Mencapai Puncak Bukan Tujuan Utama
PENDAKIAN OLEH DIFABEL di Gunung Latimojong ini bukan ingin menunjukkan bahwa difabel bisa melalui jalur-jalur pendakian “normal” atau ekstreem. Bukan itu yang ingin kami tunjukkan. Eko dan Risma sebagai pendaki difabel memang bisa menunjukkan bahwa keduanya tidak mengalami banyak hambatan jalur pendakian bagi orang-orang bertubuh lengkap. Jika keduanya bisa melewatinya apakah lantas mereka jadi lebih hebat dari pendaki pada umumnya?
Aksesibilitas juga seharusnya dilihat dalam skala lebih luas, bukan sekadar akses dari aspek fisik. Misalnya untuk aktivitas outdoor bagi difabel, di mana kita seharusnya dapat mendesain jalur-jalur plus peralatan dan perlengkapannya yang akses bagi difabel. Bahkan lebih dari itu, aktivitas ini juga harus akses secara non-fisik yang meliputi akses secara intelektual maupun akses secara sosial.
Akses intelektual meliputi ketersediaan informasi aktivitas outdoors yang memungkinkan bagi beragam karakter pengguna (beragam difabel) mengetahuinya; baik media secara visual, audio, dan audio-visual. Sedangkan akses sosial adalah berkurangnya stigma negatif bagi difabel sehingga orang-orang baik dari kalangan keluarga, kerabat maupun masyarakat dan pemerintah pada umumnya memberi ruang bagi difabel untuk mengisi peran-peran tertentu di tengah-tengah masyarakat. Di sisi lain, difabel yang selama ini masih ragu dengan identitas kedifabelannya harus bisa keluar dari keterkungkungannya selama ini sebagai ‘orang tidak mampu’ dan ‘tersingkir’.
Untuk hal ini perlu strategi di mana Eko, Rahman, dan Risma dan aktivis difabel lainnya yang telah menerima identitasnya sebagai difabel yang mampu—dan memiliki aset serta talenta untuk berbuat yang lebih baik bagi banyak orang—menjadi ‘kawan-setara’ yang bisa menjadi teman berdiskusi dan membangun kekuatan bersama. ‘Nothing about us without us’ merupakan prinsip gerakan difabel internasional harus dipakai oleh sang aktivis difabel.
Dalam konteks gerakan difabel di Indonesia, perjuangan ini adalah upaya menuju ‘budaya inklusi’ di tengah masyarakat. Inklusi memiliki makna pelibatan setiap orang tanpa ada sekat-sekat perbedaan, baik perbedaan berdasar bentuk dan kondisi tubuh, orientasi seksual, keyakinan agama dan ideologi, etnisitas, dll. Penyingkiran difabel dalam proses pembangunan oleh negara maupun masyarakat selama ini dikarenakan adanya ‘politik pemisahan’ atau yang disebut dalam dunia pendidikan sebagai sistem pendidikan segregasi. Siswa difabel bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB), warga difabel berorganisasi berdasarkan kondisi dan disfungsi tubuhnya (PPDI, Pertuni, Gerkatin, HWDI), mahasiswa difabel mengambil jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB), dan seterusnya.
Setelah menyadari bahwa sistem pemisahan dapat semakin meminggirkan peran difabel, maka dicobalah sistem pendidikan integrasi. Sistem ini memungkinkan difabel sekolah di sekolah umum namun tetap harus beradaptasi dengan segala model dan desain berbasis ‘kenormalan’. Akibatnya, difabel harus berjuang lebih keras dibandingkan siswa atau mahasiswa lainnya. Untuk itu, saat ini mulai dikembangkan sistem pendidikan inklusi, di mana fokus pendekatannya bukan lagi kepada siswa tetapi pada sistem pendidikan, manajemen sekolah, dan para guru serta orang tua siswa. Sistem menyesuaikan dengan segala ragam kebutuhan siswa.
Konsep ‘inklusi’ dalam ekspedisi ini yang sesungguhnya menjadi nafas dan cita-cita tim. Yakni mempelajari desain manajemen pendakian, desain jalur pendakian, etika pendakian dan lain-lain yang bisa menciptakan kesetaraan dalam upaya menikmati panorama alam dan olah raga gunung. Bukan sekadar menguji diri untuk mencoba desain-desain sosial yang sudah terlanjur dibangun oleh mereka yang tidak berperspektif difabilitas.
Alasan utama Ekspedisi Difabel ini adalah mengampanyekan Anti-diskriminasi kepada difabel, membangun kepercayaan diri difabel untuk tampil keluar, dan memikirkan cara-cara seperti apa agar bertualang dan khususnya melakukan aktivitas outdoor dapat di[re]desain agar akses bagi siapapun, baik orang lanjut usia, ibu-ibu yang sedang hamil besar sampai kepada difabel yang menggunakan kursi roda, kaki palsu, tongkat orang buta, orang kecil (the little people) dan seterusnya.
Jadi, setelah menapak puncak Rante Mario, tim ekspedisi jangan “mario” dulu. Jangan bergembira dulu. Jalan perjuangan menuju kesetaraan bagi difabel dalam bertualang maupun aktivitas outdoors lainnya masih panjang, terjal dan berliku. Tetap jaga semangat, kawan-kawan![]