Brebes Senin 8 Maret 2021  musim panen padi mulai merata di setiap petak sawah di wilayah Brebes termasuk di Dukuh  Temukerep kecamatan Larangan  yang kian hari kian meluas hingga berjarak puluhan kilo dari pemukiman warga bahkan sampai tulisan ini di terbitkan masih banyak warga yang sedang memanen padinya jalan yang becek bila di guyur hujan tidak membuat surut semangat para petani untuk memanen padi baik itu milik sendiri atau milik tetangga dengan sistem pembagian hasil panen dengan metode 4:1, 5:1-6:1  yaitu hitungan takaran 5/4 untuk pemilik padi atau sawah ,1 untuk si pemanen padi itu.
Bahkan di tempat lain seperti Desa Tegalgandu kecamatan Wanasari ada yang diberi uang rokok dan di kasih makan. hitungan metode ini sudah lama di lakukan turun-temurun dan hitungan 4:1-5:1 sudah lumrah di tahun ini walau dulu pernah dengan hitungan 7:1-8:1 yah,,,!Â
Itu terjadi sekitar 20-30 tahun yang lalu ketika saya masih kecil dan peminat Derep (Bahasa Jawa) atau potong padi  dan tidak terpaut jauh sebelum dari masa itu ada sebuah alat untuk memetik padi yang di sebut Ani-ani yang sering dipakai untuk memotong padi yang sangat banyak digunakan oleh Orang Tua jaman dulu dan belum ramai istilah merantau.
Musim padi tahun ini tidak terlihat tengkulak atau  Juragan padi yang berseliweran untuk membeli padi baik saat masih berdiri tertanam di sawah maupun saat dalam proses penjemuran untuk di keringkan, dulu biasanya pada saat musim panen seperti sekerang ini banyak bakul berseliweran untuk membeli padi saat masih di tanam sehingga para petani Lajo ( Bahasa Jawa )  atau petani yang tidak punya sawah ikut memanen padi milik Juragan tersebut dengan metode hitungan yang tidak jauh berbeda.
Tradisi yang Hilang
Dahulu Lajo sering dilakukan beramai-ramai 5-10 Orang berkerumun di suatu tempat yang teduh di bawah pohon sambil bersenda gurau bersama bahkan saling berbagi makanan 1 sama lainnya sambil bercerita tentang masa lalu atau bercerita tentang silsilah keturunan keluarganya sampai-sampai menemukan saudara baru bahwa masih ada garis keturunan keluarga baik secara vertikal maupun horizontal.
Ya itulah yang dilakukan di saat menanti pemilik sawah atau juragan untuk menyuruh memanen padi miliknya,Yang tidak kalah menyenangkan pada masa itu iyalah tradisi syukuran  atas panennya padi itu oleh si pemilik padi dengan cara membawa tumpeng atau nasi liwet lengkap dengan Sambal goreng ( Oreg tempe ), Urab, Tempe dan Tahu bahkan ayam bakar utuh untuk di makan ramai-ramai dengan para tukang Lajo dan pemiliknya, biasanya sebelum di makan ramai-ramai si pemilik padi itu membawa makanan itu berputar mengelilingi sawahnya yang akan di panen sambil berucap doa syukur atas hasil panennya kepada yang MAHA KUASA baru di makan ramai-ramai.
Mesin Kombet mulai masuk ke sawah
Pembangunan jalan untuk kereta uap pada masa penjajahan Belanda untuk mengeruk hasil bumi  Pertiwi Negara  Republik Indonesia Serikat ( NIS ) atau dalam basa Belanda "Verenjgde States Van Indonesie" atau dalam bahasa Inggris  "Republic Of The United Setates Of Indonesia" 1949  menyisakan bekas jalan kereta uap atau Listring yang kini jalur keretanya  sudah tidak ada dan hanya menyisakan  bekas jalanan besar ( Listring ) yang panjang dan kini di manfaatkan warga untuk prasarana  transportasi  penghubung untuk kebutuhan pertanian dengan menggunakan sepeda dan sepeda motor, selain dimanfaatkan bagi petani dengan sepeda juga dimanfaatkan untuk jalannya mesin pemanen Padi  Kombet sampai masuk  jauh di tengah-tengah sawah memanen padi milik warga
Dengan masuknya mesin ini di persawahan  tenaga manusia atau Tukang Lajo sudah tergantikan oleh mesin dan tradisi kearifan lokal  sudah mulai hilang tergerus oleh kemudahan dan kepraktisan dalam memanen Padi di sawah  sehingga suasana keakraban dan kehangatan senda gurau sudah berkurang tak seperti dahulu lagi  bahkan  tidak sedikit rasa kecewa itu muncul di antara  petani " mengapa menggunakan Kombet padahal masih punya tetangga yang butuh makan".
Ya itulah yang umumnya di ucapkan oleh orang yang tidak punya sawah atau tukang Lajo. Tetapi tidak sedikit juga yang tidak menggunakan Kombet tersebut walaupun letak sawahnya di pinggir Listring karena berprinsip biar proses panennya lama yang penting tetangga bisa makan atau dalam bahasa Jawa " Akeh setitik bareng mangan"  ( Banyak sedikit bareng-bareng makan) prinsip guyub rukun  sangat dijunjung tinggi demi kebersamaan dalam bermasyarakat dan bertetangga sehingga rasa welas asih dapat dipertahankan menjaga kesenjangan sosial di tengah-tengah masyarakat tanpa harus menolak atas modernisasi atau kemajuan teknologi
Nyonggol Padi
Setelah masa panen sudah dikerjakan tinggal giliran proses penjemuran atau pengeringan , pengeringan ini biasa di lakukan di rumah atau tidak jauh dari tempat tinggal si pemilik padi tersebut dan tidak sedikit pula yang menjemur padinya di sawah tersebut  setelah proses panen itu di lakukan baik dengan cara Derep atau dengan mesin Kombet , jika ingin membawa pulang padinya dan jumlahnya banyak biasanya pemilik padi menggunakan jasa tukang Nyonggol atau Songgol ( Bahasa Jawa ) atau dalam bahasa Indonesia nya Tukang angkut padi untuk dibawa ke rumah.
Nyonggol ini mengangkut gabah yang sudah kering atau basah dari tempat penjemuran atau setelah di Kombet ke rumah dengan tarif bervariasi yaitu dengan harga 10,000 sampai 18,000 tergantung jauh dekatnya dan besar kecilnya ukuran karung serta  jauh dekatnya saat pengangkatan gabah ke lokasi parkir motor , umumnya tukang Songgol membawa 2 karung sekali angkut tapi tidak sedikit ada yang membawa 3-5 karung per motor atau sekali jalan
Biaya produksi tidak Murah
Dari mulai tanam sampai berada di rumah memerlukan biyaya yang tidak sedikit mulai dari Pembelian Benih , Njedil ( mencabut bibit padi ), Meluku dan atau mencangkul (penggemburan tanah ) pemupukan, Matun ( mencabut rumput di tengah sawah ) Derep, Mengangkut ( Nyonggol ) dan kosumsi belum lagi bila terjadi sesuatu yang tidak di inginkan seperti serangan tikus ,hama wereng atau keong sawah yang pastinya perlu biyaya tambahan.
Menciptakan Generasi Baru
Selain menjaga rasa welas asih dalam bertetangga juga perlu menggunakan teknologi yang ada mengikuti perkembangan jaman demi percepatan pemenuhan kebutuhan pangan tetapi perlu menempatkan alat modern atau teknologi mesin itu pada kebutuhan proses mengolah sawah pada bagian yang tepat sehingga antara tenaga manusia dan tenaga mesin dapat berjalan ber iringan yang mana bertujuan untuk mencegah terjadinya kesenjangan sosial di tengah tengah-tengah  masyarakat  antara si kaya dan si miskin.
Selain bertujuan untuk kesenjangan sosial juga untuk menjaga kearifan lokal yang mulai pudar seiring berkembangnya jaman dan mengurangi minat anak muda untuk menjadi seorang petani mengingat tanah kita adalah wilayah agraris atau tepat Di jalur khatulistiwa yang mana tepat di bawah jalur orbit matahari yang sangat baik untuk bidang pertanian sepanjang tahun dibandingkan negara Asia lainnya seperti jepang atau Chaina yaaa,.,.,! diantaranya dengan cara atau metode yang pernah penulis sampaikan di dalam judul lain di Kompasiana.com ini sehingga dapat menekan biyaya produksi pertanian,
Semoga dengan kemajuan teknologi dalam dunia pertanian dan minimnya minat anak muda untuk menjadi seorang petani tidak dapat menjadi kontra masalah yang berlebihan sehingga kebutuhan pangan Nasional tercukupi agar tercipta kestabilan harga yang berkeadilan baik untuk petani maupun untuk pembeli dan pedagang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H