Dengan adanya kebijakan hilirisasi ini Indonesia sangat berpotensi untuk mengembangkan berbagai industri dan teknologi dalam negeri dan dapat menjadi pesaing baru bagi negara-negara maju yang telah lama menguasai pasar industri dan teknologi dunia.
Selain itu Indonesia yang terlihat sangat dekat dengan China dalam rencana pembangunan ekonomi juga mencuri perhatian dunia terutama dalam hal persaingan ekonomi global. Potensi Indonesia untuk menjadi negara maju seperti yang dialami oleh China yang mana telah terbukti mampu bangkit dari keterpurukan dan menjadi negara dengan ekonomi terkuat kedua di dunia. Oleh karena itu negara-negara maju tersebut melakukan upaya-upaya agar ekonomi dunia yang telah lama mereka kuasai tidak berpindah tangan ke negara berkembang seperti Indonesia. Karena sejatinya negara-negara maju ini tidak ingin negara berkembang juga menjadi negara maju dan menjadi pesaing mereka.
Politik Luar Negeri dalam menjegal Indonesia
Negara-negara maju yang bergantung pada nikel Indonesia tentu melakukan berbagai upaya dalam menggagalkan kebijakan hilirisasi yang berpotensi merugikan perekonomian dan industri mereka.
Salah satu upaya mereka yaitu melalui gugatan yang dilayangkan dari Uni Eropa ke World Trade Organization (WTO) pada akhir tahun 2019. Uni Eropa menganggap bahwa Indonesia telah melanggar Pasal XI.1 GATT tentang larangan pembatasan ekspor dan impor yang dalam hal ini mengganggu berjalannya pasokan barang dalam perdagangan bebas dunia. Selain itu Indonesia juga dianggap melanggar Pasal 3.1 (b) Agreement on Subsidy and Countervailing Measures tentang subsidi yang dilarang yang mana Indonesia dalam implementasi kebijakan hilirisasi membangun smelter dan pembaruan pabrik pengolahan memberikan subsidi kepada industri pertambangan dalam negeri seperti pembebasan bea masuk dalam impor bahan baku, alat, dan mesin yang diperlukan.
Amerika Serikat yang juga tak senang dengan kebijakan hilirisasi industri Indonesia juga merespon dengan dengan tindakan pilih kasih dan tidak adil terhadap Indonesia. Salah satunya yaitu melalui pengucilan produk nikel Indonesia yang tidak akan mendapat insentif atau subsidi energi bersih yang diberikan oleh pemerintah Amerika Serikat senilai US$ 370 miliar. Indonesia dianggap tidak memenuhi syarat karena tidak terikat dalam perjanjian perdagangan Amerika Serikat. Selain itu Amerika juga melihat industri nikel Indonesia dikuasai dan didominasi oleh perusahaan-perusahaan asal China yaitu PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan Zhejiang Huayou Cobalt Co (ZHC) yang mana China merupakan “musuh” dalam perang dagang Amerika Serikat.
Upaya perlawanan Indonesia
Dalam merespon balik tindakan yang dilakukan oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat, Indonesia tetap sejalan dengan tujuan dan landasan dari politik luar negerinya.
Salah satu tujuannya yaitu dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan negara dengan tetap kokoh pada pendiriannya untuk terus melanjutkan kebijakan hilirisasi industri yang dianggap membawa kesejahteraan bagi Indonesia meskipun ada intervensi dan penolakan dari bangsa lain.
Hal ini juga tercermin dari pernyataan sikap dan perkataan dari Presiden Indonesia Joko Widodo "Masak sejak (zaman) VOC 400 tahun yang lalu, kita ekspor bahan mentah sampai sekarang kita mau terus ekspor bahan mentah. Untuk saya tidak (tidak mau),”. Dengan kata lain jika Indonesia terus-menerus melakukan ekspor bahan mentah sama saja Indonesia terus mengalami penjajahan dari negara lain dan sulit untuk mencapai tujuan politik luar negeri Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.