Sementara Eko saat itu belum bisa banyak bergerak mengingat harus membantu Komite Paralimpic Nasional Sulawesi Selatan (NPC) untuk mempersiapkan para atlet paralimpia menjelang dan saat paralimpic games tingkat nasional berlangsung di kota Bandung. Tetapi di sela-sela kesibukannya, ia tetap menyempatkan hadir di beberapa pertemuan tim ekspedisi yang telah terbentuk. Ia merekomendasikan seorang kawan di Enrekang untuk membantu persiapan, yakni Paluphy. Paluphy adalah kawan sesama alumni PSPBDW Sulsel. Paluphy—yang memiliki usaha percetakan GENESA di Cakke, Enrekang—kemudian banyak bergerak menghubungkan tim ekspedisi ke Pemda Enrekang, khususnya Dinas Sosial Enrekang, PPDI Kab. Enrekang, dan beberapa KPA lokal.
Saya sendiri menyiapkan Terms of References Ekspedisi, berbagai narasi untuk kepentingan press release, menyiapkan dan mengisi situs web ekspedisi dengan berbagai informasi terkait ekspedisi (dapat dilihat di www.ekspedisidifabel.wordpress.com) dan pendokumentasian sejumlah aktivitas.
Sedapat mungkin, kami menjaga agar gagasan ekspedisi ini tidak terjebak pada sekadar gagasan ‘rekreasional’ atau ‘gagah-gagahan’ orang-orang muda saja tanpa punya efek mengatasi persoalan yang dihadapi difabel di Sulawesi Selatan. Jika hanya menjadi sekadar urusan rekreasional, foto selfie dan update status medsos, maka urusan marjinalisasi, sub-ordinasi, stigmatisasi, dan pemiskinan atas difabel tidak akan berhenti walaupun gunung tetinggi di Sulawesi dan gunung-gunung lainnya ini berhasil dijejaki puncaknya oleh tim pendaki.
Mengubah Cara Pandang atas Disabilitas
Dalam banyak kajian, apa yang dihadapi difabel saat ini berkelindan dengan berbagai isu sosial maupun politik yang berdampak pada situasi paling buruk bagi difabel, yakni menjadi rentan, miskin, dan tak berguna. Jika ditelusuri, maka akar persoalan pertama adalah soal cara pandang orang atas difabel. Salah satu cara pandang itu mengatakan bahwa difabel adalah ‘orang sakit’. Apa yang dapat Anda lakukan jika sedang sakit?
Tetapi benarkah difabel orang sakit?
Di kelompok barisan depan dalam pendakian menuju puncak Rante Mario, Eko Peruge seperti tidak punya hambatan dalam perjalanan ini. Kecepatan langkahnya sebanding dengan pendaki lainnya. Di depannya ada Ma’un (KPA Sikolong) dan dua kawannya dari KPA Talas Makassar, lalu Herman (Makassar Rescue), Cikku, Farid Parjo, dan Zaenal (FPL Makassar). Di belakangnya, ada Huzaifah (anggota dinas Pemadam Kebakaran Makassar), Dilla (KPA Capung) dan dua dari tim media massa yaitu Azis Kuba (iNEWS) dan Arul Ramadhan (Makassar Terkini).
Dengan kondisi prima saat dia melangkah itu, apakah lantas Eko layak disebut orang sakit? Apakah hanya karena satu kakinya telah diamputasi lantas ia masih layak disebut insan yang sakit?
“Eko nyaris tidak punya masalah saat pendakian,” kata Darwin dari BPAN (Barisan Pemuda Adat Nusantara) Mansenrempulu. Ia cukup senior dalam hal pendakian gunung dan menilai Eko seorang pendaki yang kuat.