Mohon tunggu...
Indonesian Student Association For International Studies ISAFIS
Indonesian Student Association For International Studies ISAFIS Mohon Tunggu... -

Indonesian Student Association for International Studies (ISAFIS) had been established since 14th February 1984. ISAFIS is a non-profit students organization, with the purpose to build the vision of mutual understanding among nations through youth cooperation. Along the way in its 30th year, ISAFIS has grown through deepening the coherence between its internal divisions' coordination, while widening efforts of its works for youth empowerment. The members are students from universities in Jabodetabek: University of Indonesia, Trisakti University, Paramadina University, Pelita Harapan University, Paramadina University, Bogor Institute of Agriculture, and many more.

Selanjutnya

Tutup

Politik

AIIB sebagai Respon terhadap Unilateralisme AS

9 Desember 2015   20:42 Diperbarui: 9 Desember 2015   20:54 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 “We screwed it up,

Itulah yang dikatakan Madeleine Albright, yang menjabat Secretary of State Amerika Serikat (AS), terkait pembentukan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB).[1] Tulisan ini akan membahas bagaimana AIIB merupakan respon terhadap unilateralisme Amerika Serikat dalam sistem finansial global. Pertama-tama akan diulas mengenai tulisan Toyoo Gyohten yang berjudul The United States in the Global Financial Arena, yang membahas mengenai bagaimana AS sebagai hegemon menjalankan perannya dalam sistem finansial global.

Kemudian akan dilanjutkan dengan pembahasan mengenai bagaimana AS cenderung menerapkan unilateralisme, dan akan ditutup dengan pembahasan mengenai AIIB.

Gyohten memulai tulisannya dengan menjelaskan bagaimana sistem kapitalisme ala Amerika Serikat (AS) telah berjaya selepas Perang Dingin. TIK. Kejayaan AS ini juga jelas terlihat di industri pelayanan finansial, dimana AS telah menjadi hegemon di ekonomi dunia. Masalahnya adalah AS sebagai hegemon tidak selalu bersaha untuk menyeimbangkan antara kepentingan nasionalnya dengan kepentingan negara lain. Menurut Gyohten, hal ini disebabkan oleh dua faktor.

Pertama, adalah adanya asumsi naïf AS yang menganggap bahwa apa yang baik bagi AS baik untuk negara lain. Faktor kedua adalah struktur pembuatan kebijakan AS, yang seringnya didominasi kepentingan bisnis. Inilah clashing point antara unilateralisme dan multilateralisme. Kebijakan AS di arena financial internasional pada dasarnya didominasi kepentingan nasional. Ini diperparah dengan bagaimana unilateralisme ini dipandang sebagai sesuatu yang sejalan dan harmonis dengan multilateralisme—karena apa yang baik untuk AS baik untuk yang lainnya.[2]

Ada tiga aspek yang menunjukkan unilateralisme AS tidak sejalan dengan prinsip multilateralisme. Pertama, manajemen aliran modal internasional. Unilateralisme AS disini terlihat karena AS sebagai promoter terbesar globalisasi dan liberalisasi tidak bertanggung jawab membantu mempersiapkan negara-negara berkembang untuk juga meraih keuntungan. Ini misalnya terlihat di saat krisis 1997. Pada akhirnya, kerakusan untuk memperluas pasar mengorbankan negara-negara berkembang ini. AS dinilai lebih berkonsentrasi melindungi kepentingannya dibandingkan memperhatikan negara lain.[3]

Kedua, stabilitas tingat pertukaran mata uang. AS adalah negara yang paling enggan untuk berkomitmen pada kerjasama internasional excahange rates. Hal ini wajar karena AS melakukan mayoritas transaksi menggunakan mata uangnya sendiri. Ini mengecilkan resiko exchange bagi AS. Selain itu, ada anggapan di AS bahwa exchange rates seharusnya bisa digunakan salah satu alat diplomasi ekonomi. Oleh karena itu AS secara sengaja telah menggunakan taktik talking the dollar down, yaitu mengancam negara lain dengan devaluasi untuk meningkatkan pembelian produk dan layanan AS. [4]

Ketiga, peran institusi financial internasional, terutama IMF. AS sebagai pemegang saham terbesar dan pemilik hak veto dipandang menggunakan IMF untuk kepentingannya sendiri.  Misalnya, AS sangat mendukung bantuan IMF ke negara-negara Amerika Latin dibandingkan ke wilayah lainnya, karena memang penting secara strategis untuk AS.

