Kami yang lain ikut menyeruput wedang kami, begitu mendengar suara nada seruputan yang menggoda selera.Â
"Ada Ji Lib, beberapa kesepakatan yng akan bagus jika ditindaklanjuti bersama. Hanya, pergolakan pemikiran di komunitas kecil masing-masing sepertinya menenggelamkan semangat untuk menjadi satu, Â rasa atau niat baik yang mengemuka diarahkan untuk jalan sendiri-sendiri".
"Sepertinya lelah berkonflik yang sia-sia, perbedaan makin dijadikan argumen bahwa menyatu bukan menjadi jalan terbaik", lanjut Kaji Sukri.
"Iya, seperti pasangan yang bercerai", lirih Oesse berguman. Tapi karena sesaat hening, semua mendengar.
Spontan Kaji Liba, nyolot,"Hee, Oesse ente masih muda e, belum juga menikah. Tahu apa ente dengan pernikahan. Tahu saja kagak, sok faham perceraian !"
Oesse menunduk disemprot Kaji Liba, tetapi dalam tunduknya sambil ngelirik ke arah Matta, dan sesaat ke arah saya. Cari dukungan, cari penguatan.
No ! Kali ini saya tidak mungkin membela. Saya pun awam dengan tema pernikahan, perselisihan, apalagi perceraian.Â
"Heh, anak-anak muda jaman ini nih, jadi mudah komentar, menghakimi orang lain, tidak hormat orangtua, bahkan saling mencaci di medsos", omel tambahan Kaji Liba.
Kaji Sukri mesam mesem saja, mendengar kami yang muda diomeli kaji Liba. Lalu beliau berkata,
"Ayok, minum dulu wedang jahenya. Hidup itu dinamis. Beda pendapat biasa. Yang tidak boleh, menghakimi pendapat orang lain. Kebenaran dunia itu relatif. Kebenaran Allah itu yang haqiqi".
Perkataan kaji Sukri menenangkan. Kami semua menyeruput wedang jahe dengan nada harmonis. Bersahut-sahutan seperti hentakan perkusi.