Skema Pajak 2025 telah diumumkan pemerintah, dan telah resmi diberlakukan terhitung mulai 1 Januari 2025. Ini menjadi kepastian dari sisi konsumen yang tidak bisa dihindari lagi.
Seperti diketahui, sebelum tahun berganti, cukup banyak aspirasi masyarakat yang meminta pemerintah menunda Penerapan PPN 12 persen yang menjadi inti dari skema pajak 2025.
Tapi, akhirnya Presiden Prabowo Subianto sendiri yang mengumumkan bahwa PPN 12 persen telah mulai diterapkan, tapi khusus bagi barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat kelas atas.
Adapun barang yang dicontohkan oleh Prabowo sebagai yang terkena kenaikan PPN adalah pembelian pesawat jet pribadi dan kapal pesiar.Â
Jelas, kedua contoh tersebut sangat ekstrim karena tidak bersentuhan dengan kebutuhan rakyat. Bukankah hanya kelompok crazy rich yang mampu membelinya?
Namun, tetap saja perlu penegasan pemerintah terkait PPN atas barang yang bisa ditafsirkan secara ganda, atau katakan masuk kategori abu-abu.
Maksudnya, pemerintah menafsirkan sebagai barang untuk orang kaya, tapi masyarakat menganggap barang biasa.
Sebagai contoh, menyangkut apa yang dimaksud dengan barang premium, karena istilah premium ini ada juga yang dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah.
Hal ini terkait dengan pernyataan pemerintah bahwa yang dikenakan PPN 12 persen adalah barang berkategori premium.Â
Pertanyaannya, apakah beras premium terkena PPN 12 persen? Beras adalah kebutuhan pokok yang mau tak mau harus dikonsumsi masyarakat.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menyatakan bahwa beras premium lokal tidak akan dikenakan PPN 12 persen.Â
Kebijakan ini hanya berlaku untuk beras khusus impor, seperti beras yang digunakan untuk kebutuhan hotel atau restoran.Â
Penjelasan pemerintahan itu harus diterima dengan bahasa yang sama sampai ke tingkat pedagang beras eceran. Jangan sampai, beras premium lokal juga terkena kenaikan PPN.
Kemudian, menyangkut pelayanan jasa rumah sakit kelas VIP, yayasan pendidikan swasta yang mengelola boarding school, tiket pesawat kelas bisnis, dan jasa kelas atas lainnya, juga perlu penegasan tarif PPN.
Terlepas dari hal itu, bagi masyarakat yang di tahun ini tidak mengalami kenaikan penghasilan, atau bahkan mengalami penurunan, tentu perlu mengubah perilakunya dalam berbelanja.
Pola hidup konsumtif sebaiknya ditinggalkan, paling tidak dikurangi, sehingga total pengeluaran masih tertutup dengan penghasilan yang diterima.
Akan sangat riskan bila berbelanja dengan memanfaatkan fasilitas paylater atau dengan mengajukan permohonan pinjaman online.Â
Bila nantinya pinjaman tersebut tidak terbayar berikut bunganya pada waktu yang diperjanjikan, ini ibarat "menggali kubur sendiri".
Maka, selain kebutuhan dasar yang mau tak mau harus ada, pikir dahulu matang-matang apakah barang yang akan dibeli betul-betul dibutuhkan.
Jangan berbelanja karena menurutkan hawa nafsu atau karena terpengaruh oleh pola belanja teman-teman di media sosial.
Ingat kata pepatah orang tua: "jangan besar pasak daripada tiang".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H