Sementara itu, AS menolak dengan keras saat pasca 1997 beberapa negara Asia ingin membentuk Asian Monetary Fund sebagai alternatif IMF. Di saat yang sama, terjadi perdebatan di Kongres AS bahwa IMF tidak berfungsi sesuai kepentingan AS. Padahal prinsip dasar IMF adalah shared responsibility antara anggota, sehingga seharusnya aktivitas IMF didasarkan pada perspektif global, bukan hanya kepentingan suatu negara tertentu. [5]

Penulis menyetujui pendapat Gyohten yang menyatakan bahwa unilateralisme AS akan menimbulkan backlash untuk AS pada akhirnya. Yang Gyohten tidak perkirakan dalam tulisannya adalah bagaimana backlash tersebut akan terjadi. Menurut penulis, backlash ini telah terjadi dan dimotori oleh satu negara: Tiongkok. Tiongkok menunjukkan perlawanannya dengan setidaknya dua cara: penolakan sistem floating exchange rate[6] untuk RMB, serta AIIB. Dalam tulisan ini, akan difokuskan mengenai AIIB.

Pencanangan AIIB oleh Tiongkok setidaknya dikarenakan dua alasan. Pertama, karena Tiongkok ingin mereformasi sistem finansial dunia. Kedua, Tiongkok ingin membantu menyediakan dana investasi untuk infrastruktur di Asia, yang tidak mampu dijaminkan oleh institusi seperti ADB.[7]  Tentu, rencana Tiongkok ini direspon AS dengan keras. Jelas, AIIB akan meningkatkan pengaruh Tiangkok dan mengurangi negotiating leverage yang AS punya..[8] Akan tetapi, selain AS, hampir semua pihak menyambut baik inisiatif Tiongkok. Negara-negara aliansi AS juga mendaftar AIIB. Inggris bahkan mengajukan keanggotaan enam hari setelah Tiongkok menyatakan bahwa keanggotaan hanya untuk negara kawasan Asia.

Australia dan Korea Selatan yang tadinya menolak pun mendaftar menjadi anggota. Bank Dunia dan IMF juga telah menawarkan akan bekerja sama dengan AIIB.[9] Peluncuran AIIB dilaksanakan bulan Juni lalu dengan penandatanganan kerangka persetujuan AIIB. AIIB diresmikan dengan 57 negara menjadi anggota, yang meliputi 16 dari 20 anggota G20. AS dan Jepang memang tetap menolak bergabung, Tetapi, tanpa kedua negara tersebut pun AIIB masih sangat menarik perhatian, terbukti dari laporan bahwa masih ada 20 negara menunggu juga untuk bergabung dengan AIIB.

Setidaknya ada dua poin yang bisa disimpulkan dari fenomena AIIB. Pertama adalah memudarnya hegemoni AS di sistem finansial internasional. Bahkan negara-negara yang beraliansi dengan AS cenderung dengan senang hati bergabung dengan AIIB. Mereka bukannya bermaksud mengisolasi Washington. Mereka hanya beradaptasi ke dunia dimana kekuatan ekonomi lebih terdistribusi.

Shared values masih dianggap penting, dan hubungan dengan Washington akan tetap dijaga. [10] Selain itu, jika AS yang memang mendominasi di IMF dan ADB merasa segan dan prideful untuk bergabung, para aliansi ini sudah terbiasa memainkan second fiddle  untuk AS, maka tidak masalah memainkan peran yang sama untuk Tiongkok di AIIB.

