Mohon tunggu...
Irwan Samad
Irwan Samad Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Hati yang Tergores

27 Maret 2019   09:08 Diperbarui: 27 Maret 2019   09:30 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja itu, seperti biasa selepas sholat Ashar, aku menjemput sulungku di sekolahnya. Saban hari aktivitasku menjemputnya saat sore hari, karena ia kelas full day. Setibanya di depan sekolahnya, kuparkir kendaraan agak menepi karena jalan memang agak sedikit sempit. Khawatir menghalangi kendaraan yang lalu lalang di jalan tersebut. Kulihat jam telah menunjukkan pukul 16.14. Aku pun bergegas menuju ke kelasnya sambil memanggilnya. "kakak". 

Tak lama berselang, kulihat ia tampak mulai keluar mengambil sepatunya di teras kelas lalu menghampiriku. Namun, ada yang tak lazim dengan sulungku. Tidak seperti biasanya. Ia tampak lemas tanpa semangat. Pelupuk matanya sembab. Masih tampak sedikit sisa air mata yang membasahi sebagian wajahnya yang tertunduk lesu. Padahal, selama ini pemandangan ini sama sekali tidak pernah terlihat sebelumnya. Ia selalu tampak ceria saat kujemput dari sekolahnya. Riang gembiranya saat itu sirna entah kemana.

 Aku sedikit tertegun dan prihatin  melihatnya. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Kucoba menenangkan diri sambil merangkulnya tanpa sedikitpun berbicara dalam beberapa saat. Berharap agar sulungku yakin ada bapaknya yang selalu setia mendukungnya. Kuraih tas dan lengannya sambil berjalan menuju ke mobil yang terparkir di luar sekolah.

Selang beberapa saat, aku pun mulai mengajaknya berbicara. 

"Kenapa nak, Bapak lihat kakak menangis. "tanyaku penuh harap.

 Sulungku sama sekali tak menjawabnya. Ia hanya membisu. Kubiarkan sesaat, mungkin sulungku masih belum mau berbicara. Pikiranku pun berkecamuk. Apa gerangan yang membuatnya menangis. Kucoba bersabar sambil kuulangi lagi. 

"Kakak tidak mau cerita sama bapak ya, ada apa nak?" tanyaku dengan lembut. 

"Saya dihukum bu guru" jawabnya terbata-bata

"Kakak dihukum apa"? tanyaku kembali sambil mengerucutkan dahi

"Disuruh pungut sampah 200" Jawabnya sambil menahan isak tangisnya 

Akupun menghela napas panjang. Rupanya tangisnya bukan karena ia habis terjatuh atau sakit perut seperti yang ada dalam benakku tadi.

"Oo..., memangnya kakak salah apa, kakak kok dihukum? " tanyaku  ingin tahu

Sulungku pun mulai bercerita ihwal yang membuatnya bersedih. Aku hanya mendengar dengan penuh perhatian sambil sesekali melihat wajahnya.

Rupanya, sulungku tidak terima dan kecewa karena apa yang dilakukannya dianggap salah oleh gurunya. Ceritanya ia mendapat tugas menjadi imam sholat Ashar di sekolahnya. ia ditugasi mencatat nama teman sekelasnya yang tidak berzikir. Ia pun menyodorkan hasil catatan nama teman sekelasnya yang berzikir di atas secarik kertas dan meletakkannya di atas meja gurunya. 

"Mungkin kakak salah lihat" ucapku sekedar mengkonfirmasi ulang

"Tidak pa, dia tidak berzikir" Jawabnya mantap dan penuh keyakinan

"Jadi kakak lihat betul, dia tidak berzikir?" tanyaku kembali

"Iye" Jawabnya singkat dengan dialek khas Kendari

"Yah sudah, nanti sebentar kalau tiba di rumah kita sms bu guru ya" ucapku, berharap agar dia tidak usah bersedih lagi sambil tetap konsentrasi menyetir.

Kami pun melintasi jalanan yang saban hari macet. Lalu lintas kendaraan saat sore hari memang agak padat merayap. Mungkin akibat kelelahan dan lamanya di perjalanan, tanpa terasa  kulihat sulungku telah terlelap dalam posisi duduk. Lumayan juga waktu tempuh menyita waktu kurang lebih setengah jam. Padahal jika lalu lintas lengang bisa ditempuh hanya dengan waktu 7-10 menit. Sesekali aku membayangkan bagaimana penatnya suasana macet di ibu kota Jakarta sana yang sudah menjadi menu sehari-hari warga. Aku bersyukur Kota Kendari masih belum sepenat seperti Kota metropolitan yang lain.  

Kami pun tiba di rumah. Kuamati sulungku masih tertidur lelap. Aku membiarkan saja ia tertidur tanpa menggendongnya ke kamarnya. Khawatir ia nanti terbangun. 

Aku pun bercerita kepada ibunya ihwal yang terjadi pada sulung kami. Kami pun berdiskusi sesaat sambil duduk santai di ruang keluarga. Tak lama berselang, terdengar suara pintu mobil yang terbuka. Sulungku sudah bangun rupanya.

Ia berjalan menghampiri kami sambil terisak isak. Rupanya kesedihan sulungku masih berlanjut. Kami pun mendekapnya penuh hangat. 

Kami berusaha untuk menghentikan isakan tangisnya yang tak kunjung reda. Bahkan air matanya yang berderai terasa hangat saat jatuh di jariku. Setahuku jika air mata itu hangat itu pertanda tangisnya bukan dibuat-buat. Tak seperti tangisan orang bersandiwara yang konon tak sehangat dengan tangisan orang yang benar-benar menangis. Kami pun terus mengusap lembut kepala dan punggungnya hingga tangisannya benar-benar terhenti.

Kami tetap berhusnudzan saja, namun juga tetap dibayang-bayangi dengan jawaban mantapnya tadi sewaktu di mobil. Menurutnya ia telah menjalankan tugasnya dengan baik. Kami juga yakin sulungku bukan tipe anak yang suka berbohong. Kami selalu mendidiknya untuk selalu bersikap jujur. 

Sang surya pun terbenam. Sayup-sayup terdengar suara adzan magrib. Aku bergegas menuju ke masjid yang tak jauh dari rumah bersama anak laki-lakiku.  

"Ma, coba sebentar sms bu gurunya, apa betul yang dikatakan anak kita tadi" ucapku  kepada istriku

"iya, tapi bagaimana cara menyampaikannnya pa? "tanya istriku dengan wajah sedikit bingung.

Kami pun larut dalam diskusi alot tentang peristiwa yang menimpa sulung kami sore tadi. Hingga akhirnya, kami sepakat untuk bertabayyun (konfirmasi) ke gurunya. Siapa tahu mungkin ada alasan lain, sehingga bu guru menjatuhkan hukuman kepada sulung kami. Kami pun menceritakan ihwal peristiwa yang terjadi sore tadi dengan gurunya. 

Sebenarnya kami ingin mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi. Apa anak kami benar membuat kesalahan sehingga ia harus mendapatkan ganjaran, atau apakah ia mendapat perbuatan usil atau menjadi korban perundungan yang dilakukan teman sekelasnya. 

Rupanya, ada teman sekelasnya yang tidak terima jika namanya dicatat, tidak berzikir.  Ia membantahnya. Akhirnya  sulungku lah yang harus menerima konsekuensinya karena membuat laporan yang tidak valid.

Bagi kami pemberian hukuman kepada anak sebenarnya tidak menjadi masalah. Bahkan, disaat saat tertentu sangat diperlukan. Karena punishment bagian dari alat pendidikan untuk menumbuhkan sikap disiplin positif. Sama pentingnya dengan reward kepada anak yang berprestasi. Tapi yang paling penting adalah punishment harus dilakukan secara tepat dan bijaksana.  Jika punishment diberikan kepada anak yang melanggar,  bertujuan agar ia menyadari kesalahannya dan tidak mengulanginya lagi. Namun, jika punishment dijatuhkan kepada anak yang tidak bersalah, maka bukan saja akan membunuh karakter anak, akan tetapi juga akan merusak tatanan sistem pendidikan kita. 

Setiap anak memiliki jiwa dan karakter yang berbeda-beda. Perbedaan itu adalah suatu keniscayaan. Karenanya, tugas kita sebagai pendidik adalah agar setiap individu mendapatkan makna dan pengalaman positif dari pendidikan itu. Kita bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan anak-anak kita jika kita menghukuminya dengan sesuatu yang anak kita sendiri tidak menyadari itu suatu kesalahan. Lagipula, jikapun ia kita vonis bersalah akibat suatu instruksi dari kita, dan anak kita telah melaksanakan tugasnya, terlepas hasil dari pekerjannya benar atau salah, maka seyogyanya tidak terburu-buru menjatuhkan punisment. Toh itu adalah sebuah proses. Mungkin langkah yang paling bijaksana adalah dengan mencari tahu apa penyebabnya (tabayyun) dan menasehatinya dengan baik (Mauidzah al-hasanah), sehingga ruh pendidikan dapat berjalan sesuai tracknya . Ibarat seorang hakim yang arif, jika ia memutuskan suatu perkara, lalu ternyata hasil keputusannya itu tepat, maka ia mendapat dua pahala. Namun, jika ia memutuskan suatu perkara dan ternyata keliru, maka ia tetap mendapat satu pahala.

Keesokan harinya, kami tersenyum bahagia karena sulungku telah bergegas ke sekolahnya meraih impiannya tanpa ada perasaan terluka lagi.  

Wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun