Kebetulan keduanya adalah arek Suroboyo, yang awal kariernya sebagai pemain profesional di klub Persebaya Surabaya dalam usia remaja.
Beruntung pula ketika keduanya bermain di Persebaya punya pelatih yang sangat antusias memberi menit bermain yang lama bagi pemain remaja, yakni Aji Santoso.
Kedua arek dimaksud adalah Marselino Ferdinan yang dengan dingin mampu melakukan brace (mencetak dua gol) untuk kemenangan Indonesia atas Arab Saudi.
Marselino bukan arek Suroboyo asli karena berdarah Flores (Nusa Tenggara Timur) dan lahir di Jakarta. Tapi sentuhan sepak bolanya berawal di Kota Pahlawan itu.
Ketika Marselino masih duduk di bangku sekolah dasar, ia masuk Sekolah Sepak Bola (SSB) Real Madrid di Sidoarjo, kota yang berbatasan dengan Surabaya.
Teman Marselino yang juga bersinar di Timnas dan menjadi salah satu pemain belakang handal ialah Rizky Ridho, yang usianya 2 tahun lebih tua (Marselino 20 tahun dan Ridho 22 tahun).
Ridho belajar main bola di SSB Simo Putro Surabaya dan kemudian terpilih masuk tim junior Persebaya. Pada usia 18 tahun Ridho sudah menjadi pemain inti di Persebaya senior.
Karena usianya yang muda itulah, Marselino dan Ridho memperkuat Timnas Indonesia di berbagai kelompok umur, selain juga di tim senior.
Nah, kembali ke soal arus deras naturalisasi di tubuh Timnas Indonesia, terjawab sudah kekhawatiran pihak yang mempertanyakan bagaimana nasib pemain lokal yang dibina sejak usia dini oleh banyak SSB di berbagai penjuru tanah air?
Mereka khawatir para pemain yang telah dibina sejak usia dini akan kalah bersaing dengan pemain yang dibina di berbagai akademi sepakbola di Negeri Belanda.
Buktinya, Marselino dan Ridho berhasil menyisihkan sebagian pemain naturalisasi yang tidak terpilih sebagai starting eleven dalam laga yang dilakoni Timnas Indonesia.