Mohon tunggu...
Ignatius Sandyawan
Ignatius Sandyawan Mohon Tunggu... Penulis - Badan Pusat Statistik

Staf Transformasi TI di Badan Pusat Statistik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sistem Neraca Lingkungan: Indikator Ekonomi Berkelanjutan di Indonesia

7 Juni 2019   21:00 Diperbarui: 7 Juni 2019   21:03 2259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kekhawatiran masyarakan mengenai persediaan sumber daya alam yang ada di dunia mulai muncul di Eropa saat masa revolusi industri. Jumlah penduduk yang terus meningkat, pembangunan industri abad ke-19 serta pencemaran dan eksploitasi lingkungan menjadi perhatian masyarakat. 

Dampak dari kekhawatiran itu muncul konsep Sustainable Development (Pembangunan Berkelanjutan) yang diperkenalkan pada konferensi pertama PBB dalam bidang Lingkungan Hidup di Stocklom pada tahun 1972.  Literatur mengenai pembangunan berkelanjutan meluas pada tahun 1980-an ketika International Union for the Conservation of Nature Influential World Conservation Strategy mengajukan konsep pembangunan yang mempertimbangkan fungsi ekosistem dan keanekaragaman hayati. Pada akhirnya pada Laporan Komisi Brundtland tahun 1987, istilah pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan."

            Perkembangan dari pembangunan berkelanjutan ini menumbuhkan ide untuk membuat neraca yang tidak hanya mengukur aspek ekonomi namun juga mengukur aspek lingkungan yang merupakan dampak dari kegiatan ekonomi yang terjadi. Tahun 1993 United Nation Statistics Division (UNSD) mengenalkan National Accounting : Integrated Environmental and Economic Accounting. Neraca ini menggabungkan aspek lingkungan dan ekonomi dalam neraca.

            Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah juga memperhatikan pembangunan berkelanjutan ditandai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 ayat 4 yang menyatakan "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional." Sebagai negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Indonesia mengadopsi neraca yang dikeluarkan oleh PBB dalam hal pembangunan berkelanjutan. Pada artikel ini akan dibahas sejauh mana Indonesia menerapkan neraca lingkungan dan juga mengulas hasil yang didapatkan melalui neraca lingkungan yang dikeluarkan ini.

            Indonesia pada dekade ini, penyumbang PDB terbesar adalah sektor pertambangan. Hal ini tentu akan mengkhawatirkan karena sektor ini memiliki dampak buruk kepada lingkungan. Perkebunan terutama perkebunan sawit yang menjadi komoditas unggulan Indonesia juga memiliki dampak buruk kepada lingkungan. Pembukaan hutan adalah salah satu contoh kerusakan lingkungan yang harus dihadapi Indonesia yang menyebabkan berbagai masalah lainnya seperti banjir, polusi udara, dan hilangnya habitat satwa liar.

            Atas dasar hal tersebut, penyusunan neraca lingkungan menjadi sangat penting dilakukan di Indonesia. Badan Pusat Statistik sebagai lembaga negara yang menyediakan statistik dasar, sudah memulai membuat Sistem Terintegerasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi mulai tahun 1990. Seiring dengan perkembangan neraca lingkungan yang dilakukan PBB pada tahun 1993, 2003, dan 2012, BPS juga melakukan pembenahan neraca lingkungan yang mengacu pada handbook yang dikeluarkan oleh PBB.

System of Environmental Economic Accounting (SEEA) 2012 memiliki 3 bagian yaitu SEEA Central Framework yang mengadopsi Komisi Statistik PBB sebagai standar internasional pertama untuk neraca ekonomi-lingkungan, SEEA Experimental Ecosystem Accounting yang menyediakan informasi mengenai neraca ekosistem, terakhir adalah SEEA Applications and Extensions berisi informasi mengenai fungsi dari SEEA untuk pengambilan keputusan dan juga penelitian. BPS menurunkan SEEA menjadi 4 neraca yaitu neraca arus fisik, neraca fungsional untuk transaksi lingkungan, neraca aset dalam satuan fisik dan moneter, serta neraca ekosistem.

Neraca arus fisik meliputi aliran input alam dari lingkungan ke dalam perekonomian, aliran produk di dalam perekonomian dan aliran sisaan yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi. Pada neraca ini air yang mengalir dalam proses produksi juga masuk dalam neraca. Limbah yang mengalir ke lingkungan atas hasil dari produksi juga dihitung dalam neraca ini.

