Upaya pelestarian lingkungan hidup telah menjadi suatu isu yang terangkat secara internasional akibat semakin parahnya degradasi dan kerusakan sumber daya alam yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Adanya suatu kesadaran akan pentingnya pengelolaan lingkungan secara lestari telah memicu pembentukan berbagai badan non-pemerintahan serta gerakan aktivis dalam bidang kelestarian lingkungan.
Salah satu bentuk kegiatan yang bergerak untuk melestarikan lingkungan merupakan ecolabelling yang cukup populis secara global. Upaya ecolabelling pada dasarnya bertujuan untuk memberikan informasi terkait kualitas ekologis suatu produk kepada konsumennya dalam bentuk sertifikasi ataupun label informasi.[1] Salah satu gerakan berbasis masyarakat atau non-pemerintahan di Indonesia yang menggunakan prinsip ecolabelling dalam kegiatannya merupakan Lembaga Ekolabel Indonesia.
Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) secara resmi didirikan pada Februari 1998. LEI merupakan sebuah organisasi berbasis konstituen yang berarti bahwa proses pelaksanaan kegiatan LEI akan senantiasa diawasi, diatur, dan berpegang pada mandat para anggota atau konstituen tersebut.[2] Sejak awal pembentukannya, LEI berperan sebagai sebuah lembaga yang ingin mendorong perubahan dan menggerakkan upaya untuk melestarian lingkungan.
Alat utama yang digunakan LEI dalam memenuhi tujuan kelestarian lingkungan tersebut adalah memberikan akreditasi atau pengembangan sistem dan standar sertifikasi ekolabel di Indonesia. Fokus utama dari lembaga tersebut merupakan pemberian sertifikasi terhadap sektor kehutanan. Sebagai sebuah gerakan masyarakat sipil (civil society), lembaga ini berupaya untuk membukakan ketertutupan pengelolaan SDA. Hal tersebut dikarenakan SDA merupakan sebuah domain publik yang harus mendapat pengakuan bersama sebelum dipergunakan melalui mekanisme yang sesuai dengan prinsip-prinsip kelestarian dan keberlanjutan.[3]
Dalam upaya untuk mengembangkan sistem kelestarian hutan, LEI telah memiliki mekanisme untuk memberikan sertifikasi hutan pada kategori hutan alam lestari, hutan taman lestasi, hutan berbasis taman lestari, serta hutan taman bukan kayu. Mekanisme ini didasarkan pada indikator kelestarian produksi ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Spesifiknya, terdapat empat mekanisme utama yang dibentuk oleh LEI untuk melakukan sertifikasi dan akreditasi secara sistematis, antara lain merupakan Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL), Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBML), Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari (PHTL), dan Sistem Lacak Balak. Sertifikasi tersebut pertama kali diimplementasikan kepada PT Diamond Raya Timber yang merupakan lokasi areal kerja penguasahaan hutan di Rokan Hilir, Riau. Hingga saat ini sudah banyak perusahaan dan area hutan yang telah diakreditasi oleh LEI melalui mekanisme turun lapangan tersebut.
Pada dasarnya, pelaksanaan akreditasi ini sangatlah sistematis dan terlihat sebagai upaya yang signifikan terhadap upaya pelestarian hutan. Sayangnya, masih terdapat isu yang menjadi hambatan dan permasalahan dalam upaya pengimplementasian tata kelola hutan lestari yaitu permasalahan penebangan hutan secara ilegal, tata kelola usaha produk industri kehutanan, kepastian jaminan legalitas kayu, serta upaya promosi kayu legal yang berasal dari sumber lestari.
Masalah tersebut kerap terjadi karena masih kuatnya korupsi di sektor kehutanan Indonesia. Aktor-aktor yang terlibat bervariasi dari pemerintahan lokal (seperti Bupati), anggota DPR hingga dosen pun dapat berperan dalam tindak kejahatan tersebut. Kejadian tersebut membuat legalitas izin pembukaan lahan hutan tidak akuntabel sehingga penjahat-penjahat lingkungan dapat mempergunakan izin tersebut tanpa memikirkan dampak atau kerusakan lingkungan yang diberikan oleh perusahaan bersangkutan.
Dalam hal ini, LEI tetap berusaha untuk mempromosikan tata cara pengelolaan hutan yang lestari dan mengagungkan sertifikasi terhadap upaya produksi kayu yang legal dan berkelanjutan. Akan tetapi, LEI tidak memiliki bargaining power yang cukup untuk dapat menghentikan permasalahan-permasalahan tersebut secara seksama karena peranannya sebagai lembaga non-pemerintah hanya sebatas meningkatkan kesadaran serta pelaksanaan negosiasi secara informal.
Melalui penjelasan singkat mengenai tata kelola dan hambatan yang dihadapi oleh LEI, penulis akan memberikan sebuah analisis kritis yang ditujukan terhadap proses akreditasi dan sertifikasi ekolabel yang diimplementasikan oleh LEI. Penulis melihat bahwa mekanisme yang dimiliki oleh LEI sudah mumpuni untuk memberikan suatu bentuk akreditasi ekologis terhadap suatu perusahaan mengenai produk yang dihasilkannya. Keputusan yang diambil oleh LEI pun sudah cukup kredibel karena melibatkan proses all in consultation yang melibatkan panel pakar-pakar serta pendapat penduduk pada pengambilan keputusannya. Selain itu, prestasi lembaga tersebut dalam mempengaruhi berbagai perusahaan untuk terlibat dalam upaya pelestarian yang baik, seperti Sukofindo, SJS, dan Mutu Agung Lestari, patut diapresiasi.
Akan tetapi, kritik utama yang dapat diberikan kepada lembaga ini lebih ditujukan terhadap upayanya untuk membangun kesadaran publik mengenai pentingnya tata kelola hutan yang lestari serta pembelian produk dengan ekolabel. Berdasarkan fungsi lembaga non-pemerintahan yang dipaparkan oleh Peter R. Baehr, Non-Governmental Organizations (NGO) memiliki peranan dalam mengawasi kegiatan pemerintahan serta untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu yang dianggap penting oleh kelompok NGO tersebut.[4] Dalam hal ini, LEI merupakan salah satu bentuk NGO yang bergerak dibidang lingkungan. LEI telah melaksanakan peranan pertamanya secara baik, yaitu pengawasan terhadap kinerja pemerintah hingga bahkan dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia sendiri.
Hal tersebut terlihat dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 168/Kpts-IV/2001 dimana produk yang telah mendapatkan Sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari (SPHL) oleh badan independen atau LEI diberi pengecualian terhadap HPH/IPHHK yang diberlakukan.[5] Terkait peranan kedua, LEI telah melaksanakan upaya pembangunan kesadaran publik terhadap pembelian produk yang memiliki ekolabel.
Sayangnya, upaya ini belum berhasil terinternalisasi dalam gaya hidup masyarakat Indonesia. Berbeda dengan masyarakat Barat yang sudah memiliki kesadaran untuk membeli produk yang dihasilkan melalui proses ramah lingkungan, masyarakat Indonesia belum memiliki kesadaran tersebut. Dengan demikian, upaya untuk memberikan akreditasi dan sertifikasi terhadap produk yang dihasilkan perlu diiringi dengan intensifikasi proses peningkatan kesadaran mesyarakat terhadap pembelian produk dengan ekolabel.
Demi meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap produk ber-ekolabel, seharusnya LEI juga mengadakan kerjasama dengan berbagai organisasi lain yang dapat memberikan publikasi yang luas terhadap isu ecolabelling di Indonesia. Hal tersebut dapat diupayakan melalui gerakan atau organisasi kemahasiswaan yang dapat membantu LEI untuk memberikan kampanye terkait pentingnya pembelian produk yang memiliki ekolabel.
Kampanye tersebut dapat berupa public service announcement ataupun proyek dan seminar kepada berbagai penjuru di Indonesia untuk menjelaskan peranan ekolabel dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Selain itu, karena isu lingkungan tidak hanya berkisar dalam ranah kehutanan, pengembangan upaya ecolabelling di sektor lain (seperti kelautan dan pertanian) seharusnya juga diupayakan dalam mandat Lembaga Ekolabel Indonesia ini.
Dapat disimpulkan bahwa mekanisme LEI mumpuni dalam menyediakan media bagi masyarakat untuk mengetahui produk perhutanan yang lestari. Peranan LEI dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah pun dapat dikatakan sebagai prestasi yang sangat baik. Akan tetapi, perlu terdapat fokus yang lebih luas terhadap sektor-sektor lingkungan hidup lainnya serta peningkatan usaha untuk mempromosikan kesadaran mengenai produk ekolabel.
Ditulis oleh: Safira Prabawidya Pusparani
DAFTAR REFERENSI
“Introduction to Ecolebelling.” Global Ecolabelling Network. GEN, Information Paper, 2004. Diakses 5 November 2015, http://www.globalecolabelling.net/docs/documents/intro_to_ecolabelling.pdf.
Baehr, Peter R. Non-Governmental Human Rights Organizations in International Relations (New York: Palgrave Macmillan, 2009.
Muhtaman, Dwi Rahmat. Sertifikasi di Simpang Jalan: Politik Perdagangan, Penyelamatan Sumberdaya Alam, dan Pemberantasan Kemiskinan. Bogor: Lembaga Ekolabel Indonesia, 2005.
[1] “Introduction to Ecolebelling,” Global Ecolabelling Network (GEN, Information Paper, 2004), diakses 5 November 2015, http://www.globalecolabelling.net/docs/documents/intro_to_ecolabelling.pdf
[2] Dwi Rahmat Muhtaman et al., Sertifikasi di Simpang Jalan: Politik Perdagangan, Penyelamatan Sumberdaya Alam, dan Pemberantasan Kemiskinan (Bogor: Lembaga Ekolabel Indonesia, 2005), 7
[3] Ibid., 19
[4] Peter R. Baehr, Non-Governmental Human Rights Organizations in International Relations (New York: Palgrave Macmillan, 2009), 25
[5] Muhtaman et al., Sertifikasi di Simpang Jalan, 18
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI