Judul tulisan ini saya pinjam dari seri webinar “AMAC (Anda Musikal maka Anda Cerdas)” yang dimoderatori oleh Prof. Dr. Djohan, Direktur Pascasarjana ISI Yogyakarta (periode 2012 – 2020) pada Sabtu 20 Juni 2020. Di webinar itu Prof. Djohan mengajak 3 narasumber untuk membahas ini : Ayu Niza M. (dosen musik), Ari Pahlawi J (pegiat seni dari Aceh) dan A. Ferdiansyah Anwar (pegiat seni dari Makassar). Sebagai moderator, Djohan melontarkan pertanyaan utama langsung di awal diskusi: “Perlukah pendidikan musik” bahkan Djohan menegaskan bahwa pertanyaannya bukanlah “penting atau tidak penting” tetapi “perlu atau tidak perlu”. Kalau pendidikan musik itu ‘perlu’ apa argumentasinya, pun sebaliknya jika ‘tidak perlu’ apa argumentasinya.
Tentu saja hanya ada 2 kemungkinan jawaban untuk pertanyaan tersebut. Dan ini tercermin dari pemaparan para narasumber. Ayu dan Ari tampak lebih condong menjawab bahwa pendidikan musik itu perlu dan sekaligus juga penting sedangkan Ferdiansyah (a.k.a Didi) lebih condong menjawab tidak perlu karena musik tidak terlalu penting. Djohan sebagai moderator dalam diskusi ini mencoba berdiri netral, walaupun kita tahu bahwa beliau adalah guru besar di bidang musik, disertasinya membahas aspek emosi musikal gamelan jawa serta banyak melakukan penelitian di sekitar musik dan pengaruhnya di dalam kehidupan manusia.
Tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh tentang jalannya diskusi daring ini. Meskipun sejauh ini saya meyakini bahwa musik itu penting sehingga pendidikan musik itu perlu, tidak hanya bagi orang-orang yang memang ingin berkarir di bidang musik (pemain musik, komponis, arranger dll.) tetapi juga bagi anak-anak untuk keseimbangan kehidupannya. Pancingan Prof. Djohan untuk memikirkan ulang : ‘perlukah pendidikan musik ?’ tak ayal membuat saya kembali berpikir.
Perlukah kita bersikap skeptis terhadap musik ?
Didi, sebagai satu-satunya narasumber yang mendeklarasikan ke-skeptis-annya terhadap musik mungkin ada benarnya. Kalau pendidikan musik itu perlu, apa yang membuat dia menjadi perlu ? Sering dikatakan bahwa musik dapat meningkatkan kecerdasan seseorang, tapi kecerdasan yang mana ? Kognitif ? Motorik ? Afektif ? Didi mempertanyakan : mana bukti bahwa musik bisa membuat orang menjadi cerdas ? Nyatanya para musisi yang banyak dijumpai, kecerdasannya kok biasa-biasa saja dalam arti kemampuan dalam “problem solving” ternyata lemah, tidak berbeda dengan orang yang tidak belajar musik. Djohan juga melontarkan pertanyaan skeptis “katanya musik bisa membawa pengaruh terhadap perilaku, apa buktinya ?”
Jika kita bersikap skeptis terhadap musik, mungkin kita juga bisa bersikap skeptis terhadap yang lain. Misalnya, biologi. Apakah ilmu biologi perlu ? Bagi anak yang ingin menjadi dokter atau menjadi aktivis di WWF (World Wild Fund) tentu perlu, tapi jika anak itu ingin jadi akuntan apakah biologi perlu ? Matematika trigonometri, kalkulus-diferensial apakah perlu ? Bagi pengacara atau jaksa, matematika mungkin tidak perlu. Lebih jauh lagi, bagaimana dengan pendidikan agama, perlukah ? Wah kalau yang ini pasti dengan serempak mengatakan pendidikan agama amat sangat perlu. Agama adalah satu-satunya mata pelajaran wajib mulai dari PAUD hingga universitas! Kalau Anda berani mengatakan pelajaran agama tidak perlu, Anda pasti dicap komunis, anggota PKI, ih ngeri ! (walau kenyataannya tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi, orang-orang masih suka suap, sikut sana sikut sini untuk kepentingan sendiri, lalu apa efeknya pelajaran agama yang bertahun-tahun itu ?).
Bersikap skeptis seperti ini ada perlunya juga supaya kita kembali memikirkan ulang apa yang sudah menjadi “kebenaran”. Apa yang kita yakini sebagai “kebenaran” biasanya tak lebih karena kebanyakan orang mengatakan bahwa itu benar dan kita tidak berani menentang kebenaran itu. Musik juga demikian. Banyak ahli dan para akademisi mengatakan bahwa musik itu penting karena memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kehidupan manusia. Pengaruh musik bersifat multi aspek : psikologis, biologis dan emosi. Djohan sendiri menjelaskan pengaruh musik dalam 3 bukunya “Psikologi Musik”, “Terapi Musik” dan “Repons Emosi Musikal”. Howard ‘Multiple Intellegence’ Gardner bahkan menulis bahwa kecerdasan musikal adalah karunia yang paling awal dimiliki manusia karena indera pendengaran manusia sudah berfungsi sempurna ketika masih ada di dalam kandungan sebagai jabang bayi.
Apakah musik memiliki fungsi dalam kehidupan manusia ? Menurut pengalaman empiris sehari-hari, saya akan menjawab “ya”. Selain sebagai hiburan berupa lagu-lagu pop, musik juga penting dalam dunia komunikasi. Musik ada di dalam iklan. Musik ada di cafe-cafe. Musik ada di film. Musik ada juga di ritual ibadah. Musik juga memiliki fungsi yang personal sebagai mood booster. Bisnis musik juga adalah bisnis raksasa. Menurut data Bekraf, PDB tahun 2016 sub-sektor musik mencapai lebih dari Rp 4,4 triliun dan menyerap tenaga kerja lebih dari 56 ribu orang. Jika musik tidak penting, coba hilangkan musik di sebuah resepsi pernikahan. Bisa terbayang resepsi itu menjadi kering dan kikuk.
Jika musik penting dan memiliki fungsi di dalam kehidupan manusia, apakah itu berarti pendidikan musik perlu ? Untuk menjawab perlu atau tidak perlu, saya ingin memparalelkan pendidikan musik dengan pendidikan agama. Tujuan pendidikan agama adalah untuk menjadikan siswa menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan dan berahlak mulia. Oleh karenanya pendidikan agama sangat penting dan harus ada, TETAPI.. kita tidak bisa menyalahkan pendidikan agama jika di kemudian hari siswa tersebut menjadi koruptor uang negara milyaran hingga triliunan rupiah walaupun sejak PAUD hingga universitas mendapat pendidikan agama. Lalu salah siapa dong kalau hingga saat ini Indonesia masih saja menjadi salah satu negara terkorup di dunia ? Ada yang berani menyalahkan pendidikan agama ?
Nah, demikian juga musik. Musik itu punya potensi mencerdaskan manusia. Prof. Djohan sendiri mengatakan “AMAC, Anda Musikal maka Anda Cerdas”. Ungkapan itu sudah menegaskan potensi musik yang mencerdaskan, TETAPI... jika ada anak yang belajar musik dari kecil hingga dewasa tidak meningkat kecerdasannya, bukan salah musik. Lalu salah siapa, dong ?
