Mohon tunggu...
Indonesian Student Association For International Studies ISAFIS
Indonesian Student Association For International Studies ISAFIS Mohon Tunggu... -

Indonesian Student Association for International Studies (ISAFIS) had been established since 14th February 1984. ISAFIS is a non-profit students organization, with the purpose to build the vision of mutual understanding among nations through youth cooperation. Along the way in its 30th year, ISAFIS has grown through deepening the coherence between its internal divisions' coordination, while widening efforts of its works for youth empowerment. The members are students from universities in Jabodetabek: University of Indonesia, Trisakti University, Paramadina University, Pelita Harapan University, Paramadina University, Bogor Institute of Agriculture, and many more.

Selanjutnya

Tutup

Politik

AIIB sebagai Respon terhadap Unilateralisme AS

9 Desember 2015   20:42 Diperbarui: 9 Desember 2015   20:54 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Australia dan Korea Selatan yang tadinya menolak pun mendaftar menjadi anggota. Bank Dunia dan IMF juga telah menawarkan akan bekerja sama dengan AIIB.[9] Peluncuran AIIB dilaksanakan bulan Juni lalu dengan penandatanganan kerangka persetujuan AIIB. AIIB diresmikan dengan 57 negara menjadi anggota, yang meliputi 16 dari 20 anggota G20. AS dan Jepang memang tetap menolak bergabung, Tetapi, tanpa kedua negara tersebut pun AIIB masih sangat menarik perhatian, terbukti dari laporan bahwa masih ada 20 negara menunggu juga untuk bergabung dengan AIIB.

Setidaknya ada dua poin yang bisa disimpulkan dari fenomena AIIB. Pertama adalah memudarnya hegemoni AS di sistem finansial internasional. Bahkan negara-negara yang beraliansi dengan AS cenderung dengan senang hati bergabung dengan AIIB. Mereka bukannya bermaksud mengisolasi Washington. Mereka hanya beradaptasi ke dunia dimana kekuatan ekonomi lebih terdistribusi.

Shared values masih dianggap penting, dan hubungan dengan Washington akan tetap dijaga. [10] Selain itu, jika AS yang memang mendominasi di IMF dan ADB merasa segan dan prideful untuk bergabung, para aliansi ini sudah terbiasa memainkan second fiddle  untuk AS, maka tidak masalah memainkan peran yang sama untuk Tiongkok di AIIB.

Kedua, bahwa AIIB merupakan jawaban dari unilateralisme AS, backlash yang dikatakan oleh Gyohten. Tiongkok merasa bahwa “unjust and improper arrangements in the global governance system”[11] yang ditunjukkan dengan rendahnya representasi negara berkembang harus segera direformasi. Tetapi, unilateralisme AS, yang tidak kunjung memberikan suara lebih banyak bagi Tiongkok di IMF dan ADB, menyebabkan Tiongkok tidak sabar dan memilih untuk membuat sendiri sarana yang lebih mampu menampung aspirasinya. Memang, AS menjanjikan reformasi di IMF, yang memungkinkan Tiongkok bisa mendapatkan 6 persen voting share, tetapi hingga saat ini reformasi untuk itu masih ditunda dan belum berjalan. [12]

Unilateralisme ini bisa jadi dikarenakan adanya masalah inertia— where nobody is willing to give up what they already have.[13] AS begitu terbiasa dengan dominasinya, dengan penggunaan standarnya sebagai standar global, dan menganggap the American way adalah yang terbaik bukan hanya untuk AS tapi juga seluruh dunia.

 Oposisi AS terhadap pembentukan AIIB semakin menunjukkan bagaimana AS merasa takut dengan memudarnya pengaruh AS. Ini menjadi lebih ironis karena selama bertahun-tahun AS telah melabeli Tiongkok sebagai free-rider dan mendorong Tiongkok untuk mengemban lebih banyak tanggung jawab.[14] Saat Tiongkok mencoba melakukan itu, AS justru mencurigai niat Tiongkok dan mengkhawatirkan pengaruh Tiongkok yang semakin besar.

Tetapi, AS kemudian menyadari bahwa perlawanannya yang terang-terangan terhadap AIIB merupakan suatu kesalahan, bahkan kegagalan yang memalukan.[15] Oleh karena itu, dalam kunjungan Xi Jinping ke AS awal bulan Oktober 2015, AS menyatakan bahwa AS menyambut peran Tiongkok yang lebih besar dan aktif di sistem finansial internasional. Selain itu AS juga akan secepatnya mengimplementasikan reformasi IMF, dan mendukung mata uang Tiongkok untuk dimasukkan ke Special Drawing Rights IMF.[16]

Jelas bahwa memang unilateralisme AS telah menjadi bumerang bagi AS. Padahal mungkin saja jika reformasi seperti yang Tiongkok minta dilakukan oleh AS, AS tidak usah menanggung malu dari melawan mati-matian proyek AIIB ini. Kalau saja AS lebih menerapkan prinsip multilateralisme, tidak sekadar mementingkan kepentingan nasionalnya mempertahankan dominasi, mungkin bahkan AIIB tidak akan terbentuk. Ini mungkin maksud pernyataan dari Madeline Albright.

Karena sekarang sudah nasi telah menjadi bubur, pertanyaan berikutnya adalah apakah AIIB pun pada akhirnya akan menjadi manifestasi unilateralisme Tiongkok? AIIB tidak dapat dipungkiri diawali oleh kepentingan Tiongkok, dan terbentuknya AIIB juga menyebabkan Tiongkok mendapatkan sarana baru menginvestasikan kelebihan dananya serta memberikan kesempatan bagi perusahaan Tiongkok untuk memenangkan tender konstruksi di Asia.[17]

Meski demikian, setidaknya secara prinsip AIIB sudah menerapkan prinsip multilateralisme. Ini sudah ditunjukkan dengan bagaimana AIIB yang terbentuk sekarang sudah sangat berbeda dengan apa yang dibayangkan Tiongkok pada awalnya. Ini terlihat dari tiga aspek.[18] Pertama, awalnya Tiongkok hanya mempertimbangkan keanggotaan yang eksklusif Asia. Tetapi, antusiasme negara Eropa untuk bergabung membuat Tiongkok mengadaptasi posisinya dan kemudian mengubah sistem saham modal dengan Asia memegang 75 persen dan non-Asia 25 persen.

Ini Tiongkok lakukan untuk meningkatkan dukungan internasional. Kedua, tadinya AIIB dimaksudkan untuk menjadi agensi bantuan Tiongkok. Sekarang AIIB menjadi multilateral development bank (MDB). Ketiga, Tiongkok memang menjadi aktor besar, tetapi tidak dominan di AIIB. Hal ini ditunjukkan dengan bagaimana MOU awal yang menyatakan bahwa Tiongkok akan mendapatkan saham 50 persen, tetapi kemudian seiring bertambahnya anggota Tiongkok mengurangi menjadi 30 persen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun