Kini, di era social media, bukan tidak mungkin bahwa kelas menengah bisa melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Tirto. Adanya platform web 2.0 dan perangkat social media, maka hal ini bisa menjadi senjata ampuh untuk menggalang kekuatan massa demi Ibu Pertiwi. Di tengah kepungan globalisasi, struktur ekonomi yang tidak beranjak dari struktur ekonomi kolonial dahulu dan tantangan MEA, maka hal ini bisa menjadi alat perjuangan kelas menengah. Sayangnya, di tengah kondisi kemelut bangsa yang keadaan darurat, justru tidak muncul sosok “Tjokro” baru.
Hadirnya film Tjokro, ini menandakan bahwa kita merindukan sosok yang bisa menggugah kesadaran bangsanya laiknya yang dilakukan Tjokro. Mengapa? Meskipun populasi kelas menengah saat ini jauh lebih banyak dibandingkan era kolonial dahulu, namun harus kita akui bahwa kelas menengah di Tanah Air sekarang ini kalah jauh visioner dan revolusioner dibandingkan generasi Tjokro atau Soekarno. Secara perlahan, makna “kelas menengah” pun bergeser, dari yang awalnya didefinisikan secara ideal sebagai lokomotif perubahan, kini menjadi kelas yang nafsu konsumsinya jauh lebih tinggi daripada perjuangannya. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H