Syarat dan Ketentuan Berlaku
Di dunia ini segala sesuatunya ada “S&K”, termasuk pendidikan agama dan musik. Bagi orang awam musik dan agama itu bukan ilmu. Ilmu agama itu diperlukan ketika Anda ingin menjadi guru agama, pendeta, pastor atau ustad. Musik sebagai ilmu hanya diperlukan oleh orang yang ingin berkarir di musik sebagai musisi atau komposer. Agama bagi kebanyakan orang akan lebih bermanfaat kalau dihayati dan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Orang beragama itu bukanlah orang yang hafal ayat-ayat suci, hafal hikayat nabi dan orang-orang kudus, tahu tata cara ibadah melainkan orang yang ringan tangan ketika membantu yang berkesusahan, memberi perhatian kepada yang lemah dan mengasihi sesama manusia serta alam ciptaan Tuhan.
Musik juga demikian. Bagi kebanyakan orang musik itu adalah sarana untuk membuat hidupnya lebih senang, lebih suka cita dan lebih bahagia. Mereka tidak perlu paham akan ilmu harmoni, namun mereka bisa menikmati harmoni yang indah. Mereka tidak perlu paham teori musik atau sejarah musik. Bagi mereka musik adalah vibrasi yang bisa menggetarkan tubuh, jiwa dan emosinya. Ananda Sukarlan dalam opininya “BJ Habibie : Memimpin dengan Literasi” di Kompas edisi 23 Juni 2020 melukiskan sikap Habibie tentang seni demikian : “BJH memiliki prinsip bahwa sebuah negara maju itu memiliki ”hi tech & hi touch”, yaitu teknologi canggih dan budaya serta karya seni yang tinggi.” Lebih jauh Sukarlan mengatakan bahwa pendidikan seni penting karena hanya melalui seni saja manusia bisa mengerti dan merasakan sedangkan kalau sains saja manusia hanya sampai taraf mengetahui saja.
Pendidikan Musik yang Seperti apa ?
Kekuatan musik yang paling utama tetapi sering dilupakan adalah : kreativitas. Jika porsi kurikulum pendidikan musik agar murid bisa memainkan karya orang lain, itu hanya 10% saja dari potensi yang dimiliki musik. Syarat utama pendidikan musik di sekolah adalah : memberi kesempatan seluas-luasnya kepada murid untuk berkreasi. Musik adalah alat yang ampuh untuk mendidik anak menjadi kreatif. Kita tidak bisa melakukannya dengan pendidikan agama! Kita tidak bisa atau tidak tega membiarkan anak-anak mengubah-ubah ayat-ayat suci atau mengubah-ubah tata cara ibadah. Tetapi dengan musik anak bisa menciptakan apa saja. Anak, sebagai contoh, bisa diajak membuat lagu yang berisi pujian dan rasa syukurnya kepada Tuhan.
Di sekolah, musik bisa berkonten apa saja. Satu contoh di atas adalah musik berkonten agama. Musik berkonten matematika juga bisa. Dulu pernah ada lagu anak : “Satu ditambah satu, sama dengan dua. Dua-dua ditambah dua sama dengan empat.. dst.” Anak juga bisa mengenal pembagian ketika belajar harga not. Ini adalah contoh musik berkonten matematika. Musik berkonten biologi juga bisa, contohnya lagu “Dua mata saya, hidung saya satu..”. Guru yang kreatif dapat memanfaatkan musik ketika menyampaikan bahan ajar.
Prof. Patricia S. Campbell di dalam bukunya “Music in Childhood” menulis bahwa musik memiliki keunggulan karena secara alamiah anak-anak merespon musik. Di dalam setiap anak ada potensi musikal. Tidak ada anak yang tidak suka dengan musik. Dengan musik kita bisa berinteraksi dengan riang gembira bersama anak-anak. Saya justru memimpikan semua sekolah akan menggunakan musik untuk menyampaikan pelajaran apa pun kepada muridnya.
Tidak hanya itu, musik juga bisa mengembangkan kedisiplinan, kerja sama dan toleransi. Ketika mereka bersama-sama berkreasi dan bermain musik dalam sebuah ensemble, nilai-nilai ini bisa dibangun. Ini mungkin yang disebut integrasi musik ke dalam kurikulum atau yang lebih sering disebut sebagai music in education.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H