Mohon tunggu...
ishak salim
ishak salim Mohon Tunggu... -

Peneliti Sosial - Politik Active Society Institute, Makassar Alumni Institute of Social Studies, The Netherlands

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengenali Diskriminasi Politik Pemilih Difabel

23 Maret 2014   17:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:35 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DALAM PEMBERITAAN HARIAN KOMPAS pada akhir Juli 2013 disebutkan bahwa perwakilan USAID dan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Manik menerima hasil penelitian yang dilakukan ASEAN General Election for Disability (AGENDA) tentang implementasi hak politik difabel. Berdasarkan temuan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang tergabung dalam AGENDA, Indonesia tidak memiliki data pemilih difabel.

Ketiadaan data ini dalam alam demokrasi merupakan urusan yang serius. Bagi pemilih tunanetra misalnya, hak politik mereka untuk memilih kandidat pilihannya terpaksa tak bisa digunakan lantaran tidak adanya ‘alat bantu mencoblos’ (braille template) yang disediakan penyelenggara pemilu. Sementara itu, bagi tunadaksa, lokasi tempat pemungutan suara (TPS) yang menyulitkan mereka untuk datang sudah cukup membuat mereka pada akhirnya menolak ke TPS.
Mochammad Afifuddin, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) di dalam diskusi di Hotel Kempinski, Jakarta, Selasa (30/7/2013) dengan gusar menyatakan,

"Indonesia masih belum ramah terhadap difabel. Dari lima daerah yang kami survei, dua daerah, yakni Tangerang dan Pangkal Pinang, tidak punya sama sekali template braille. Alasannya setiap kali kami berdebat, mereka berdalih tidak ada mandat untuk menyediakan itu."

Pada pemilukada putaran pertama di DKI Jakarta, KPU setempat sama sekali tidak menyediakan template braille bagi tunanetra. Nanti setelah memperoleh teguran keras dan dibimbing, pihak KPU DKI Jakarta akhirnya menyediakan kertas suara huruf braille di putaran kedua. Selain itu, bagi tunadaksa nasibnya setali tiga uang. Posisi TPS hingga kini masih dinilai tidak membuat akses bagi difabel. Seharusnya TPS itu dilengkapi dengan jalan khusus (rampa) pengguna kursi roda hingga bentuk bilik suara yang membuat tidak nyaman.

Ketidakpahaman para penyelenggara pemilu dalam memberikan informasi hingga pada saat hari pemungutan suara juga menjadi perhatian JPPR. “Di beberapa tempat, bagi difabel, mereka memilih di rumahnya sendiri dengan didatangi petugas. Tetapi, di situ tidak ada kerahasiaan, kertas suara dibuka begitu saja di meja untuk dipilih difabel. Padahal, prinsip utama pemilu adalah langsung, umum, bebas, rahasia.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa penyelenggara Pemilu di Indonesia memang masih memiliki kelemahan dalam mengokomodir kepentingan seluruh rakyat Indonesia dengan berbagai karakteristik, khususnya bagi difabel. Padahal, dari segi kuantitas, jumlahnya cukup tinggi. Berdasarkan data ASEAN General Election for Disability Access (AGENDA), difabel di seluruh dunia mencapai 15 persen dari total jumlah penduduk. Sementara itu, jumlah difabel di kawasan Asia Tenggara mencapai 90 juta orang dari 600 juta penduduk dan di Indonesia berdasarkan data Susenas 2003 jumlahnya diperkirakan 2.454.359 jiwa (lihat ‘analisis situasi difabel di indonesia: sebuah desk-review’, FISIP UI, 2010).

Namun, di luar sejumlah ‘cacat demokrasi’ ini, setidaknya Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Difabel dan sejauh ini sudah ada 3 tawaran Rancangan Undang-Undang Difabel yang siap dibahas di lembaga legislatif.

MASIH DALAM PEMBERITAAN Harian Kompas, pada akhir Juli 2013 Husni Kamil, Ketua Komisi Pemilihan Umum menunjukkan kerisauan atau lebih tepat kegamangannya dalam melaksanakan pesta demokrasi dengan pelibatan penuh difabel. Ia mengharapkan perlunya mendiskusikan lebih jauh soal-soal teknis pelaksanaan Pemilu. Misalnya, soal tuntutan penyediaan kertas suara berhuruf braille dalam setiap pemilihan umum. Pada Pemilu 2014, ujarnya, dalam satu lembar kertas suara bisa ada 144 calon anggota legislatif untuk pemilihan anggota DPR saja.