Kedua, bahwa AIIB merupakan jawaban dari unilateralisme AS, backlash yang dikatakan oleh Gyohten. Tiongkok merasa bahwa “unjust and improper arrangements in the global governance system”[11] yang ditunjukkan dengan rendahnya representasi negara berkembang harus segera direformasi. Tetapi, unilateralisme AS, yang tidak kunjung memberikan suara lebih banyak bagi Tiongkok di IMF dan ADB, menyebabkan Tiongkok tidak sabar dan memilih untuk membuat sendiri sarana yang lebih mampu menampung aspirasinya. Memang, AS menjanjikan reformasi di IMF, yang memungkinkan Tiongkok bisa mendapatkan 6 persen voting share, tetapi hingga saat ini reformasi untuk itu masih ditunda dan belum berjalan. [12]

Unilateralisme ini bisa jadi dikarenakan adanya masalah inertia— where nobody is willing to give up what they already have.[13] AS begitu terbiasa dengan dominasinya, dengan penggunaan standarnya sebagai standar global, dan menganggap the American way adalah yang terbaik bukan hanya untuk AS tapi juga seluruh dunia.

 Oposisi AS terhadap pembentukan AIIB semakin menunjukkan bagaimana AS merasa takut dengan memudarnya pengaruh AS. Ini menjadi lebih ironis karena selama bertahun-tahun AS telah melabeli Tiongkok sebagai free-rider dan mendorong Tiongkok untuk mengemban lebih banyak tanggung jawab.[14] Saat Tiongkok mencoba melakukan itu, AS justru mencurigai niat Tiongkok dan mengkhawatirkan pengaruh Tiongkok yang semakin besar.

Tetapi, AS kemudian menyadari bahwa perlawanannya yang terang-terangan terhadap AIIB merupakan suatu kesalahan, bahkan kegagalan yang memalukan.[15] Oleh karena itu, dalam kunjungan Xi Jinping ke AS awal bulan Oktober 2015, AS menyatakan bahwa AS menyambut peran Tiongkok yang lebih besar dan aktif di sistem finansial internasional. Selain itu AS juga akan secepatnya mengimplementasikan reformasi IMF, dan mendukung mata uang Tiongkok untuk dimasukkan ke Special Drawing Rights IMF.[16]

Jelas bahwa memang unilateralisme AS telah menjadi bumerang bagi AS. Padahal mungkin saja jika reformasi seperti yang Tiongkok minta dilakukan oleh AS, AS tidak usah menanggung malu dari melawan mati-matian proyek AIIB ini. Kalau saja AS lebih menerapkan prinsip multilateralisme, tidak sekadar mementingkan kepentingan nasionalnya mempertahankan dominasi, mungkin bahkan AIIB tidak akan terbentuk. Ini mungkin maksud pernyataan dari Madeline Albright.

Karena sekarang sudah nasi telah menjadi bubur, pertanyaan berikutnya adalah apakah AIIB pun pada akhirnya akan menjadi manifestasi unilateralisme Tiongkok? AIIB tidak dapat dipungkiri diawali oleh kepentingan Tiongkok, dan terbentuknya AIIB juga menyebabkan Tiongkok mendapatkan sarana baru menginvestasikan kelebihan dananya serta memberikan kesempatan bagi perusahaan Tiongkok untuk memenangkan tender konstruksi di Asia.[17]

Meski demikian, setidaknya secara prinsip AIIB sudah menerapkan prinsip multilateralisme. Ini sudah ditunjukkan dengan bagaimana AIIB yang terbentuk sekarang sudah sangat berbeda dengan apa yang dibayangkan Tiongkok pada awalnya. Ini terlihat dari tiga aspek.[18] Pertama, awalnya Tiongkok hanya mempertimbangkan keanggotaan yang eksklusif Asia. Tetapi, antusiasme negara Eropa untuk bergabung membuat Tiongkok mengadaptasi posisinya dan kemudian mengubah sistem saham modal dengan Asia memegang 75 persen dan non-Asia 25 persen.

Ini Tiongkok lakukan untuk meningkatkan dukungan internasional. Kedua, tadinya AIIB dimaksudkan untuk menjadi agensi bantuan Tiongkok. Sekarang AIIB menjadi multilateral development bank (MDB). Ketiga, Tiongkok memang menjadi aktor besar, tetapi tidak dominan di AIIB. Hal ini ditunjukkan dengan bagaimana MOU awal yang menyatakan bahwa Tiongkok akan mendapatkan saham 50 persen, tetapi kemudian seiring bertambahnya anggota Tiongkok mengurangi menjadi 30 persen.

Tiongkok mendapatkan hak veto yang memastikan Tiongkok mendapatkan kontrol atas aspek kunci AIIB. Penggunaan hak veto ini di satu sisi tidak begitu menakutkan, karena Tiongkok tidak begitu saja bisa mengontrol jalannya AIIB. Tiongkok misalnya tidak bisa mem-veto keputusan mengenai peminjaman. Disini terlihat peran komunitas internasional yang mempengaruhi desain AIIB. Daya tawar kolektif para anggota memaksa Tiongkok beradaptasi dan berhati-hati dalam mengejar kepentingan nasionalnya melalui AIIB.[19]

Ada dua ungkapan yang bisa menyimpulkan seluruh tulisan ini. Pertama, seperti yang dikatakan Paman Ben kepada Spiderman, with great power comes great responsibility.[20] Dengan peran sebagai negara besar, sebagai hegemon, tanggung jawab yang diemban dalam sistem internasional pun semakin besar. Ini yang seharusnya disadari baik oleh AS dan Tiongkok.

Mereka tidak bisa begitu saja memaksakan kepentingan nasionalnya dan mengorbankan kepentingan negara lain. AS dan Tiongkok memang berpengaruh besar dalam ekonomi global, tetapi mereka juga harus menyadari bahwa mereka juga bergantung pada negara-negara lain. Keegoisan akan berbalas, dan itu yang harus dicamkan Tiongkok dalam pelaksanaan AIIB nantinya. Kedua, sesuai pepatah Afrika, if you want to go fast, go alone; if you want to go far, go together.

Era hegemon telah usai, dan inisiatif seperti AIIB tidak akan hilang begitu saja seiring Tiongkok berusaha memainkan peran yang lebih besar. AS akan lebih diuntungkan dengan berpartisipasi aktif dan memastikan AIIB sukses daripada tidak terlibat dan membiarkan AIIB gagal. Baik Tiongkok dan AS akan lebih diuntungkan dengan memastikan AIIB semultilateral mungkin. Negara-negara lain oleh karena itu bukannya tanpa pengaruh.

AIIB memang merupakan tantangan bagi tatanan yang ada, tetapi terbentuknya AIIB seperti sekarang ini menunjukkan bahwa sistem yang ada, dan negara-negara lain tetap mampu untuk menyeimbangkan dan memastikan Tiongkok play by the rules. Kita lihat saja, apakah dalam prakteknya nanti multilateralisme ini akan benar-benar diterapkan, atau malah mungkin Tiongkok seenaknya menggunakan AIIB untuk kepentingannya sendiri. What comes around goes around. Siapa tahu di masa depan Xi Jinping yang akan mengatakan, “我们搞砸了.”[21]

 

DAFTAR REFERENSI

Bergsten, C. Fred. 2008. A Partnership of Equals: How Washington Should Respond to China’s Economic Challenge http://www.iie.com/publications/papers/paper.cfm?ResearchID=955 diakses pada 15 Oktober 2015.

Bremmer, Ian. 2015. China Challenges America’s Financial Leadership, Time. http://time.com/3759639/china-america-financial-leadership/ diakses pada 15 Oktober 2015.

Gaouette, Nicole dan Andrew Mayeda. 2015. US Failure to stop China Bank Unmasks World Finance Fight, Bloomberg. http://www.bloomberg.com/news/articles/2015-04-07/u-s-failure-to-stop-china-bank-unmasks-fight-over-world-finance diakses pada 15 Oktober 2015

Gyohten, Toyoo. 2003. The United States in the Global Financial Arena dalam David M. Malone and Yuen Foong Khong (eds.), Unilateralism and U.S. Foreign Policy. International Perspective, Boulder: Lynne Rienner Publishers. Hlm. 285-287

IMDb, Spiderman 2002 quotes, http://www.imdb.com/title/tt0145487/quotes diakses pada 15 Oktober 2015

Kai, Jin. 2015.  What the AIIB Means for the US-China Power Transition, The Diplomat. http://thediplomat.com/2015/03/what-the-aiib-means-for-the-us-china-power-transition/ diakses pada 15 Oktober

Shevardnadze,Sophie. 2015.  US panics over Asia’s new investment bank, embarrasses itself-financial strategist. RT.  https://www.rt.com/shows/sophieco/251097-financial-system-china-us/  diakses pada 15 Oktober 2015.

Sun, Yun. 2015. How the International Community Changed China’s AIIB, The Diplomat. http://thediplomat.com/2015/07/how-the-international-community-changed-chinas-asian-infrastructure-investment-bank/  diakses pada 15 Oktober 2015

Webster, Graham. 2015.  Five Overlooked Developments from Obama-Xi Visit, The Diplomat. http://thediplomat.com/2015/10/five-overlooked-developments-from-the-obama-xi-visit/ diakses pada 15 Oktober 2015

Xinhua, 2015. China ‘s Xi advocates new international economic, financial rules. http://asean.einnews.com/article/291446091/PLad1RcpDxgRDPeL diakses pada 15 Oktober 2015.

Zhu, Zhiqun. 2015.  China’s AIIB and OBOR: Ambitions and Challenges, The Diplomat. http://thediplomat.com/2015/10/chinas-aiib-and-obor-ambitions-and-challenges/ diakses pada 15 Oktober 2015

 

 

[1] Sophie Shevardnadze, US panics over Asia’s new investment bank, embarrasses itself-financial strategist. https://www.rt.com/shows/sophieco/251097-financial-system-china-us/  diakses pada 15 Oktober 2015.

[2] Toyoo Gyohten, The United States in the Global Financial Arena dalam David M. Malone and Yuen Foong Khong (eds.), Unilateralism and U.S. Foreign Policy. International Perspective, Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2003. Hlm. 285-287

[3] Gyohten. Hlm. 288-290

[4] Gyohten. Hlm. 290-294

[5] Gyohten. Hlm 294-296.

[6]C. Fred Bergsten, A Partnership of Equals: How Washington Should Respond to China’s Economic Challenge http://www.iie.com/publications/papers/paper.cfm?ResearchID=955 diakses pada 15 Oktober 2015.

[7]Jin Kai, What the AIIB Means for the US-China Power Transition, The Diplomat. http://thediplomat.com/2015/03/what-the-aiib-means-for-the-us-china-power-transition/ diakses pada 15 Oktober 2015.

[8]Ian Bremmer, China Challenges America’s Financial Leadership, Time http://time.com/3759639/china-america-financial-leadership/ diakses pada 15 Oktober 2015.

[9] Bremmer, 2015

[10] Bremmer, 2015

[11] Xinhua, China ‘s Xi advocates new international economic, financial rules. http://asean.einnews.com/article/291446091/PLad1RcpDxgRDPeL diakses pada 15 Oktober 2015.

[12]Kai, 2015.

[13] Shevardnadze, 2015.

[14]Zhiqun Zhu, China’s AIIB and OBOR: Ambitions and Challenges, The Diplomat. http://thediplomat.com/2015/10/chinas-aiib-and-obor-ambitions-and-challenges/ diakses pada 15 Oktober 2015

[15] Graham Webster, Five Overlooked Developments from Obama-Xi Visit, The Diplomat. http://thediplomat.com/2015/10/five-overlooked-developments-from-the-obama-xi-visit/ diakses pada 15 Oktober 2015

[16] Webster, 2015.

[17] Nicole Gaouette and Andrew Mayeda, US Failure to stop China Bank Unmasks World Finance Fight, Bloomberg. http://www.bloomberg.com/news/articles/2015-04-07/u-s-failure-to-stop-china-bank-unmasks-fight-over-world-finance diakses pada 15 Oktober 2015

[18] Yun Sun, How the International Community Changed China’s AIIB, The Diplomat. http://thediplomat.com/2015/07/how-the-international-community-changed-chinas-asian-infrastructure-investment-bank/  diakses pada 15 Oktober 2015

[19] Yun Sun, 2015.

[20] IMDb, Spiderman 2002 quotes, http://www.imdb.com/title/tt0145487/quotes diakses pada 15 Oktober 2015

[21] “We screwed it up” dalam Mandarin seperti diterjemahkan Google Translate

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun