“Sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, apabila baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan jikalau rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya, tidak lain dan tidak bukan itulah hati.”
(HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmizi, an-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majjah, Ibnu Hanbal, dan ad-Darimi)
Puasa merupakan salah satu rukun islam yang ibadahnya sangat berkait dengan unsur sabar. Makna yang terkandung dalam aktivitas puasa berhubungan dengan kesabaran individu muslim dalam menahan dan mencegah dari segala hal yang dapat membatalkan puasa. Selama 1 bulan berpuasa di bulan Ramadhan, maka individu muslim dilatih mengendalikan diri pribadi dari segala bentuk godaan setan berupa: dorongan syahwat akan tuntutan kebutuhan nafsu. Allah SWT telah memberikan penekanan penting akan kaitan sabar dan puasa ini berdasar hadis qudsi: “Puasa adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya.” Dengan demikian puasa merupakan bagian dari sabar, yaitu setengah dari sabar adalah puasa.
Sabar adalah sebuah kata yang sepertinya tidak asing bagi kita. Berpuluh-puluh kali kata sabar ini terselip dalam nasehat bijak yang selalu diberikan pada individu manusia saat dihadapkan pada situasi dari probematika kehidupan yang pelik. Sabar itu terasa begitu mudah untuk diucapkan, tetapi seringkali terasa sulit atau paling berat untuk dilakukan dalam aktivitas keseharian. Hiruk pikuk kehidupan perkotaan yang serba instan, cepat, dan terburu-buru membuat implementasi sabar ini menjadi terasa tenggelam dalam kemajemukan aktivitas individu manusia.
Sabar itu sendiri berarti menahan dan mencegah. Berdasarkan syariat, sabar adalah menahan diri dari keluhan dan kemarahan, menahan lidah dan keluh kesah, dan menahan anggota badan dari berbuat maksiat. Imam Al-Ghazali telah mendefinisikan bahwa sabar adalah bentuk ketegaran motivasi agama (religius) dalam menghadapi dorongan nafsu syahwat. Dorongan syahwat tersebut berupa tuntutan-tuntutan akan kebutuhan nafsu dan amarah yang akan dikekang atau ditundukkan melalui motivasi agama (religius).
Dalam kajian ilmu kesehatan jiwa, kebutuhan-kebutuhan nafsu ini dikenal dengan nama Id. Dorongan nafsu ini dapat mengendalikan sikap dan perbuatan manusia sehingga kemudian membentuk perilaku dari seseorang individu. Dalam kajian psikologi, Id di istilahkan sebagai tuntutan kebutuhan dari sisi reptilian brain pada otak manusia, seperti: amarah, syahwat (keinginan biologis), nafsu dan perut yang terdapat dalam jiwa manusia. Dorongan agama (religius) menjadi pengontrol akan tuntutan tersebut yang dalam bahasa kejiwaan disebut dengan Super Ego.
Perseteruan antara motivasi agama (religius) dan dorongan nafsu syahwat ini akan beradu pada medan perang yang dikenal dengan nama “Hati” yang terdapat pada setiap individu manusia. Hati di ibaratkan sebagai Ego yang menjadi penentu (Menang atau kalah) dari peperangan antara dorongan nafsu syahwat (Id) dan motivasi agama (Super Ego). Super Ego berupa motivasi agama menjadi sumber filter (penyaring) dari manifestasi perilaku yang nantinya muncul pada individu manusia. Dengan demikian, hati memiliki peranan penting dalam kesehatan jiwa dan ruhani dari seorang individu. Dalam kajian Islami, Abu Hurairah berkata: “Hati adalah raja anggota tubuh. Anggota tubuh adalah para prajuritnya. Apabila raja baik, maka baik pulalah para prajuritnya. Apabila raja buruk, maka buruk pulalah para prajuritnya.”
Hakim at-Tirmizi, seorang ulama tasawuf telah mengajukan kajian yang jelas perihal hati ini dari pendekatan kejiwaan islami. Hati terdiri dari 4 bagian, yaitu: shadr (rasa keimanan sebagai tempat pembelajaran, dimana unsur sabar melekat di dalamnya), qalb (niat dan ilmu), fu’ad (filter antara benar dan salah), dan lubb (cahaya ketuhanan). Ke-empat point ini dapat dijelaskan melalui aspek medis kejiwaan, berdasar pandangan psikiatri biologi akan bagian otak yang bernama amigdala.
Menurut epistemiologi psikiatri biologi, hati adalah perwujudan salah satu bagian otak manusia yang dikenal dalam atlas anatomi sebagai amigdala. Bagian yang berada di dalam otak tengah ini berfungsi sebagai konduktor dari pengaturan (regulasi) segala sistem saraf yang berkaitan dengan emosi, perasaan dan perilaku manusia. Dengan peranan hati sebagai pusat ego, maka manusia mampu merasa, mengetahui, dan mengenali hal-hal yang baik dan buruk bagi diri pribadinya. Dengn demikian hati menjadi potensi dasar manusia yang mengandung dua kecenderungan, yaitu baik dan buruk.
Sabar memiliki kedudukan mulia karena merupakan salah satu dari nama-nama sifat Allah (Asmaul Husna), yaitu As-Sabar yang artinya Maha Pemberi Berkah. Sabar menjadi kunci dan pintu gerbang bagi perwujudan dari Akhlaqul Kharimah (Budi Pekerti yang Mulia) pada individu muslim. Sedangkan puasa menjadi latihan riyadhah bagi ketajaman hati, yaitu suatu proses internalisasi kejiwaan dengan sifat-sifat terpuji dan melatih membiasakan diri dari meninggalkan sifat-sifat yang buruk. Dengan berpuasa, individu berperang melawan kehendak hawa nafsu yang selalu mengarahkan pada perbuatan tidak terpuji.
Makna di balik puasa yang sarat unsur kesabaran tentu akan membawa individu manusia kepada perilaku yang mengarah pada perbuatan baik dan menghindarkan dari perbuatan buruk yang tidak sesuai sebagai pribadi muslim. Makna yang terkandung dalam kesabaran itu sendiri adalah mengharap keridhaan Allah. Sebagai mana Firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya.” (QS ar-Ra’d: 22). Keagungan sabar juga dijelaskan dalam Firman Allah SWT yang lain: “Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahala mereka tanpa batas.” (QS Az-Zumar: 10). Dengan demikian, maka sabar menjadi puncak iman dimana individu menjadi ridha terhadap ketentuan Allah SWT.
Kitab Al-Qur’an sendiri memberikan perhatian khusus pada keutamaan sabar dengan mengkajinya pada sekitar 70 ayat di dalam Al-Qur’an. Salah satu keutamaan sabar yang dijelaskan dalam Al-Qur’an adalah: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS Al Baqarah 2:153).
Kemenangan akhir dari ibadah puasa yang telah menempa kesabaran individu muslim melawan dorongan hawa nafsu akan di syukuri pada esok hari. Sabar dan syukur menjadi kendaraan bagi umat muslim agar dapat menjadi lebih takwa kepada Allah SWT. Hadis menyebutkan: “Sesungguhnya sabar adalah tiang iman. Takwa merupakan kebajikan yang paling utama, dan takwa itu harus dengan kesabaran.”
Hari Raya Idul Fitri yang insha allah akan kita jelang esok menjadi kemenangan bagi umat muslim melalui motivasi agama (religi) untuk kembali fitrah (suci) dari perlawanan terhadap dorongan nafsu syahwat. Mari kita sambut 1 Syawal 1437 H ini dengan rasa syukur. Bersyukur dan puasa merupakan obat bagi pejagaan hati terhadap segala karunia yang telah kita terima. Rasulullah SAW sendiri menyebutkan bahwa iman itu terdiri dari dua bagian: sebagian berupa sabar dan sebagian lagi rasa syukur.
Ibadah puasa terasa belum lengkap apabila belum ditutup dengan saling memaafkan. Sesungguhnya inti sabar dalam berpuasa adalah dapat memaafkan orang lain. Mari sama-sama kita membuka hati untuk saling bermaaf-maafan. Suatu hasil penelitian telah menunjukkan akan dahsyatnya kekuatan memaafkan. Individu yang mampu memaafkan ternyata memiliki kesehatan fisik dan jiwa yang lebih baik. Memaafkan terbukti dapat menciptakan kebahagian, kesabaran, dan menurunkan rasa amarah berdasar paradigma kesehatan jiwa. Memaafkan menjadi obat bagi penyakit jiwa dan penyembuh bagi penyakit hati.
Sebagai akhirul kata, saya sebagai penulis mengucapkan“Selamat Hari Raya Idul Fitri 1437 H. Minal Aidzin Wal Faidzin. Mohon Maaf Lahir dan Bathin.”
Daftar Pustaka
- Al-Ghazali I. Terapi Sabar dan Syukur. Kiat Mensyukuri Nikmat dan Bersabar atas Musibah. Cetakan keempat. Khatulistiwa Press. Jakarta, Desember 2013.
- Fad’aq AUH. Mengungkap Makna & Hikmah Sabar. Cetakan ketiga. Penerbit Lentera Basritama. Jakarta, 2002.
- Muhyidin M. Fiqh Sakit Hati. Cetakan Pertama. Penerbit Diva Press. Jogjakarta, 2010.
- Al-Karimi AS. Terapi Penyakit Ruhani. Cetakan 2. Pustaka Arafah. Solo, Oktober 2012.
- Syukur MA; Usman F. Terapi Hati. Penerbit Erlangga. Jakarta, 2012.
Dr Isa Multazam Noor, SpKJ (K) *Psikiater Anak RSJ Dr Soeharto Heerdjan Grogol Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H