Dalam ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia, Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap transaksi jual beli barang atau jasa kena pajak.Â
Pajak ini dikenakan dari produsen hingga ke konsumen akhir. Secara teknis, PPN adalah pajak yang dibayar oleh konsumen akhir saat membeli barang atau jasa.
Meski dibebankan pada konsumen akhir, tugas memungut, menyetor, dan melaporkan PPN adalah kewajiban para penjual yang ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Makanya, PPN disebutkan juga sebagai Pajak Tidak Langsung. Adapun contoh pajak langsung adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak kendaraan bermotor yang dibayar langsung oleh wajib pajak ke kas negara (melalui bank yang ditunjuk).
Masalahnya, PPN tidak membeda-bedakan orang kaya dan yang tidak mampu. Semua yang berbelanja barang tertentu, akan terkena pajak tanpa pandang bulu.
Sedangkan PBB jelas hanya yang punya tanah dan bangunan yang terkena kewajiban. Mereka yang tinggal di rumah kontrakan tak perlu membayar.
Itupun di DKI Jakarta untuk rumah yang nilainya di bawah jumlah tertentu dibebaskan dari tagihan PBB.
Nah, saat ini media massa banyak yang mengulas tentang akan dinaikkannya tarif PPN yang menimbulkan pro dan kontra, tergantung dari sisi mana kita melihatnya.
Kenaikan PPNÂ dari sisi pemerintah tentu sangat diperlukan dalam rangka menambah penerimaan negara. Dengan beban pengeluaran yang begitu besar, pemerintah membutuhkan penerimaan tambahan.
Jadi, meskipun kenaikan PPN hanya 1 persen, yakni dari 11 persen ke 12 persen, tapi nilainya secara rupiah cukup signifikan. Hal ini karena jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak, sehingga akumulasi PPN-nya bernilai raksasa.