Syarat dan Ketentuan Berlaku
Di dunia ini segala sesuatunya ada “S&K”, termasuk pendidikan agama dan musik. Bagi orang awam musik dan agama itu bukan ilmu. Ilmu agama itu diperlukan ketika Anda ingin menjadi guru agama, pendeta, pastor atau ustad. Musik sebagai ilmu hanya diperlukan oleh orang yang ingin berkarir di musik sebagai musisi atau komposer. Agama bagi kebanyakan orang akan lebih bermanfaat kalau dihayati dan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Orang beragama itu bukanlah orang yang hafal ayat-ayat suci, hafal hikayat nabi dan orang-orang kudus, tahu tata cara ibadah melainkan orang yang ringan tangan ketika membantu yang berkesusahan, memberi perhatian kepada yang lemah dan mengasihi sesama manusia serta alam ciptaan Tuhan.
Musik juga demikian. Bagi kebanyakan orang musik itu adalah sarana untuk membuat hidupnya lebih senang, lebih suka cita dan lebih bahagia. Mereka tidak perlu paham akan ilmu harmoni, namun mereka bisa menikmati harmoni yang indah. Mereka tidak perlu paham teori musik atau sejarah musik. Bagi mereka musik adalah vibrasi yang bisa menggetarkan tubuh, jiwa dan emosinya. Ananda Sukarlan dalam opininya “BJ Habibie : Memimpin dengan Literasi” di Kompas edisi 23 Juni 2020 melukiskan sikap Habibie tentang seni demikian : “BJH memiliki prinsip bahwa sebuah negara maju itu memiliki ”hi tech & hi touch”, yaitu teknologi canggih dan budaya serta karya seni yang tinggi.” Lebih jauh Sukarlan mengatakan bahwa pendidikan seni penting karena hanya melalui seni saja manusia bisa mengerti dan merasakan sedangkan kalau sains saja manusia hanya sampai taraf mengetahui saja.
Pendidikan Musik yang Seperti apa ?
Kekuatan musik yang paling utama tetapi sering dilupakan adalah : kreativitas. Jika porsi kurikulum pendidikan musik agar murid bisa memainkan karya orang lain, itu hanya 10% saja dari potensi yang dimiliki musik. Syarat utama pendidikan musik di sekolah adalah : memberi kesempatan seluas-luasnya kepada murid untuk berkreasi. Musik adalah alat yang ampuh untuk mendidik anak menjadi kreatif. Kita tidak bisa melakukannya dengan pendidikan agama! Kita tidak bisa atau tidak tega membiarkan anak-anak mengubah-ubah ayat-ayat suci atau mengubah-ubah tata cara ibadah. Tetapi dengan musik anak bisa menciptakan apa saja. Anak, sebagai contoh, bisa diajak membuat lagu yang berisi pujian dan rasa syukurnya kepada Tuhan.
Di sekolah, musik bisa berkonten apa saja. Satu contoh di atas adalah musik berkonten agama. Musik berkonten matematika juga bisa. Dulu pernah ada lagu anak : “Satu ditambah satu, sama dengan dua. Dua-dua ditambah dua sama dengan empat.. dst.” Anak juga bisa mengenal pembagian ketika belajar harga not. Ini adalah contoh musik berkonten matematika. Musik berkonten biologi juga bisa, contohnya lagu “Dua mata saya, hidung saya satu..”. Guru yang kreatif dapat memanfaatkan musik ketika menyampaikan bahan ajar.
Prof. Patricia S. Campbell di dalam bukunya “Music in Childhood” menulis bahwa musik memiliki keunggulan karena secara alamiah anak-anak merespon musik. Di dalam setiap anak ada potensi musikal. Tidak ada anak yang tidak suka dengan musik. Dengan musik kita bisa berinteraksi dengan riang gembira bersama anak-anak. Saya justru memimpikan semua sekolah akan menggunakan musik untuk menyampaikan pelajaran apa pun kepada muridnya.
Tidak hanya itu, musik juga bisa mengembangkan kedisiplinan, kerja sama dan toleransi. Ketika mereka bersama-sama berkreasi dan bermain musik dalam sebuah ensemble, nilai-nilai ini bisa dibangun. Ini mungkin yang disebut integrasi musik ke dalam kurikulum atau yang lebih sering disebut sebagai music in education.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H