"Bayangkan kalau kertas suara pemilu legislatif dijadikan huruf braille, [jika setiap partai politik mengajukan 12 calon legislatif untuk kursi DPR di tiap daerah pemilihan, penulis] akan ada 144 caleg dari 12 partai politik. Apa ini nantinya nggak bikin bingung? Makanya kita perlu mendiskusikan lagi lebih jauh, model kertas surat suara apa yang pas untuk difabel," ujar Ketua KPU.

Tidak begitu jelas siapa pihak yang Pak Ketua KPU rujuk membikin bingung. Bagi pemilih tunanetra kertas suara dengan template Braille jelas memudahkan. Jika yang dibuat bingung adalah para pihak penyelenggara Pemilu maka di sinilah pentingnya melibatkan mitra difabel secara maksimal dalam merancang sistem pemilihan yang aksesibel bagi seluruh ragam difabilitas. Untungnya, Husni menyadari kegalauannya ini dan menyatakan bahwa sesungguhnya KPU siap mengakomodasi suara dari pemilih difabel mulai terkait soal lokasi tempat pemungutan suara (TPS) hingga bentuk bilik suara.

Hal lain yang juga masih menjadi kelemahan KPU adalah belum dipisahkannya data pemilih difabel dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan masih ragu jika lembaganya mampu mencantumkan pemilih difabel dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang akan menjadi basis data Komite Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) saat pelaksanaan pemungutan suara mendatang.

"Sampai sekarang memang belum ada. Laporan dari bawah hal itu (pendataan difabel) memang belum dimasukkan. Nanti kami akan coba masukkan datanya," ujar Husni di Jakarta, Selasa (30/7/2013).

Hal ini tentu bukan soal mudah. Para aktivis yang membela hak politik difabel pun menyadari kesulitan ini. Untuk memilah data tersebut, harus kembali ke lapangan dan selain membutuhkan waktu yang relatif panjang juga membutuhkan anggaran besar. Satu-satunya jalan keluar adalah menyadarkan penyelenggara negara dalam hal ini para pengambil kebijakan dan pelaksana kebijakan di seluruh level pemerintahan agar lebih memperhatikan keberadaan warga negara demi tegaknya tata kelola pemerintahan yang inklusif.

Kelemahan penyelenggaran Pemilu juga disampaikan oleh Hadar Nafis Gumay di sela-sela rapat konsultasi dengan DPR RI di Jakarta.

"Sebetulnya memang kami minta Pantarlih untuk mencatatkan pemilih yang disabilitas dalam proses pencocokan dan penelitian. Tapi, belum kami cek lagi. Sekarang memang belum ada data pemilih disabilitas. Hanya saja, petugas Pantarlih alpa mencatatkan pemilih disabilitas saat proses pemutakhiran dilakukan. Di sisi lain, masyarakat pun enggan melaporkan keberadaan pemilih disabilitas.” demikian ibuhnya.

Apa yang disampaikan oleh Hadar menunjukkan bahwa di sisi lain, warga—khususnya keluarga yang memiliki anggota difabel—pun sesungguhnya berkontribusi pada sulitnya mencakupkan pemilih difabel dalam pemilu ini. Masih banyak keluarga yang merasa difabel adalah ‘aib’. Hal ini terjadi mengingat masih kuatnya stigma atau atau anggapan bahwa warga yang menyandang disabilitas sebagai warga kelas dua.

Penyelenggara Pemilu atau Pilkada juga mengalami kesulitan serupa. Di Bandung misalnya, saat pemilihan Walikota berlangsung ada upaya melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih kelompok difabel dan ‘lanjut usia’ marjinal. Di Jawa Barat, perkiraan jumlah pemilih disabel mencapai 10-15 persen dari total pemilih di Jabar atau 3,25 juta hingga 4,7 juta jiwa. Akan tetapi KPU Jawa Barat tidak memiliki data rinci sehingga tidak mengetahui keberadaan mereka. Akibatnya, pemberian fasilitas khusus yang dapat menunjang penyaluran hak politik difabel sulit dilakukan. KPU hanya memberikan fasilitas berupa template braile yakni sarana untuk mencoblos surat suara bagi penyandang tuna netra. Setiap TPS disediakan satu template.

Namun, koordinator Forum Pejuang Difabel Jawa Barat Jumono mengatakan penyiapan template saja sejatinya tidak cukup. KPU seharusnya melakukan sosialisasi pemilihan gubernur terhadap difabel dan bukan sekadar menyosialisasikan terhadap masyarakat umum dengan asumsi di dalamnya termasuk para difabel. Materi sosialisasinya pun bersifat umum dan tidak memperhatikan keterbatasan para difabel.

Sosialisasi Pemilu bagi difabel membutuhkan alat-alat khusus, seperti buku panduan pemilih yang dicetak dalam huruf braile supaya dapat dipelajari oleh difabel tuna netra dan jika sosialisasi dilakukan di sebuah ruangan, maka perlu menggunakan bahasa isyarat yang dapat dipahami oleh difabel tunarungu. Jumono bahkan menambahkan bahwa ketidakpedulian terhadap pemilih difabel tidak hanya dilakukan oleh KPU Jabar tetapi juga dilakukan oleh tim kampanye semua pasangan calon. Buktinya, tidak ada satu pasangan calon Gubernur Jawa Barat yang mencetak visi dan misinya dengan huruf braile ataupun menjelaskan program kerja mereka kepada penyandang tuna rungu.

Jaka Ahmad adalah seorang pemilih difabel di Jakarta. Ia mengatakan bahwa sudah empat pemilu berlangsung selama hidupnya, hanya sekali ia dapat mengikuti pemilu. Menurutnya, hampir di setiap pemilu dirinya dan tiga anggota keluarganya yang juga difabel, tidak didata. Pada pemilu terakhir, ia pun dengan terpaksa dan susah payah mendaftarkan dirinya ke Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) setempat. Jaka juga menceritakan saat ayahnya yang lumpuh akibat stroke hendak memilih. Katanya, saat itu petugas mengatakan harus didampingi, sementara ayahnya mengatakan lebih nyaman didampingi olehnya karena saya tidak melihat pilihannya dan kerahasiannya terjamin. Namun saat itu petugas berkeras dan mengatakan harus tetap didampingi. Mau tidak mau, ayahnya pun mengalah. Menurutnya, kerahasiaan pilihan pemilih pada pemungutan suara merupakan hal penting, “Bisa saja, petugas mengarahkan tangan saya karena saya tidak bisa melihat." Ujarnya.

Demikian sejumlah bahasan media yang menggambarkan kelemahan Pemilu di Indonesia yang masih lalai menciptakan Pemilu Inklusif di mana hak setiap warga negara untuk menikmati hak-hak politik mereka secara setara dan bermakna. Jika merujuk kepada buku ‘Accessible Elections for Persons with Disabilities in Indonesia (Aksesibilitas Pemilu untuk Difabel di Indonesia) yang disusun oleh PPUA Penca 2013, maka sekurang-kurangnya ada 4 macam hambatan yang akan dihadapi pemilih dan kandidat difabel pada Pemilu 2014, yakni: Hambatan Legal, Hambatan Informasi, Hambatan Fisik, dan Hambatan Sikap. Keempat hambatan ini senada dengan pembahasan di media massa yang sejauh ini sudah mulai ramai didiskusikan.

Waktunya sekarang segenap pihak bersama-sama membenahi Pemilu. Salah satu cara penting untuk mengatasinya di mana segenap pihak menjadikan dokumen CRPD sebagai acuan dalam menata sistem pemilu agar lebih manusiawi karena sesungguhnya prinsip CRPD itu sendiri sarat dengan ‘muatan kemanusiaan’. Dengan terlaksananya Pemilu yang manusiawi maka inklusivitas pemilu tentu akan tercapai di masa-masa mendatang.

Sayangnya, KPU sudah menyerah tak mampu mengakomodir kepentingan pemilih difabel, bukan saja lalai menyediakan alat bantu mencoblos untuk kertas suara DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota. Jangankan memikirkan secara hak memilih secara substantif, bahkan untuk anggaran pengadaan alat bantu mencoblos pun tidak ada. Kalau tidak ada Anggarannya, lalu untuk apa sibuk mengurusi aspek teknisnya? Ini soal isi kepala Anda rupanya yang masih bermasalah![]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun