Mohon tunggu...
Alifis@corner
Alifis@corner Mohon Tunggu... Seniman - Seniman Serius :)

Sebagaimana adanya, Mengalir Seperti Air | Blog : alifis.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ujang, Manusia Merdeka

17 Agustus 2021   21:35 Diperbarui: 19 Agustus 2021   16:30 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selepas jum'atan pak Alba dan kelima sahabatnya duduk di serambi masjid yang  sudah sepi. Sepi sebab dari yang sedikit yang hadir sudah bergegas pulang. Sepi karena sebagian besar jamaah pilih ibadah di rumah dengan salah satu dari dua alasan, tempat ibadah tutup selama PPKM atau  jaga diri menghindari kerumunan.

Masjid ini sebenarnya tidak pernah tutup selama pandemi. Tidak tutup secara harfiah, karena selalu ada aktivitas ibadah. Dan juga tidak pernah ada kerumunan. Shaf saja dijaga berjarak. Gerbang memang tertutup atau setengah tertutup, tapi jujur tidak pernah terkunci. Siapa manusia yang lancang mengunci rumah Allah, sementara Allah menerima kapanpun sujud simpuh dan segala keluh dari hambaNya.

"Gerbang masjid tampak tertutup bagi yang enggan, tapi terlihat terbuka bagi yang meniatkan diri dan merendahkan hati"

"Kami hadir karena kami manusia merdeka. Tidak mutlak terbatasi oleh aturan buatan manusia", begitu alasan pak Alba dan para sahabat. Mereka terpanggil oleh adzan, yang menggetarkan hati. Urdu, urusan dunia masih bisa ditunda, dan tak kan hilang rejeki karenanya. Rejeki tidak selalu harta, jabatan, kekayaan, kesehatan. Urusan rejeki bagi manusia adalah bersyukur dan bersabar.

PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) ala pemerintah, tujuannya baik walau tidak selalu tampak baik-baik saja. Ini urusan yang bersentuhan dengan sesama. "Dimaknai positif saja, dalam rangka hablum minannas", kata pak Alba dan para sahabatnya. Konsisten mentaati  protokol kesehatan secara ketat dan hati-hati. Jaga jarak, pakai masker dan cuci tangan.

 Tidak ada yang salah dengan itu. Menjadi tidak bijak bilamana ketidaksepakatan shalat berjarak, berimbas diri semakin berjarak dengan masjid dan jamaah. Bersabar artinya, keadaan apapun, sisir makna positifnya dan ikhtiarkan. Bukan tinggalkan.

Tapi pak Alba dan para sahabatnya sebenarnya  mengikuti prinsip PPKM yang lebih utama, "Perbanyak Pergi Ke Masjid". Ini lebih menyentuh nurani dan jiwa tersantuni. Pandemi yang tak pasti, lebih baik cari pegangan membahagiakan, yang menenangkan hati. Pak Alba bilang," Ini butuh kedewasaan dalam memaknai hablum minallah dengan perbanyak sujud, dialog dan diskusi dengan Sang Pencipta".

Intinya, pak Alba dan para sahabat terlihat bahagia, masih sempat mengobrol bebas dikala banyak orang paranoid dan takut. Bukan bandel ya ! Ini karena taat dengan kedua pemaknaan PPKM diatas. Mereka merasa menjadi manusia merdeka secara logika dan jiwa. Pembebasan yang melegakan. Pembebasan yang memerdekakan akal dan jiwa.

Di tengah obrolan syukur mereka tentang manusia merdeka, secara tak sengaja di tengah obrolan dilintaskan dan diingatkan dengan satu sosok unik, yang membuat mereka merenung, menunda bahagia dan merasa sosok ini seketika mendangkalkan kedalaman makna kemerdekaan dalam persepsi logika. Sosok itu bernama pak Ujang.

Pak Alba tidak mengenal secara pribadi pak Ujang, yang aslinya dari Sunda. Tapi katanya selalu bertemu sosoknya di setiap hari Jum'at sebelum pandemi. Bahkan hampir semua orang di kalangan muslim di masjid ini, mengenalnya. 

Dengan mudah orang orang menjumpainya seusai sholat jum'at. Begitu jamaah buyar keluar masjid untuk kembali beraktivitas beliau sudah berdiri di ujung gerbang atau di pinggir jalan dengan wajah teduhnya. Dengan senyuman khasnya.

Anehnya, pak Alba juga mendengar dari cerita obrolan, hampir di semua masjid-masjid di Kota Kupang, jamaah disitu juga mengenal pak Ujang. Pak Abo pernah bertemu pak Ujang di salah satu masjid di Alor tahun 2015-an dan jamaah di situ juga mengenal baik. 

Pak Aba mengenalnya di tahun 1984, pak Abi di tahun 1990 dan pak Abe di tahun 1991. Pak Alba sendiri mengetahuinya tahun 2004, sejak datang ke kota Kupang sebagai pendatang. 

Bukan sosok pejabat, pengusaha, tokoh masyarakat ataupun ulama. Bukan orang kaya berpenampilan perlente, juga bukan ustadz yang berdakwah di khalayak jamaah. Justru beliau adalah jamaah seperti orang pada umumnya. 

Berperawakan agak pendek, wajahnya selalu dihiasi senyuman dengan tas kecil selalu lekat di pinggang atau punggungnya. Bercelana rapi, baju sering dimasukkan dengan kopiah yang tak pernah lepas.


Kata pak Abi yang dekat dan berasal dari tanah asal yang sama, tas kecil pak ujang itu hanya berisi bulpen, Al Qur'an kecil dan kertas kecil catatan-catatan tangan.

Selepas jum'at itu, infonya beliau ada di Sumba. Pak Abe menunjukkan fotonya. Dan bisa dipastikan masjid masjid disana akan dihampirinya. Dihampiri senyuman dan wajah teduhnya. Mereka agak terhenyak tapi tidak terlalu heran, ketika mendengar pak Ujang sudah sampai sana.

Jadi dimata mereka, sosok pak Ujang jadi role model, orang yang dekat dengan masjid dari dulu kala sampai saat ini dan dikenal oleh banyak orang. Kekuatan dirinya terletak pada silaturahmi. Guyup dengan semua orang. Tidak menampakkan diri sebagai orang penting tetapi kehadirannya menyejukkan dan menggembirakan.

Tidak berlebihan pak Alba dan para sahabatnya akhirnya sadar bahwa pak Ujang menjadi manusia yang lebih merdeka dari mereka semua. Ketika mereka hanya mampu mengobrol di masjid dekat rumah, pak Ujang sudah melanglang buana di masjid tanah Sumba. Silaturahmi dengan jamaah disana. 

Kalau merdeka dimaknai kebebasan, pak Ujang memiliki semuanya. Memiliki kebebasan finansial karena bisa kemanapun tak perlu diperbudak kerja dan harta, bebas berada dimanapun kapanpun karena semua manusia di dunia adalah keluarga, bebas memilih rumah, mushola, masjid, tanah manapun untuk didatangi karena baginya selama di bawah langit kebahagiaan sejati adalah silaturahmi dan rumah Allah adalah tempat persinggahan utama di kehidupan dunia.

Pak Alba dan para sahabatnya  pun iri, karena ketika membayangkan saatnya nanti tiba, setelah kematian dan ditimbang amal perbuatan, beliau mungkin melenggang tanpa hambatan. Menyapa kita semua yang bersusah dan mandi keringat, masih dengan senyum teduhnya. 

Pak Ujang berlenggang tanpa banyak dihisab sebagaimana yang lain yang selama di dunia berkonflik dengan sesama, menelantarkan didikan keluarga, masih berat terikat harta, banyak bicara tanpa makna, sering memutus silaturahmi, mudah menyalahkan pihak lain untuk mengedepankan kepentingan diri. Astaghfirullah...

Ternyata merdeka yang pak Alba dan para sahabat bayangkan, begitu absurd dan dangkal. Hanyalah ego dan kesombongan yang terekspresi dari logika, akal, emosi diri sendiri yang tidak membumi apalagi berbau akhirat.

Dan di sudut hati kecil pak Alba memaklumi ketika sebagian besar umat memilih sholat dirumah, mentaati aturan pemerintah itu juga pilihan dan pilihan adalah kemerdekaan. Lebih dalam, di ranah yang tidak terjangkau logika akal, bisa jadi yang dirumah sholat lebih khusyuk dan kidmat. Kita tidak tahu.  Itu sudah urusan kemesraan yang istimewa Allah dengan makhlukNya. 

Paling tidak sebuah pilihan telah dijatuhkan dengan sepenuh hati. Bukan keterpaksaan atau antipati. Dan Allah tahu benak setiap makhluknya. 

Akhirnya, biarlah manusia bebas merdeka menilai dengan persepsi akal logikanya, apapun dihadapannya. Jangan menuntut semua faham dan berfikiran yang sama. Yang penting, semua memiliki kesadaran bahwa manusia itu tidak lebih mulia dari lainnya saat dirinya merasa lebih baik dan lebih tinggi derajatnya. 

Pak Alba bilang, "Tetaplah jadi diri yang sadar penuh hadir utuh". Nah itu yang sulit, karena manusia lekat dengan perubahan. 

alifis@corner
170821

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun