Pekan lalu, pada tanggal 5 -- 17 November 2017, telah dilaksanakan The 23rd Conference of Parties (COP-23) di Kota Bonn, Jerman. Pertemuan ini mendiskusikan rencana kemanusiaan dalam membendung perubahan iklim dunia. Sebanyak 195 negara dan persatuan regional ikut ambil bagian dalam pertemuan ini termasuk Indonesia. Pada pertemuan tahunan kali ini Indonesia mengusung tema "A Smarter World: Green Solutions for A Changing Climate".
COP-23 di Bonn merupakan rangkaian konferensi guna menindaklanjuti Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang dihasilkan pada COP-21 di Paris dua tahun silam. Poin utama dari Paris Agreement adalah membatasi kenaikan pemanasan global hingga maksimum 2 derajat Celcius hingga tahun 2100. Namun, meskipun dalam persetujuan tersebut tertulis target idealnya adalah maksimum 1.5 derajat Celcius.
Mengapa Hanya 2 Derajat Celcius
Dalam berbagai akademik literatur, publikasi ilmiah dan artikel yang membahas pembatasan pemanasan global, kerap kali merujuk pada ambang batas 2 derajat celcius. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa perubahan hanya 2 derajat celcius perlu dikhawatirkan sampai dunia rela mengalokasikan dana ratusan triliun dollar? Apa akibatnya jika sampai tahun 2100 dunia tidak dapat mencapai target tersebut?
William Nordhous, ekonom dari Universitas Yale, dalam papernya "Can We Control Carbon Dioxide?" menyatakan bahwa peningakatan suhu maksimal 2 derajat celcius merupakan batas aman agar iklim dunia tetap berjalan dengan aman (Sustainable). Selanjutnya dalam berbagai pertemuan para ahli iklim melakukan pembahasan dan simulasi dampak lingkungan dari ambang batas tersebut salah satunya di COP-21. Hingga akhirnya batas perubahan suhu 2 derajat dijadikan salah satu sendi utama dalam Paris Agrement.
Terkait ambang batas 2 derajat celcius, analoginya seperti kita sedang mengendarai mobil di jalan menurun perbukitan yang curam. Disana terdapat rambu-rambu kecepatan yang disarankan maksimal 30 Km/Jam. Jika kecepatan kita kurang dari itu maka itu lebih baik karena lebih aman. Disisi lain kecepatan lebih dari itu akan menyebabkan potensi tabrakan dengan pengendara lain atau mobil oleng masuk jurang akan semakin besar. Oleh karena itu, ambang batas 2 derajat itu adalah batas aman bagi semua iklim geografis yang berbeda di belahan bumi.
Dampak Pemanasan Global (Global Warming)
Bumi merupakan kesatuan geografis yang terdiri atas bermacam-macam iklim (ekosistem) berbeda di berbagai tempat. Mulai dari kawasan tropis di sekitar garis khalutisliwa, gurun pasir yang panas, hutan tropis dengan intensitas hujan yang tinggi sampai kawasan yang tertutup selimut es abadi di kedua kutub bumi.
![Grafik : Perkembangan Rata-rata perubahan suhu global](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/11/19/listentothee-5a11768e9346081eef6e5bb2.png?t=o&v=770)
Tergangunya Ketersediaan Pangan (Security Food)
Ketersediaan pangan juga erat kaitannya dengan keberlangsungan ekosisitem dimana tanaman tersebut tumbuh. Jika ekosistem tergangu dikarenakan perubahan iklim maka kestabilan pasokan pangan dunia akan terganggu. Harganya akan semakin mahal dan fluktuatif (naik turun dengan sangat tajam) dikarenakan pasokan pangan yang tidak stabil.
Para ahli memperkirakan bahwa kenaikan 2 derajat celcius akan menyebabkan 'lenyapnya' setengah dari cadangan air bersih di dunia. Cuaca menjadi semakin ekstrim dan bencana alam semakin sering terjadi. Kekeringan parah akan melanda berbagai kawasan hingga menyebabkan petani sulit menanan dan gagal panen. Bencana alam, angin badai dan banjir besar akan menyapu bersih ladang dan lahan pertanian tanpa sisa lebih sering lagi.
Maka kendati pun teknologi semakin maju, kemampuan pasokan pangan yang tumbuh menurut deret aritmatika, berdasarkan Teori Malthus, akan semakin sulit mengejar pertumbuhan populasi manusia. Oleh karena itu bukan tidak mungkin milyaran manusia akan terancam kelaparan dimasa yang akan datang.
Terendamnya sebagian permukaan bumi dan migrasi masal
Dari tahun ke tahun permukaan air laut terus mengalami peningkatan. Pada periode tahun 1993 sampai 2010 mengalami rata-rata kenaikan hampir 3 kali lipat yaitu 3.1 mm per tahun, dibanding periode 1901 sampai 1990 Â yang hanya 1.1 mm per tahun. Menurut para ahli hal ini disebabkan oleh mencairnya gunung-gunung dan selimut es terutama dikawasan Greenland dan Antartika (Kutub Selatan). Jika hal ini dibiarkan maka akselerasi kenaikan akan semakin cepat, diperkirakan pada masa yang akan datang kenaikannya meroket antara 5 mm sampai 15 mm per tahun.
![Grafik : Rata-rata perubahan permukaan air laut.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/11/19/26-nasasatellit-5a11769e5169953ccb6ddfb3.jpg?t=o&v=770)
Perubahan pola penyakit dan kesehatan
Perubahan iklim juga akan menyebabkan berubahnya pola penyebaran penyakit yang berkaitan dengan organisme vector (vector-borne disease) seperti malaria, demam berdarah dan lain-lain. Selain itu tergangunya ketersediaan pangan dan air bersih akan semakin memperburuk kondisi kondisi kesehatan terutama di negara dunia miskin.
Perubahan iklim selain mempengaruhi tingkat kesehatan juga berpengaruh pada tingkat produktivitas. Â Suhu yang tinggi akan mempengaruhi daya tahan tubuh dalam bekerja terutama bagi pekerja diluar ruangan seperti pekerja konstruksi, petani, jasa transpotasi dan lain sebagainya.
Energi dan perekonomian dunia
Ketersediaan energi juga erat kaitanya dengan perubahan iklim. Kekeringan bertambah parah akan menyebabkan ketersediaan air berkurang sehingga Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) akan sulit menghasilkan energi. Menurunya produksi energi akan berpengaruh terhadap aktivitas perekonomian karena keduanya berkait sangat erat.
Diperkirakan secara umum Eropa akan mengalami penurunan  produksi energi yang berasal dari PLTA sebesar 20 persen. Di Amerika Serikat, sekitar 7 persen energinya berasal dari PLTA. Sedangkan di Indonesia sendiri berdasarkan data Statistik Ketenagalistrikan tahun 2016 hampir 10 persen sarana pembangkit listrik mengandalkan air sebagai penggeraknya.
Menurunnya tingkat kesehatan dan wabah kelaparan diberbagai belahan dunia akan menyebabkan produktivitas secara global semakin menurun. Perekonomian terancam mengalami penurunan pertumbuhan (bahkan negatif) dikarenakan menurunya pasokan energi dan bencana alam yang kerap terjadi. Belum lagi migrasi masal diberbagai belahan dunia yang berpotensi menciptakan masalah sosial baru. Oleh karena itu dalam COP-23 pekan lalu di Bonn Jerman setiap negara peserta kembali berdiskusi dan bekerja sama menjalankan amanat Paris Agreement. Khususnya pembatasan kenaikan suhu global, agar bumi tempat tingal kita bersama tetap lestari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI