Masyarakat Jawa, secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa yang membedakan dengan bahasa suku lainnya dengan berbagai dialeknya secara turun temurun sampai pada generasi sekarang ini.
Masyarakat jawa sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi sifat-sifat leluhur dan kebudayaan yang dimiliki, baik itu orang Jawa yang berada di pulau Jawa, ataupun orang Jawa yang berada diluar pulau Jawa bahkan seseorang dapat mengetahui orang itu adalah orang jawa tanpa harus menanyakan orang dikarenakan logat bahasa yang menandainya.
Dalam perspektif sejarahnya banyak versi titik awal orang jawa awalnya, sehingga para penghuni pulau Jawa, dulunya adalah para pengembara yang handal di alam belantara. ada juga yang mengatakan suku jawa dari kerajaan kling memasuki tanah jawa atas kondisi tidak memungkinkan, sehingga kerajaan ini mengembara dan menemui pulau yakni jawa hingga babat alas jawa serta beradaptasi terus menerus mempelajari gejala alam sampai menegetahui rahasia dibalik kekuatan alam yang tersembunyi.
Dalam kehidupannya, orang Jawa selalu mengacu pada budaya leluhur yang turun temurun. Nilai leluhur dianggap memiliki kekuatan tertentu. Kepercayaan terhadap roh laluhur menyatu dengan kepercayaan terhadap kekuatan alam yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia, itu menjadi ciri utama bahkan memberi warna khusus dalam kehidupan religiositas serta adat istiadat masyarakat Jawa.
Dalam sebuah kitab Murwakala atau kejadian asal mula, hidup selaras dengan alam semesta merupakan keutamaan tersendiri bagi kehidupan orang Jawa tempo dulu. Salain itu orang Jawa tempo dulu juga sangat memperhatikan bagaimana berhubungan dengan Sang Khalik.
Keyakinan semacam itu terus terpelihara dalam tradisi dan budaya masyarakat Jawa, bahkan hingga saat ini masih dapat disaksikan berbagai ritual yang jelas merupakan peninggalan zaman tersebut serta penghayatan terhadap realitas mutlak (Tuhan).
orang jawa meyakini realitas adanya tuhan diwujudkan dalam berbagai ekspresi ritual. Sedangkan untuk memperkokohnya diperlukan manifestasi tingkah laku atau perbuatan yang bernuansa religi.
Meskipun secara lahiriyah mereka memuja kepada ruh, dan juga kekuatan lain, namun esensinya tetap terpusat kepada Tuhan. Jadi agama Jawa yang dilandasi sikap dan perilaku mistik, dalam kepercayaan mereka tetap tersentral kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan adalah sumber anugrah, sedangkan roh leluhur dan kekuatan sakti dianggap sebagai perantara (wasilah).
Tingginya religiositas masyarakat Jawa tersebut, membentuk keyakinan yang bersifat dinamis. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya berbagai mitos dan kepercayaan masyarakat yang berasal dari berbagai kisah dan tindakan yang merupakan hasil perpaduan kebudayaan zaman Jawa Asli (kapitayan atau oleh sejarawan belanda disebut dengan istilah animisme dan dinamisme), kebudayaan zaman Jawa saka (Hindu-Budha), dan kebudayaan zaman pra-Islam lainnya yang masih bertahan di zaman moderen ini.
Di sepanjang sejarahnya, segala jenis pengaruh kebudayaan yang berasal dari luar selalu berkembang sesuai dengan perkembangan sosial budaya dan akhirnya membentuk wujud baru tanpa meninggalkan ciri khas kejawaannya yang tradisional.
Jauh sebelum agama-agama baru yang berketuhanan seperti Hindu- Buddha, Kristen, mendatangi Jawa, masyarakat Jawa telah memiki kepercayaan asli yang bersifat metafisik atau kekuatan yang berada di luar dirinya yang termaniestasikan dalam kepercayaan Kapitayan atau yang lebih populer dengan animisme-dinamisme.
Setelah agama-agama baru datang, masyarakat Jawa terlibat dalam proses akulturasi bahkan sinkretisasi agama dan budaya baru dengan dimensi dan muatan agama dan budaya Jawa sendiri. Keyakinan campuran antara agama formal dengan keyakinan yang mengakar kuat di kalangan masyrakat Jawa dalam kepustakaan budaya disebut dengan kejawen.
Kata Kejawen berasal dari kata Jawa, sebagai kata benda yang memiliki arti dalam bahas Indonesia yaitu segala yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (kejawaan). Dalam situasi kehidupan keagamaan orang-orang Jawa yang demikian kompleks dan majemuk, sebagaimana yang telah digambarkan di atas, kedatangan Islam sebagai agama baru di Jawa membawa perubahan keagamaan yang kemudian berdampak bagi kehidupan sosial, budaya, dan politik.
Itulah mengapa tampilan agama Islam di Jawa mempunyai karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan agama-agama baru lain yang berada di Jawa. Islam mencoba masuk ke dalam struktur budaya Jawa dan mengadakan infiltrasi ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa Islam.
Hingga pada akhirnya, secara fisik masih mempertahankan budaya asli Jawa namun secara ruhaniah bernafaskan Islam, sehingga menghasilkan kombinasi yang terlihat pada ungkapan Islam gaya Jawa yang kemudian melahirkan suatu agama yang dikenal dengan Islam kejawen.
Sebagian masyarakat saat ini masih mengakui Islam kejawen yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa dan konsep kepercayaan dalam agama Hindu-Buddha yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam, dan agama dan agama Islam masuk dengan cara baik dan bijak.
Masayarakat jawa bercorak tersebut juga dipengaruhi para tokoh penyebar islam dijawa dengan memadukan budaya dalam perspektif ajaran islam yang dibawa oleh walisongo sebagai peran besar ajaran islam diwilayah Jawa sehingga sampai sekarang ini masih berbau budaya meskipun mayoritas baragama Islam.
Pertemuan antara agama asli Jawa dengan agama-agama baru menghasilkan pola pemahaman yang khas dalam agama Jawa. Agama Jawa bereaksi dengan cara menerima akulturasi budaya, dan selektif terhadap tradisi dan agama baru, sepanjang itu menguntungkan.
Yang dimaksud agama Jawa di sini adalah agama asli Jawa (kapitayan), kejawen, dan Islam kejawen. Agama Jawa ini cara hidupnya lebih dipengaruhi oleh tradisi Jawa pra-Islam, seperti animisme, dinamisme, Hindu, Buddha, dan Kristen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H