Mohon tunggu...
Irwansyah Saputra
Irwansyah Saputra Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

Belajar itu harus, pintar itu bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Kagetan dalam Diri Umat Islam

27 Juni 2020   07:57 Diperbarui: 27 Juni 2020   07:52 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini semakin banyak orang islam yang kagetan. secara umum, definisi kaget itu adalah karena ketidaktahuan seseorang terhadap sesuatu yang menimpa dirinya. Orang yang dikagetkan, dia tidak tahu kalo dia sebenarnya jadi korban orang lain. Hal ini lumrah dan manusiawi. 

Masalahnya adalah, orang kagetan tersebut punya pengikut, punya medsos, punya akses untuk mempublikasikan kekagetannya ke media sosial. Akhirnya, banyak yang ikutan jadi kagetan juga. Ini udah jadi sunnatullah akibat adanya media sosial. Waktu itu saya pernah buat status "orang bodoh tidak layak membuat prinsip sendiri", maksudnya untuk kasus semacam ini, bahaya kan kalo orang bodoh tersebut punya prinsip? Karena dia akan meyakinkan diri dan orang lain untuk mengikuti prinsipnya. Padahal tidak ada isinya.

Kagetan berasal dari ketidaktahuan tentang suatu peristiwa. Sebelumnya, ada kasus orang yang mendebat Kyai Ma'ruf yang mengusulkan solat tanpa wudhu atau tayamum untuk para petugas kesehatan yang menggunakan APD. 

Padahal, kasus solat tanpa wudhu atau tayamum dalam ranah fiqih boleh saja terjadi, orang yang mengalaminya disebut dengan faqidut thohurain (orang yang tidak bisa menggunakan dua alat suci, yaitu wudhu atau tayamum). Orang yang mendebat itu kaget, karena tidak belajar fiqih. Padahal pasal tentang faqidut tohurain dibahas di awal-awal kitab bersuci, di awal kitab fiqih untuk pemula.

Semakin banyak kaget, semakin banyaknya ketidaktahuan dalam dirinya. Kalau mau belajar fiqih dasar, kita juga pasti akan jadi kagetan dan egois. Karena fiqih dasar tidak mengajarkan perbedaan pendapat. Ya namanya juga fiqih dasar untuk tuntunan sehari-hari. Tapi saat membaca kitab penjelasnya, akan terjadi beberapa perbedaan pendapat terkait suatu peristiwa. 

Semakin tinggi kitabnya, perbedaan itu semakin banyak, hal ini lumrah karena fiqih itu memang tempatnya perbedaan pendapat. Misalnya, dalam fiqih syafii dijelaskan bahwa air musta'mal (air yang sudah digunakan untuk berwudhu) tidak boleh lagi digunakan untuk bersuci /wudhu lagi. Beda halnya dengan fiqih imam maliki, beliau mengatakan boleh menggunakan air musta'mal untuk bersuci kembali walaupun hukumnya makruh.

Selain kasus itu juga ada masalah seperti hukum rokok. Para ulama terutama kalangan NU, bukan karena banyak yang merokok lantas tidak jadi haram hukumnya, tapi keharaman rokok tidak berdasarkan larangan yang disebut dalam alquran dan hadits. Karenanya, MUI juga mengharamkan rokok tidak mutlak, hanya dalam beberapa kondisi seperti untuk anak kecil, wanita hamil, dan lain sebagainya. Walaupun begitu, tidak merokok adalah pilihan yang jauh lebih baik dari merokok.

Terakhir masalah dukungan beberapa perusahaan kapitalis pada komunitas eljibiti, langsung teriak boikot. Padahal pake hape china, pake hape apple, pake pesbuk, pake media sosial yang semuanya itu juga dukung komunitas tersebut. Sebelum boikot itu harusnya paham dulu dan berpikir lebih luas, minimal berpikir gimana nasib karyawan muslim yang kerja di sana. 

Lagi pula, dengan logika yang sama, kenapa tidak boikot juga perusahaan-perusahaan tersebut saat mereka merayakan natal misalnya? Bukankah merayakan natal ini artinya sedang merayakan kesyirikan pada Allah? Bukankah tidak ada dosa yang lebih tinggi dari syirik? Coba bagaimana tanggapannya terkait hal seperti ini?

Belajar yang banyak agar tidak kagetan. Tidak ada jalan pintas untuk itu. Kalau merasa sibuk dengan dunia, jadi orang awam saja dan ikuti orang yang ahli dalam bidang tersebut. Tidak usah berprinsip sendiri, tau diri saja lah.

Sibuk dengan dunia pun tidak salah. Karena ada seorang kuli tukang batu di zaman Nabi yang dipegang tangannya. Tangan tersebut sangat kasar, lalu diciumlah tangan  itu oleh beliau dan berkata "Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya". Bukan karena kuli tersebut berlama-lama duduk di majelis, tapi karena dia gunakan untuk memberi nafkah keluarganya dengan cara yang halal. Dari kisah ini juga kita belajar bahwa kedudukan seseorang bukan dilihat pada tinggi atau rendahnya pekerjaan.

Jadi, tau diri sajalah dimana kita berada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun