Dalam 1 minggu terakhir ini, pemerintah mulai melakukan program vaksinasi COVID-19 untuk suntikan pertama bagi masyarakat di Indonesia. Pada sebagian besar masyarakat, vaksinasi ini telah begitu dinantikan untuk mendapatkannya. Tetapi, mungkin tidak bagi sebagian kecil individu yang alami phobia spesifik pada jarum suntik.
Individu ini biasanya menghindari segala bentuk tindakan yang berurusan dengan jarum suntik. Phobia pada jarum suntik dalam pedoman diagnostik gangguan jiwa di USA atau DSM-5 di kelompokkan pada Phobic Disorder (gangguan rasa takut).
Secara spesifik untuk sub-tipenya disebut dengan Phobia Spesifik dengan tipe "blood-injection-injury" atau ketakutan berdarah dari cedera akibat suntikan.
Pada masa pandemi saat ini, gangguan phobia tersebut lebih banyak disebutkan dalam tayangan televisi sebagai phobia vaksinasi COVID-19.
Salah gejala yang tampak adalah kepanikan menghadapi jarum suntik dan terus membutuhkan pendampingan psikologis saat situasi tersebut karena rasa cemas antisipatorik akan pikiran cedera yang menghantui dari prosedur medis tersebut. Terkait dengan nomenklatur gangguan jiwa yang disepakati, tentunya istilah tersebut menjadi terasa kurang tepat.
Ketakutan terhadap vaksinasi COVID-19 dapat sebagai respons kecemasan normal dari masyarakat terhadap keampuhan vaksin tersebut dalam melawan wabah COVID-19 yang sedang melanda.
Mengingat di zaman digital masa kini, masyarakat lebih peka untuk mencari dahulu segala hal yang sedang berkembang melalui sumber di internet tanpa melakukan filterisasi informasi.
Dampak yang terjadi adalah timbul rasa cemas dan kemudian menjadi takut dan menolak untuk di vaksinasi COVID-19.
Sedangkan, phobia spesifik tipe "blood-injection-injury" adalah ketakutan yang menetap dan tidak rasional terhadap suatu objek (dalam hal ini berupa takut berdarah akibat cedera di suntik) yang kemudian menimbulkan suatu keinginan mendesak untuk menghindari objek tersebut sebagai bentuk stimulus objek yang menakutkan. Pada masa pandemi ini, stimulus objek tersebut dapat berhubungan dengan program vaksinasi COVID-19.
Individu dengan phobia spesifik tipe "blood-injection-injury" biasanya merasa takut yang diakibatkan karena melihat darah, cedera dari tindakan suntikan, atau prosedur medis invasif lain. Ketakutan ini adalah hal yang umum dijumpai dan biasanya berupa respons vasovagal yang kuat seperti: vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah), bradikardi (melambatnya detak jantung), hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah), bahkan sampai pingsan saat dipaparkan pada jarum suntik atau menunggu antrian di vaksinasi.
Beberapa teman sejawat dokter melaporkan pengalaman adanya kondisi seperti di atas saat melakukan tugas vaksinasi COVID-19. Hal yang berkaitan dengan "phobia cedera jarum suntik" tentu perlu menjadi perhatian dan tantangan bagi para petugas medis yang berada di garda depan program vaksinasi COVID-10 yang telah mulai di galakkan secara serentak bagi masyarakat.
Phobia spesifik terdapat sebanyak 5-10lam populasi umum. Phobia spesifik ini tidak terbatas dijumpai pada kelompok anak saja, melainkan juga remaja dan dewasa bahkan petugas kesehatan sekalipun.
Individu tersebut biasanya memiliki ciri kepribadian tertentu seperti cemas menghindar atau terdapat riwayat trauma yang terkait dengan tindakan darurat medis. Kondisi tersebut tentunya perlu menjadi catatan dalam pertanyaan skrining awal dalam program vaksinasi COVID-19 di masyarakat.
Apabila dijumpai kasus phobia "cedera jarum suntik" di lapangan tentu klinisi tidak perlu panik. Pemberian obat Betha-blocker dapat disediakan dalam menurunkan hiperarousal otonomik yang muncul pada situasi darurat akibat takut jarum suntik pada individu yang akan divaksin.
Latihan relaksasi sederhana dengan cara pengaturan pola nafas dapat direkomendasikan sebagai permulaan untuk mempersiapkan psikologis individu tersebut mendapat suntikan vaksinasi COVID-19.
Sebagai simpulan, mari kita sukseskan program vaksinasi COVID-19 dari pemerintah ini sebagai upaya membasmi virus corona sampai habis. Tetap selalu berpikir positif dan tidak melupakan protokol kesehatan 4M yang ditetapkan oleh pemerintah di masa pandemi COVID-19.
***
Referensi:
Ibrahim AS. Panik Neurosis dan Gangguan Cemas. Cetakan Pertama. PT Dian Ariesta. Jakarta, Mei 2003.
Ebert MH; Loosen PT; Nurcombe B. Current Diagnosis & Treatment in Psychiatry. McGraw-Hill International Editions. New York, 2000.
Penulis: dr Isa Multazam Noor. MSc, SpKJ(K) -- Psikiater Anak & Remaja dan Dosen Klinis di FK YARSI Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H