“Malah beberapa teman yang keteteran mengikuti langkah Eko,” Caling dari KPA PAKIS juga mengagumi daya tahan Eko selama pendakian menuju Puncak Rante Mario.
Lihat saja aturan soal menduduki jabatan publik, seseorang harus dianggap sehat jasmani dan rohani. Presiden ketiga Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang memiliki kemampuan penglihatan yang rendah akhirnya terjegal saat akan mencalonkan diri sebagai calon presiden periode berikutnya karena dianggap tidak sehat jasmaninya.
Rahman yang juga buta atau setidaknya low vision kategori berat harus selalu “berkelahi” jika sedang mengurus penerbangan di bagian check-in bandara. Pasalnya, petugas bandara selalu memintanya menandatangani surat keterangan sedang sakit (inform consent).
“Saya buta, tapi saya tidak mengonsumsi obat!” ujarnya. Jika sudah teramat jengkel akibat ulah petugas bandara yang juga ngeyel atas nama menjalankan tugas, maka Rahman akan marah-marah dan tetap menolak bertandatangan.
Pelabelan kecacatan dan kemudian diadposi kebanyakan orang menimpa pula diri Risma dan banyak perempuan difabel di negeri ini. Jemari yang berbeda seperti itu kemudian dilabeli sebagai cacat, di mana orangnya disebut penyandang cacat dan penyandang cacat adalah insan yang sakit. Konsep ‘kecacatan’ ini sudah lama dilawan oleh aktivis difabel yang anti pelabelan seperti itu.
Bagi mereka, yang cacat itu hanya barang atau benda buatan manusia. Tubuh manusia apalagi yang kondisinya berbeda sejak dalam kandungan (congenital disabilities) dan kemudian dilahirkan di dunia ini memiliki perbedaan bentuk dan kondisi tubuh tertentu tak layak disebut cacat atau rusak, karena ciptaan Tuhan tidaklah pantas disebut rusak.
“Saya hanya menghadapi kesulitan saat harus mengenggam akar-akar pepohonan,” ujar Risma saat menceritakan pengalaman pendakiannya menuju pos 2 dan 3. Seperti saat ia menelusuri jalan setapak yang mengitari punggung bukit atau melewati kemiringan terjal di mana ia harus berpegangan pada akar-akar pepohonan, akar gantung maupun akar cabang. Just it! Selebihnya Risma adalah perempuan yang bisa menikmati alam bebas dengan caranya sendiri yang tak berbeda dengan pendaki lain. Ia mengenakan perlengkapan dan peralatan pendakian sebagaimana laiknya pendaki. Apa yang membedakannya hanyalah karena label cacat atau label disabel atau penyandang disabilitas terlanjur dilekatkan pada dirinya.
Lalu, apakah disebut sebagai penyandang cacat akan ada konsekuensi yang harus diterima bagi difabel? Ya tentu saja. Salah satu konsekuensi itu adalah menjadi malu dengan kondisi tubuh yang tidak sama dengan yang lain.