Neraca fungsional digunakan untuk mencatat transaksi yang menyangkut lingkungan. Aktivitas ini didefinisikan sebagai aktivitas yang mengurangi atau menghilangkan tekanan terhadap lingkungan dan bertujuan untuk menjadikan penggunakan sumberdaya alam lebih efisien. Sebagai contoh kegiatan reklamasi lingkungan, investasi teknologi ramah lingkungan, dan aktivitas perlindungan lingkungan.

Neraca aset menyajikan informasi mengenai ketersediaan sumberdaya alam untuk digunakan sebagai penilaian aspek keberlanjutan. Sumber daya yang tidak dapat diperbarui kuantitas deplisinya sama dengan kuantitas sumberdaya yang diesktraksi. Sedangkan sumber daya yang dapat diberbarui kuantitas deplisinya memperhitungkan populasi sumberdaya, besarnya, tingkat pertumbuhan dan tingkat keberlanjutan yang terkait.

Neraca ekosistem menyajikan informasi mengenai ekosistem. Informasi dalam neraca ini meliputi tumbuhan, hewan, mikro-organisme, dan lingkungan. Hal yang dicatat adalah perubahan kapasitasnya untuk beroperasi sebagai unit fungsional serta menyajikan informasi mengenai manfaat ekosistem bagi manusia.

            Neraca arus fisik, fungsional untuk transaksi lingkungan serta neraca aset dalam satuan fisik dan moneter disebut SEEA Central Framework, sedangkan neraca ekosistem disebut SEEA Experimental Ecosystem Accounts.

            Dalam pembentukan SEEA, BPS di bawah koordinasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga bekerjasama dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) serta Kementrian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Keseriusan pemerintah dalam pembangunan berkelanjutan juga terlihat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 untuk merealisasikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

            Untuk melakukan penyempurnaan dalam neraca sumber daya alam, Indonesia bekerjasama dengan Wealth Accounting and the Valuation of Ecosystem Services (WAVES) pada tahun 2013 dan memformulasikan kemitraan pada 2015.  WAVES merupakan lembaga dari Bank Dunia untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan melalui perencanaan pengembangan sumber daya alam serta neraca ekonomi nasional. Empat fokus utama dalam program WAVES untuk Indonesia pertama dengan meningkatkan cakupan dan kualitas data SISNERLING. WAVES mendukung langkah desain serta monitoring neraca kekayaan yang komprehensif dan Adjustent Net Sacings (ANS). Kedua, melalui pembentukan neraca nasional berbasis SEEA untuk cakupan tanah, pemanfaatan tanah dan ekosistem. WAVES berkontribusi dengan mengelola konversi tanah hutan menjadi pertanian dan infrastruktur sebagai akibat dari peningkatan populasi dan kebutuhan pembangunan ekonomi, menilai tanah non-urban sebagai dasar untuk menentukan kompensasi finansial pemanfaatan lahan untuk tujuan kepentingan umum, serta menyediakan data dan analisis untuk mengelola ekosistem tertentu. Ketiga, dengan mengembangkan neraca air berbasis SEEA untuk sungai Citarum. Hal ini dilakukan dengan memperkuat pengetahuan terkait faktor yang memengaruhi kuantitas dan kualitas air serta menyediakan pendekatan replikasi untuk memproduksi neraca air untuk daerah lain. Terakhir, dengan mengintegrasikan data kedalam neraca sumber daya alam. WAVES menginformasikan proses pembangunan terutama untuk RPJMN yang kan datang, serta visi pembangunan jangka panjang Indonesia.

            Badan Informasi Geospasial juga turut serta dalam membentuk SISNERLING ini. BIG bertugas untuk menyajikan neraca dalam bentuk spasial. Neraca sumber daya alam disepakati dalam empat komponen sumberdaya alam, yaitu : sumberdaya lahan, hutan, air, dan mineral. Neraca spasial menekankan penyusun informasi neraca dengan memanfaatkan informasi keruangan atau spasial.

            BIG dalam penyusunan neraca sumberdaya alam memiliki fungsi antara lain, melakukan pembinaan neraca sumberdaya alam dalam hal menyiapkaan norma standar pedoman dan kriteria dalam penyusunan neraca sumberdaya alam dalam bentuk petunjuk teknis, modul, perka, SNI, dan standar lainnya. Fungsi lain adalah untuk melakukan integrasi neraca sumberdaya alam. Integrasi ini sejalan dengan One Map Policy yang menghasilkan satu data dan satu peta, yang menggunakan satu reference. Masalah yang dihadapi sekarang adalah belum ada standar data dan klasifikasi. Kedepannya diharapkan integrasi ini mampu menjawab tantangan tentang informasi geospasial neraca sumberdaya alam.

            Penyusunan neraca sumberdaya alam sudah berhasil diterapkan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan telah dipublikasikan tahun 2002-2007 dan 2007-2012. Hasilnya dapat memberikan rekomendasi kebijakan antara lain, adanya penyimpangan pemanfaatan ruang aktual disebabkan keterbatasan ruang bagi penduduk untuk beraktifitas atau pemanfaatan lahan budidaya di kawasan lindung yang sudah ada sebelum ditetapkan sebagai fungsi lindung oleh pemerintah.

            Hasil publikasi dari SISNERLING yang dikeluarkan BPS yang paling baru adalah Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia 2012. Dari hasil publikasi tersebut didapatkan beberapa kesimpulan. Pertama, pada periode tahun  2009-2014 tutupan lahan kategori hutan berkurang. Sedangkan kategori perkebunan dan pertanian bertambah. Penurunan luas hutan hamper terjadi di semua pulau kecuali di pulau Bali dan Nusa Tenggara yang mengalami penambahan luas akibat reboisasi dan reklasifikasi. Hutan memiliki banyak fungsi antara lain fungsi ekonomis, klimatologis, hidrolis serta ekologis. Meskipun hutan merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui tetapi dalam pemanfaatannya dan pengelolaannya harus tetap memperhatikan keseimbangan dan kelestarian ekosistem. Kedua, rata-rata cadangan akhir tahun komoditi sumber daya mineral dan energi mengalami penurunan, seperti minyak bumi, gas bumi, emas, dan bijih nikel akibat tingkat deplesi yang melebihi pertumbuhan penemuan cadangan barunya. Ini juga dapat berarti sumber daya alam tersebut akan habis apabila tidak dapat ditemukan tambang baru.

            SISNERLING merupakan langkah yang tepat bagi pembangunan berkelanjutan di Indonesia mengingat pertumbuhan penduduk yang cepat akan berdampak langsung terhadap lingkungan Indonesia. Peningkatan penduduk ini akan membawa dampak peningkatan lahan untuk perumahan maupun peningkatan eksploitasi sumber daya alam yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini membuat pemerintah wajib mengambil langkah yang tepat untuk mengatasi semua masalah tanpa harus mengesampingkan keberlanjutan sumber daya alam Indonesia.

            Dari ulasan di sebelumnya SISNERLING dapat memberikan informasi yang komprehensif dari aspek ekonomi, lingkungan serta sosial dalam suatu neraca. Informasi ini dapat memberikan pemerintah gambaran lengkap mengenai pembangunan yang sudah dan sedang dilakukan lengkap dengan dampaknya. Neraca ini tidak hanya memberikan memberikan informasi mengenai hasil yang didapatkan melalui produksi minyak, mineral, dan sumber daya lainnya. Namun juga hasil yang akan didapatkan Indonesia apabila menjaga alam dimasa yang akan datang. Dengan demikian SISNERLING juga dapat memberikan gambaran untuk pertimbangan pemerintah dalam pembangunan jangka panjang.

            Pembuatan neraca ini tidaklah mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapi lembaga yang bertugas untuk menghasilkan neraca ini. Salah satu tantangan besar adalah ketersediaan lembaga pemerintah maupun swasta dalam memberikan keterbukaan data. Keterbukaan data menjadi masalah utama karena SISNERLING harus mengumpulkan informasi dari pihak-pihak yang aktif bersentuhan dengan hal-hal yang tercatat dalam SISNERLING seperti perusahaan tambang, perusahaan air minum, lembaga perlindungan alam dan lainnya. Sehingga dibutuhkan komitmen bersama untuk menghasilkan neraca sumber daya alam yang berkualitas dan bisa menggambarkan secara nyata kondisi Indonesia.

            Dengan adanya SISNERLING ini diharapkan pemerintah mampu membuat kebijakan yang tepat untuk keberlangsungan sumber daya alam Indonesia di masa mendatang. Pemerintah juga mampu membuat program pembangunan yang mendukung mendukung keberlangsungan lingkungan sesuai dengan SDGs dan RPJMN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun