Lima gelas jahe hangat itu tampak berasap. Terbawa naik udara, meliuk lalu lenyap di keremangan. Udara malam kampung Ngalimin sejak Juni terasa makin dingin.Â
Kaji Liba dan Kaji Fui yang sudah sepuh tampak
duduk bersebelahan di lantai pendopo. Beliau berdua tetua di Kampung Ngalimin ini. Di lingkar sila duduk, turut menemani 2 lelaki muda, Matta dan Oesse. Orang kelima, saya sendiri, perkenalkan namaku Sudrun, yang diam-diam menuliskan cerita ini.
Dalam remang, Kaji Liba terlihat geleng-geleng kepala. Ada hal janggal dan mengganjal di sudut otaknya. Gara-garanya tadi selepas jadi imam sholat gerhana disodori undangan pertemuan warga dusun Guyup yang berniat mendirikan gardu jaga.Â
Seingatnya, kemarin dulu itu, sempat  didengarnya dari Naim, bahwa wakil warga Guyup ga hadir di rembug kampung dalam rangka pembangunan gardu Rindu bersama-sama wakil dusun Rukun. Rembug itu dihadiri juga saat itu Kaji Sukri, yang saat ini ada disamping, sedang menyeruput wedang jahe.
 "Bijimana bisa begitu, Ji Suk?"
Saya senyum sendiri mendengar nama panggilan ata orangtua. Ji Suk, kayak nama Korea, padahal yang dimaksud Kaji Sukri. Hmm, memang drakor atau popkor dahsyat meracuni pola pikir.
"Ndak tahu Ji, Repot !!"
"Repot gimana maksud ente ?"
"Anu. Ini begini loh. Ehmm... mesti crito dari awalkah, Ji ?", gerutu kaji Sukri meminta persetujuan. Semua orang sepertinya jadi linglung, jika diminta bercerita sejarah pergarduan di kampung Ngalimin.
"Gini Ji. Intinya, gardu itu kan penting ya. Banyak manfaatnya, utamanya menjaga persatuan dan ketenangan warga kampung Ngalimin. Yang mestinya disyukuri, Abah Kaji Muklis bahkan sudah menawarkan ke dusun Guyup dan Rukun, buat satu gardu permanen yg bagus, dikasih beliau itu tanah di pojok perempatan kampung. Tanah e gratis, tis ! Tinggal pakai. tinggal diserahkan. Sangat cukup untuk buat gardu dan fasilitas pelengkapnya. Bahkan kalau mau lebih luas, untuk futsal, kuliner dan pengembangan kreatifitas warga kampung Ngalimin keseluruhan, boleh dibeli tanah sebelahnya. Rela Abah Kaji Muklis dicicil lunak. Untuk kemajuan dan ketenangan warga kampung Ngalimin. Tapi, beberapa warga dusun Guyup dan dusun Rukun kok malah gegeran. Gak cocokkan sama nama keduanya?"
Kaji Liba, Matta dan Oesse diam. Asyik menyimak menunggu mungkin ada kelanjutan cerita serius Kaji Sukri. Aku juga terdiam, tapi jemariku sambil menekan touchscreen smartphone. Menulis cerita ini. Intuisi jurnalistikku bergetar-getar.
"Hanya entah apa sebabnya, kemudian beberapa warga dusun Guyup ingin bangun sendiri gardu, tidak mau lagi membangun bersama sebuah gardu saja, yaitu gardu Rindu, yang memang sejak lama dirindukan. Padahal  awalnya tak ada apa-apa. Masih kerja bakti bersama, mencabuti ilalang sambil senda gurau, layaknya sesama manusia biasa"
"Lokasi gardu Rindu itu strategis loh, Ji Lib. Dekat perempatan jalan kampung, dekat terminal wisata paralayang. Jadi sebenarnya sudah layak untuk konkow warga kedua dusun. Bahkan dusun lainnya", seru Kaji Sukri dengan bersemangat.
"Tapi itu jadi buntu, terus mereka berseteru, terus komunikasi dan silaturahmi pun tidak mau. Begitu?", mashgul Kaji Liba.
"Begitulah, perseteruan yang seru tapi sia-sia. Kuras energi dan emosi. Oiya, yang amat disayangkan, ini sebenarnya hanya melibatkan segelintir orang saja, Ji Lib. Jangan dipersepsi seluruh warga dusun. Warga dusun ga peduli, bahkan malah geregetan dan geleng muka tanda lucu tak berkesudahan. Aduh gimana ya, cerita tanggapan warga. Intinya mereka berselisih paradigma representasi tapi tidak membumi"
"Ji Suk, bahasa ente yang terakhir itu aneh. Memangnya mereka bukan warga?", sahut Kaji Liba.
"Jelas warga Ji Lib. Bego amat mempertanyakan itu !"
"Ji Suk, ente membego-begokan ane? Tak ketok jidat ente !", seru Kaji Liba sambil ulurkan tangan ke arah Kaji Sukri. Kaji Sukri tertawa sambil menggerakkan tangan bergaya silat,
"Ciattt !!! hahaha".
Oesse, Matta dan sayapun tertawa ngakak mendengar gaya celoteh kedua Kaji ini. Inilah gaya orang tua yang menyegarkan kami kalangan muda. Tidak ada ketersinggungan. Yang ada kelapangan dada. Saling memahami bahwa semua bersaudara.
"Terus, katanya beberapa warga sudah berusaha menyatukan arah dengan mendudukkan mereka, ga ada hasil ?", lanjut Kaji Lib sambil menyeruput wedang jahenya lagi.
Kami yang lain ikut menyeruput wedang kami, begitu mendengar suara nada seruputan yang menggoda selera.Â
"Ada Ji Lib, beberapa kesepakatan yng akan bagus jika ditindaklanjuti bersama. Hanya, pergolakan pemikiran di komunitas kecil masing-masing sepertinya menenggelamkan semangat untuk menjadi satu, Â rasa atau niat baik yang mengemuka diarahkan untuk jalan sendiri-sendiri".
"Sepertinya lelah berkonflik yang sia-sia, perbedaan makin dijadikan argumen bahwa menyatu bukan menjadi jalan terbaik", lanjut Kaji Sukri.
"Iya, seperti pasangan yang bercerai", lirih Oesse berguman. Tapi karena sesaat hening, semua mendengar.
Spontan Kaji Liba, nyolot,"Hee, Oesse ente masih muda e, belum juga menikah. Tahu apa ente dengan pernikahan. Tahu saja kagak, sok faham perceraian !"
Oesse menunduk disemprot Kaji Liba, tetapi dalam tunduknya sambil ngelirik ke arah Matta, dan sesaat ke arah saya. Cari dukungan, cari penguatan.
No ! Kali ini saya tidak mungkin membela. Saya pun awam dengan tema pernikahan, perselisihan, apalagi perceraian.Â
"Heh, anak-anak muda jaman ini nih, jadi mudah komentar, menghakimi orang lain, tidak hormat orangtua, bahkan saling mencaci di medsos", omel tambahan Kaji Liba.
Kaji Sukri mesam mesem saja, mendengar kami yang muda diomeli kaji Liba. Lalu beliau berkata,
"Ayok, minum dulu wedang jahenya. Hidup itu dinamis. Beda pendapat biasa. Yang tidak boleh, menghakimi pendapat orang lain. Kebenaran dunia itu relatif. Kebenaran Allah itu yang haqiqi".
Perkataan kaji Sukri menenangkan. Kami semua menyeruput wedang jahe dengan nada harmonis. Bersahut-sahutan seperti hentakan perkusi.
alifis@corner
Penfui, 200621
18:40 Sebelum Isya'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H