Mohon tunggu...
ishak salim
ishak salim Mohon Tunggu... -

Peneliti Sosial - Politik Active Society Institute, Makassar Alumni Institute of Social Studies, The Netherlands

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perjuangan Difabel Mencapai Puncak Tertinggi Sulawesi

7 Januari 2017   14:04 Diperbarui: 7 Januari 2017   22:39 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Malah beberapa teman yang keteteran mengikuti langkah Eko,” Caling dari KPA PAKIS juga mengagumi daya tahan Eko selama pendakian menuju Puncak Rante Mario.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Di cap sebagai insan yang sakit jelas menyakitkan bagi difabel. Mereka diberi label oleh sebuah institusi yang merasa berhak atau dianggap berwenang melabeli orang dengan kategori tertentu. Biasanya institusi itu adalah institusi kesehatan dengan perspektif medik yang kental. Pelabelan itu diproduksi dari hasil kajian medik lalu disebarluaskan melalui tulisan maupun ucapan. Mulai dari pertemuan-pertemuan formal akademisi, parlementaria, sampai obrolah ala warung kopi.

Lihat saja aturan soal menduduki jabatan publik, seseorang harus dianggap sehat jasmani dan rohani. Presiden ketiga Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang memiliki kemampuan penglihatan yang rendah akhirnya terjegal saat akan mencalonkan diri sebagai calon presiden periode berikutnya karena dianggap tidak sehat jasmaninya.

Rahman yang juga buta atau setidaknya low vision kategori berat harus selalu “berkelahi” jika sedang mengurus penerbangan di bagian check-in bandara. Pasalnya, petugas bandara selalu memintanya menandatangani surat keterangan sedang sakit (inform consent).

“Saya buta, tapi saya tidak mengonsumsi obat!” ujarnya. Jika sudah teramat jengkel akibat ulah petugas bandara yang juga ngeyel atas nama menjalankan tugas, maka Rahman akan marah-marah dan tetap menolak bertandatangan.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dalam banyak kasus, bukan hanya Rahman yang selalu menolak jika dipaksa bertandatangan. Ada banyak aktivis difabel melakukan hal yang sama. Kasus terakhir yang dialami oleh Dwi Ariyani (36), aktivis perempuan difabel saat menumpang pesawat Etihad Air yang diturunkan dari pesawat yang akan membawanya ke Geneva mengikuti pertemuan PBB. Perlakuan diskriminatif oleh perusahaan itu kemudian mendapatkan perlawanan dan protes di media sosial dan jalur advokasi dari kawan-kawan paralegal.  Protes akhirnya berbuah permohonan maaf dari manajemen Etihad Air dan mengganti kerugian materil yang dialami Dwi. (lihat http://phinemo.com/penyandang-disabilitas-di-pesawat/ dan kemudian menggalang dukungan di media sosial http://change.com yang mampu mengubah kebijakan Etihad Air. Masing-masing laman diunduh pada Agustus 2016).

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Risma, pengorganisir warga desa di kabupaten Maros juga dikategorikan sebagai difabel. Ia memiliki kedua lengan yang jemarinya tidak utuh, sehingga akan berbeda dalam menggenggam sesuatu sebagaimana yang berjari lima. Selebihnya ia tidak memiliki perbedaan fisik sama sekali.

Pelabelan kecacatan dan kemudian diadposi kebanyakan orang menimpa pula diri Risma dan banyak perempuan difabel di negeri ini. Jemari yang berbeda seperti itu kemudian dilabeli sebagai cacat, di mana orangnya disebut penyandang cacat dan penyandang cacat adalah insan yang sakit. Konsep ‘kecacatan’ ini sudah lama dilawan oleh aktivis difabel yang anti pelabelan seperti itu.

Bagi mereka, yang cacat itu hanya barang atau benda buatan manusia. Tubuh manusia apalagi yang kondisinya berbeda sejak dalam kandungan (congenital disabilities) dan kemudian dilahirkan di dunia ini memiliki perbedaan bentuk dan kondisi tubuh tertentu tak layak disebut cacat atau rusak, karena ciptaan Tuhan tidaklah pantas disebut rusak.

“Saya hanya menghadapi kesulitan saat harus mengenggam akar-akar pepohonan,” ujar Risma saat menceritakan pengalaman pendakiannya menuju pos 2 dan 3. Seperti saat ia menelusuri jalan setapak yang mengitari punggung bukit atau melewati kemiringan terjal di mana ia harus berpegangan pada akar-akar pepohonan, akar gantung maupun akar cabang. Just it! Selebihnya Risma adalah perempuan yang bisa menikmati alam bebas dengan caranya sendiri yang tak berbeda dengan pendaki lain. Ia mengenakan perlengkapan dan peralatan pendakian sebagaimana laiknya pendaki. Apa yang membedakannya hanyalah karena label cacat atau label disabel atau penyandang disabilitas terlanjur dilekatkan pada dirinya.

Lalu, apakah disebut sebagai penyandang cacat akan ada konsekuensi yang harus diterima bagi difabel? Ya tentu saja. Salah satu konsekuensi itu adalah menjadi malu dengan kondisi tubuh yang tidak sama dengan yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun