Perbedaan yang ditemukan dari pasangan cenderung akan dijadikan pembanding antara keduanya. Perbandingan itu tidak selalu bersifat postif, tetapi terkadang juga negatif. Tantangannya adalah bagaimana perbedaan agama yang ada menghasilkan sebuah pembanding yang postitif antara kedua individu.
Adaptasi terus dilakukan dalam akomodasi komunikasi yang terjadi. Bentuk adaptasi tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu konvergensi dan divergensi. Konvergensi ini dapat dilihat ketika pasangan berusaha ikut terlibat dalam pembicaraan yang dilakukan. Dasar yang digunakan adalah persepsi terhadap pasangan, tetapi tetap selektif dan tidak secara mentah ikut menyetujui berbagai pandangan pasangannya.Â
Sedangkan dalam divergensi, individu tidak menunjukkan perilaku yang memperlihatkan adanya kesamaan antara satu dengan yang lain. Meskipun demikian, kondisi ini bukan berarti tidak memberikan tanggapan terhadap lawan bicara, tetapu berusaha untuk berdisosiasi terhadap pasangannya tersebut.
Di era globalisasi ini, peluang adanya cinta beda agama semakin menjadi-jadi. Ketika semua batasan bisa ditembus dengan adanya internet, maka semakin besar pula kesempatan untuk menjalin relasi dengan orang lain yang berbeda dari berbagai segi budaya, salah satunya agama.Â
Ketika dikaitkan dengan zaman sekarang ini, cinta beda agama bisa jadi sesuatu yang lebih kompeks. Ada yang semakin terbuka, tetapi ada juga yang justru semakin tertutup dengan hal tersebut. Meskipun demikian, sulit rasanya untuk menghindari berbagai kemungkinan akan terjadinya cinta beda agama.
Dilihat dari perspektif negara Indonesia, sampai saat ini, tidak diperbolehkan adanya pernikahan yang berlandaskan beda agama. Meskipun terdapat wilayah terntu yang memfasilitasi tentang itu, tetapi secara hukum negara tidak sah, terkecuali dalam akta nikah terdapat kesamaan agama.Â
Beberapa pasangan di Indonesia ada yang melakukan pernikahan dengan dua ritual agama. Akan tetapi, tidak semuanya begitu. Jalan alternatif yang dipilih adalah dengan berpindah agama secara tertulis saja, meskipun secara keimanan tetap menjadi hak masing-masing sebagai upaya agar pernikahannya diakui sah secara hukum negara.
Apabila dilihat dari pespektif keimanan, sebenarnya tidak ada yang dapat menghakimi keimanan seseorang, meskipun dirinya terlibat dalam cinta beda agama yang dilarang oleh keyakinan yang dianutnya. Kembali lagi, cinta adalah sebuah fitrah yang tidak bisa dihindari datangnya.Â
Meskipun manusia tidak dapat mengontrol rasanya, tetapi kita bisa mengontrol sikap kita terhadap rasa tersebut. Ketika dalam diri seseorang sudah ada keyakinan tentang hal ini sesuai dengan agamanya, maka sudah ada pertimbangan tentang risiko-risiko yang akan dijalani.Â
Adanya perpindahan dari satu agama ke agama yang lain menjadi sebuah hak pribadi individu karena memang dalam aturan negara terdapat kebebasan beragama, bahkan dalam ajaran agama manapun juga tidak ada pemaksaan untuk masuk dan beriman didalamnya.
Pada intinya, di era serba mudah sekarang ini, cinta beda agama bukan menjadi hal yang rumit apabila ada toleransi dan keterbukaan antara kedua belah pihak. Risiko kedepannya harus menjadi kesadaran sedari awal sehingga meminimalisir penyesalan di kemudian hari.Â