Kamis malam, saya menonton film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”. Sayangnya, film besutan Garin Nugroho ini kalah sepi dengan antusiasme penonton Fast Furious 7. Padahal cerita film yang dibintangi Reza Rahadian ini tidak kalah luar biasa dibanding film yang dibintangi Van Diesel itu. Sang sutradara Garin sangat piawai memvisualisasikan jejak pergerakan sang guru bangsa itu, meskipun beberapa adegan kurang begitu jelas. Di tengah alur film yang saya tonton, satu hal yang membuat saya terus berpikir ketika menonton film ini adalah bahwa Tjokroaminoto merupakan figur kelas menengah yang memiliki kepedulian demi nasib bangsanya kala itu.
Tjokro adalah figur pegawai dan kemudian menjadi entrepreneur yang sadar bahwa bahwa tanah Jawa dieksploitasi untuk kepentingan kolonial dan para pengusaha lokal (pedagang) “diamputasi” alias tidak diperkenankan beroperasional menguasai pasar menandingi pengusaha asing. Hal ini yang membuat Tjokro merasa untuk “hijrah” dari kondisi zona nyamannya sebagai priyayi atau kelas menengah untuk terjun ke medan pergerakan dan membela demi bangsanya (kaum pedang pribumi, buruh dan petani). Terinspirasi oleh kisah Muhammad yang mendapatkan wahyu lalu hijrah dari kota Mekah dan Madinah untuk membela kaum mustadhafin di sana, Tjokro pun memilih “hijrah” dari kondisi nyamannya sebagai kelas menengah yang prestige menjadi kelas menengah kritis. Tjokro pun memilih terjun ke medan pergerakan.
Lalu, secara tiba-tiba merefleksikan kondisi saat ini, bagaimana dengan kelas menengah dan entrepreneur di Tanah Air hari ini? Apabila dahulu 100 tahun lalu lebih, seorang Tjokro sudah sadar tentang ekspoloitasi dan kolonisasi ekonomi, lalu bagaimana kelas menengah saat ini? Adakah sosok “Tjokro” yang mampu menyadarkan masyarakatnya tentang eksploitasi ekonomi, menggerakan rakyat untuk bersatu, dan berjuang secara terorganisir untuk menggeser sistem ekonomi kolonial menjadi yang bermartabat?
Kelas Menengah Baru
Tjokro adalah sosok kelas menengah. Kala itu, Tjokro adalah priyayi Jawa yang mendapatkan privelese untuk bisa sekolah dan bekerja sebagai karyawan perusahaan Belanda. Ini sebuah kemewahan di kala itu, mengingat banyak saudara sebangsanya yang tidak bisa sekolah dan malah menjadi buruh murah di perkebunan kolonial. Tak hanya sosok Tjokro, Tjipto Mangoenkoesoemo, Tirto Adhi Soerjo, Agus Salim, Soekarno, Tan Malaka, Mohamad Hatta, Sjahrir, dll., adalah kelas menengah baru. Mengapa baru? Seperti dalam buku Robert van Niel The Emergence of Indonesia Modern Elite, mereka adalah figur-figur kelas menengah yang berasal dari keluarga ningrat, berpendidikan (berkesempatan sekolah Barat) dan mereka bekerja di sektor ekonomi modern.
Pada awalnya, lahirnya generasi Tjokro hingga Soekarno adalah niat dari proyek “pemberadaban” (dari kacamata kolonialis) untuk negeri jajahan dengan cara memberikan fasilitas pendidikan untuk kaum elitnya. Tujuannya adalah agar mereka menjadi tenaga terampil nan murah untuk perusahaan-perusahaan Belanda yang beroperasional di negeri ini atau bekerja di berbagai institusi pemerintah. Kala itu, Pemerintah Kolonial banyak mendirikan sekolah yang metode pembelajarannya banyak ditekankan pada aspek keterampilan, seperti sekolah kedokteran, sekolah teknik, ekonomi, pedagogi, dll.
Meskipun mereka adalah elit lama (mewarisi “darah biru” sebagai ningrat dari orang tuanya), namun karena mereka belajar di sekolah-sekolah Barat, mereka adalah kelas menengah yang wawasannya terbuka dan luas. Dengan belajar di sekolah Barat, mereka diarahkan untuk menjadi tenaga terampil lokal yang siap bekerja di perusahaan asing ataupun pemerintah kolonial. Namun, setelah mereka mendapatkan wawasan dari ilmu pengetahuan Barat, justru kelas menengah baru ini menjadi “boomerang” bagi pemerintah kolonial. Mereka aktif di berbagai organisasi politik, buruh, keagamaan, kedaerahan, dan sarikat dagang untuk memperjuangkan misinya: daulat atas negerinya sendiri, baik secara ekonomi, politik, budaya, dll.
Secara status sosial-ekonomi, sesungguhnya generasi Tjokro bisa memilih hidup enak dan nyaman untuk menikmati privelesenya sebagai kelas menengah dengan bekerja di sektor ekonomi modern atau menjadi ambtenaar. Tetapi, mereka memilih untuk berjuang bersama rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai bentuk kesadaran kelas menengah. Mereka adalah kelas menengah yang tercerahkan dan tergerak untuk mendidik rakyatnya menuju arah kedaulatan bangsa. Mereka berani ambil risiko untuk konfrontasi dengan keluarga sendiri (elit lama) dan melawan pemerintah kolonial yang sudah bercokol ratusan tahun di tanah kelahirannya. Mereka tak henti-hentinya menyadarkan dan mendorong rakyat untuk menjadi bangsa yang berdaulat dengan menghapus sistem ekonomi-politik kolonialisme di tanah kelahirannya sendiri.
Seperti Soekarno yang sekolah di Technische Hooge School (kini, ITB), Soekarno menjadi sosok yang tahu tentang perkembangan dunia Barat dan bisa membandingkan dengan nasib bangsa Indonesia. Ia tahu bahwa negara-negara Eropa menjadi sejahtera dan maju berkat ilmu pengetahuan, tetapi juga eksploitasi ekonomi di negara-negara berkembang. Untuk itu, demi nasib bangsanya, ia pun melakukan pergerakan politik membangun kesadaran bangsanya demi melawan sistem kolonialisme.
Kelas Menengah Kritis
Dalam bukunya Sang Pemula, Pramoedya Ananta Toer menuliskan tentang sosok Tirto Adhi Surjo sebagai peletak dasar nasionalisme di Indonesia. Barangkali saking kagumnya pada sosok Tirto, tidak hanya di karya Sang Pemula, kabarnya Pram pun menuliskan sosok Minke di tetralogi Pulau Burunya sebagai representasi Tirto. Mengapa sosok Tirto demikian penting? Apabila kita perhatikan, sosok Tirto adalah figur kelas menengah pada masanya yang memanfaatkan senjata ekonomi (wirausaha), politik (organisasi pergerakan), dan pers sebagai alat perjuangan. Tirto sadar bahwa negerinya dijajah dan dieksploitasi habis-habisan untuk dikeruk kekayaan alamnya dan menjadi pasar bagi produk-produknya. Untuk itu, ia mendirikan organisasi politik sebagai cara menghimpun kekuatan pribumi. Dan, pers sebagai corong perjuangan mereka untuk menyebarkan gagasan, mengedukasi masyarakat dan menggalang dukungan massa. Tak jauh berbeda dengan Tirto, Tjokro pun melakukan hal yang sama: agitasi ekonomi, politik, dan jurnalistik sebagai alat.
Kini, di era social media, bukan tidak mungkin bahwa kelas menengah bisa melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Tirto. Adanya platform web 2.0 dan perangkat social media, maka hal ini bisa menjadi senjata ampuh untuk menggalang kekuatan massa demi Ibu Pertiwi. Di tengah kepungan globalisasi, struktur ekonomi yang tidak beranjak dari struktur ekonomi kolonial dahulu dan tantangan MEA, maka hal ini bisa menjadi alat perjuangan kelas menengah. Sayangnya, di tengah kondisi kemelut bangsa yang keadaan darurat, justru tidak muncul sosok “Tjokro” baru.
Hadirnya film Tjokro, ini menandakan bahwa kita merindukan sosok yang bisa menggugah kesadaran bangsanya laiknya yang dilakukan Tjokro. Mengapa? Meskipun populasi kelas menengah saat ini jauh lebih banyak dibandingkan era kolonial dahulu, namun harus kita akui bahwa kelas menengah di Tanah Air sekarang ini kalah jauh visioner dan revolusioner dibandingkan generasi Tjokro atau Soekarno. Secara perlahan, makna “kelas menengah” pun bergeser, dari yang awalnya didefinisikan secara ideal sebagai lokomotif perubahan, kini menjadi kelas yang nafsu konsumsinya jauh lebih tinggi daripada perjuangannya. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H