Melalui penjelasan singkat mengenai tata kelola dan hambatan yang dihadapi oleh LEI, penulis akan memberikan sebuah analisis kritis yang ditujukan terhadap proses akreditasi dan sertifikasi ekolabel yang diimplementasikan oleh LEI. Penulis melihat bahwa mekanisme yang dimiliki oleh LEI sudah mumpuni untuk memberikan suatu bentuk akreditasi ekologis terhadap suatu perusahaan mengenai produk yang dihasilkannya. Keputusan yang diambil oleh LEI pun sudah cukup kredibel karena melibatkan proses all in consultation yang melibatkan panel pakar-pakar serta pendapat penduduk pada pengambilan keputusannya. Selain itu, prestasi lembaga tersebut dalam mempengaruhi berbagai perusahaan untuk terlibat dalam upaya pelestarian yang baik, seperti Sukofindo, SJS, dan Mutu Agung Lestari, patut diapresiasi.
Akan tetapi, kritik utama yang dapat diberikan kepada lembaga ini lebih ditujukan terhadap upayanya untuk membangun kesadaran publik mengenai pentingnya tata kelola hutan yang lestari serta pembelian produk dengan ekolabel. Berdasarkan fungsi lembaga non-pemerintahan yang dipaparkan oleh Peter R. Baehr, Non-Governmental Organizations (NGO) memiliki peranan dalam mengawasi kegiatan pemerintahan serta untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu yang dianggap penting oleh kelompok NGO tersebut.[4] Dalam hal ini, LEI merupakan salah satu bentuk NGO yang bergerak dibidang lingkungan. LEI telah melaksanakan peranan pertamanya secara baik, yaitu pengawasan terhadap kinerja pemerintah hingga bahkan dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia sendiri.
Hal tersebut terlihat dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 168/Kpts-IV/2001 dimana produk yang telah mendapatkan Sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari (SPHL) oleh badan independen atau LEI diberi pengecualian terhadap HPH/IPHHK yang diberlakukan.[5] Terkait peranan kedua, LEI telah melaksanakan upaya pembangunan kesadaran publik terhadap pembelian produk yang memiliki ekolabel.
Sayangnya, upaya ini belum berhasil terinternalisasi dalam gaya hidup masyarakat Indonesia. Berbeda dengan masyarakat Barat yang sudah memiliki kesadaran untuk membeli produk yang dihasilkan melalui proses ramah lingkungan, masyarakat Indonesia belum memiliki kesadaran tersebut. Dengan demikian, upaya untuk memberikan akreditasi dan sertifikasi terhadap produk yang dihasilkan perlu diiringi dengan intensifikasi proses peningkatan kesadaran mesyarakat terhadap pembelian produk dengan ekolabel.
Demi meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap produk ber-ekolabel, seharusnya LEI juga mengadakan kerjasama dengan berbagai organisasi lain yang dapat memberikan publikasi yang luas terhadap isu ecolabelling di Indonesia. Hal tersebut dapat diupayakan melalui gerakan atau organisasi kemahasiswaan yang dapat membantu LEI untuk memberikan kampanye terkait pentingnya pembelian produk yang memiliki ekolabel.
Kampanye tersebut dapat berupa public service announcement ataupun proyek dan seminar kepada berbagai penjuru di Indonesia untuk menjelaskan peranan ekolabel dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Selain itu, karena isu lingkungan tidak hanya berkisar dalam ranah kehutanan, pengembangan upaya ecolabelling di sektor lain (seperti kelautan dan pertanian) seharusnya juga diupayakan dalam mandat Lembaga Ekolabel Indonesia ini.
Dapat disimpulkan bahwa mekanisme LEI mumpuni dalam menyediakan media bagi masyarakat untuk mengetahui produk perhutanan yang lestari. Peranan LEI dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah pun dapat dikatakan sebagai prestasi yang sangat baik. Akan tetapi, perlu terdapat fokus yang lebih luas terhadap sektor-sektor lingkungan hidup lainnya serta peningkatan usaha untuk mempromosikan kesadaran mengenai produk ekolabel.Â
Â
Ditulis oleh:Â Safira Prabawidya Pusparani
Â
DAFTAR REFERENSI