1. Melemahnya Sosialisasi dalam Keluarga
Orang tua merupakan agen utama dalam menjembatani anak terhadap etnis, budaya, serta bahasa daerahnya. Namun kebanyakan orang tua saat ini tidak lagi menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa primer ketika berkomunikasi di rumah.Â
Para orang tua cenderung menggunakan bahasa Indonesia saat berbincang bersama anak-anak mereka. Padahal peran mereka sangat vital dalam mentransmisikan nilai-nilai budaya daerah, khususnya mensosialisasikan bahasa daerah sebagai alat komunikasi sehari-hari.Â
Kurangnya sosialisasi orang tua mengakibatkan anak tidak lagi menjadikan bahasa daerah sebagai sense of belonging. Bahkan sebagian anak bangsa tak mengenal sama sekali bahasa daerahnya.
2. Disorientasi Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi lebih memprioritaskan bahasa Indonesia dibandingkan bahasa daerah. Bahkan bahasa-bahasa asing seperti bahasa Inggris, Jerman, dan Jepang dinilai lebih berharga ketimbang bahasa daerah.Â
Memang di beberapa sekolah di tingkat kabupaten masih menyertakan bahasa daerah dalam kurikulumnya, namun itu tak lebih dari sekedar muatan lokal (mulok) saja yang diajarkan tak lebih dari dua jam mata pelajaran dalam seminggu.Ketimpangan ini didorong oleh hasrat untuk dapat berkontestasi di era modern.Â
Orientasi pendidikan yang berusaha menjunjung bahasa nasional dan internasional telah mengkebiri urgensi bahasa daerah menjadi bahasa marjinal.
3. Kurangnya Kesadaran Generasi Muda
Generasi muda lebih suka melestarikan bahasa gaul dan bahasa asing ketimbang bahasa daerahnya sendiri. Budaya dan nilai-nilai yang berlaku di anak muda saat ini telah mengenyampingkan bahasa daerah.Â
Mereka ter-"hipnotis" akan kemewahan semata dari bahasa gaul yang berkembang dalam keseharian. Tak lagi ada kesadaran bahwa bahasa daerah adalah warisan budaya luhur yang harus dilestarikan. Mereka tal lagi sadar bahwa mereka telah "membunuh" khazanah budayanya sendiri.