Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Konflik Identitas Di Sri Lanka

6 April 2014   04:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:01 2354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Respon Pemerintah

Sejak LTTE berkembang menjadi gerakan perlawanan yang kuat, keadaan menjadi semakin buruk. Pemerintah mencoba untuk menghentikan ancaman-ancaman mereka. Pemerintah menerapkan berbagai kebijakan seperti negosiasi perdamaian hingga perang sipil.


  1. Perundingan Damai 1980-an dan Peran India


Banyak organisasi asing dan negara-negara tetangga mengupayakan dialog antara kalangan Tamil dan pemerintah Sri Lanka. India merintis perundingan damai  karena mereka memiliki 80 juta penduduk etnis Tamil di negara bagian Tamil Nadu yang telah menekan pemerintah India untuk melindungi komunitas itu di Sri Lanka. Pada tahun 1983, Perdana Menteri Nyonya Indira Gandhi memulai usaha perundingan damai dan dilanjutkan oleh anaknya, Rajiv Gandhi, setelah tewas terbunuh (Taras dan Ganguly, 2010: 180-185). Pada 1987, sebuah kesepakatan damai terbentuk antara India dan Sri Lanka. Kesepakatan itu menegaskan bahwa Tamil harus diberikan otonomi khusus di wilayah Utara dan Timur. India juga mengirimkan pasukan penjaga perdamaian untuk menggantikan peran pasukan Sri Lanka.

Keterlibatan militer India dikecam oleh kalangan nasionalis Sinhala. Pasukan penjaga perdamaian itu sendiri gagal melucuti LTTE dan tidak mampu mencegah kekerasan yang terjadi sampai kemudian tarik dari Sri Lanka pada tahun 1990 (Voorde, 2005: 190).


  1. Perang Sipil tahun 1990-an


Sesudah India menarik pasukannya, LTTE secara cepat menduduki kawasan utara Sri Lanka. Pemerintah menolak mengakui otoritas mereka di wilayah itu. Pada 1995, Presiden Candrika Kumaratunga memenangkan pemilu dengan janji untuk membuat usulan pembagian kekuasaan. Hampir 3 bulan kemudian, LTTE mengingkari kesepakatan damai dan pertikaian antara mereka dengan pasukan pemerintah meletus kembali. Pemerintah mengerahkan operasi militer besar-besaran untuk merebut Jaffna, wilayah yang menjadi basis gerakan LTTE.

Akan tetapi, pada akhir 1990-an, LTTE kembali berhasil memperoleh kembali wilayah-wilayah basis gerakannya, sekalipun gagal merebut Jaffna. Upaya gencatan senjata disetujui LTTE dan pemerintah pada tahun 2002, sesudah berbulan-bulan perundingan damai yang difasilitasi oleh pemerintah Norwegia. Sepanjang perundingan berlangsung, LTTE kembali mempersenjatai dirinya dan pada April 2003, mereka menarik diri dari perundingan dan menuntut penarikan pasukan pemerintah dari Jaffna. Menurut LTTE, tanpa upaya ini, usaha perundingan damai sama sekali tidak bermakna.

Sejumlah faktor kemudian memperuncing kegagalan perundingan tersebut. Partai Front Nasional Bersatu yang memerintah kalah dalam pemilu dan digantikan oleh Alinasi Kebebasan Rakyat Bersatu. Pemerintahan baru enggan melanjutkan perundingan damai dan menolak prinsip-prinsip yang diajukan oleh Norwegia.

LTTE sendiri terbelah. Mereka membentuk basis perlawanan yang terpisah di kawasan Utara dan Timur, masing-masing dipimpin oleh Parabhakaran dan Colonal Karuna. Situasi buruk menimpa LTTE. Parabhakaran kemudian menyingkirkan Karuna serta memaksa secara rahasia agar sejumlah besar pasukan pindah ke wilayah Timur dari posisi awal di Utara.

Pada Desember 2004, bencana tsunami merusak sebagian besar wilayah utara dan timur yang memperparah keadaan. Pemerintah dan LTTE berselisih soal distribusi bantuan. LTTE menuduh pemerintah telah bersikap curang. Situasi ini memperburuk kebekuan perundingan dan gencatan senjata yang dirintis sejak 2002.

DAFTAR PUSTAKA

Lawrence, J. Zwier. 1998. Sri Lanka: War Torn Island. Lerner Publicantuon Company, Minnesota, USA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun