yang berbasis pada aturan hukum yang rasional dan birokratis. Sistem hukum Indonesia, yang merupakan sistem hukum sipil, sangat dipengaruhi oleh prinsip ini. Sebagian besar regulasi di Indonesia dibentuk melalui prosedur legislatif yang birokratis dan mengikuti prinsip hukum tertulis. Struktur birokrasi Weberian tercermin dalam pembagian kewenangan antara lembaga-lembaga hukum di Indonesia seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan lembaga penegak hukum lainnya.

Namun, Weber juga mengingatkan tentang potensi "sangkar besi" birokrasi, di mana aturan dan prosedur yang terlalu kaku dapat menghambat inovasi dan adaptasi terhadap perubahan sosial. Tantangan ini terlihat di Indonesia dalam bentuk birokrasi yang kerap kali lamban, dan adanya praktik korupsi yang membuat hukum tidak berjalan secara efektif. Sehingga, penerapan prinsip rasional-legal Weber perlu diimbangi dengan reformasi birokrasi yang berfokus pada transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas pelayanan publik.

2. Pemikiran H.L.A. Hart dan Hukum Indonesia

H.L.A. Hart menawarkan pemikiran bahwa sistem hukum terdiri dari aturan primer (yang mengatur perilaku individu) dan aturan sekunder (yang mengatur cara hukum dibuat, diubah, dan ditegakkan). Dalam konteks Indonesia, aturan primer mencakup undang-undang substantif seperti KUHP dan KUHPerdata, yang mengatur perilaku masyarakat secara langsung. Sementara itu, aturan sekunder di Indonesia terlihat dalam struktur konstitusional dan undang-undang yang mengatur pembuatan dan pengesahan peraturan hukum.

Konsep rule of recognition dari Hart juga relevan untuk memahami legitimasi hukum di Indonesia, terutama dalam konteks pluralisme hukum. Di Indonesia, terdapat hukum nasional, hukum adat, dan hukum agama yang hidup berdampingan. Dengan adanya rule of recognition, Indonesia memerlukan sebuah aturan yang jelas untuk mengenali mana hukum yang memiliki otoritas lebih tinggi ketika ada konflik antar sistem hukum.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, pemikiran Weber dan Hart memberikan dasar teori yang kuat untuk membangun sistem hukum yang rasional, responsif, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. Pendekatan mereka membantu menciptakan struktur hukum yang jelas dan bisa diadaptasi, yang sangat penting untuk menghadapi tantangan masa kini di Indonesia dan di negara-negara lain. Pemikiran Weber dan Hart membantu kita memahami bahwa agar hukum di Indonesia berkembang dan diterima masyarakat, hukum harus rasional, konsisten, dan dapat beradaptasi dengan perubahan sosial. Dengan memperkuat reformasi birokrasi dan meningkatkan integrasi antara hukum nasional, adat, dan agama, sistem hukum di Indonesia bisa menjadi lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang beragam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun